Tuti dan Satria baru saja sampai di parkiran sebuah mall terbesar di Purwokerto. Keduanya segera berjalan hendak menuju ke dalam mall.
Langkah keduanya terhenti karena teriakan seorang gadis cilik.
"Mas Sat? Tante Tuti?" Chika berteriak memanggil keduanya sambil melambaikan tangan.
Baik Tuti dan Satria tersenyum senang. Kedua keluarga saling mendekat. Chika langsung menghambur ke arah Tuti dan memeluknya. Puas memeluk Tuti, Chika menggelayut manja pada Satria.
"Mas Sat, temenin Chika main ke Timezone ya?"
"Beres. Halo, Om. Apa kabar?" Satria menyalamai Joko, keduanya saling berjabat tangan dan tersenyum.
"Baik. Kamu gimana? Udah kelas enam ya?"
"Iya, Om."
"Bagus, nanti sekolah dimana?"
"Pengennya sih yang kota tapi ...."
"Kalau mau yang di kota belajarnya harus semangat, terus harus bisa jaga kepercayaan."
"Hehehe. Ok!"
"Bagus." Joko mengacak-ngacak rambut Satria. Pemandangan yang membuat Tuti
Tuti tersenyum melihat sang putra begitu gagah. Meski masih ada beberapa luka di wajahnya. Tidak membuat kadar ketampanan Satria berkurang."Nanti, kalau ada yang gangguin kamu lagi. Lawan. Cowok gak boleh kalah. Tapi mainnya yang pinter. Kalau mereka main keroyokan. Ya kamu pakai akal dong.""Siap Ibu.""Sip. Ayo berangkat."Tuti mengantar sang anak ke sekolah. Saat sampai di halaman sekolah Satria tampak beberapa ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka. Beberapa dari mereka ada yang menyapa Tuti dengan ramah, tapi banyak juga yang menatapnya sinis. Tapi Tuti tak peduli. Tuti melihat beberapa anak yang kemarin menganiaya sang putra. Dia tersenyum sinis bahkan melototi mereka satu per satu. "Mbak Tuti, situ ngapain ngelihatin anak saya kayak gitu.""Oh, ini Mbak Tresna cuma pengen tahu wajah anak-anak yang kemarin menganiaya anak saya.""Eh jangan nuduh dong.""Loh. Emangnya saya nyebut anaknya situ.""Lah dari tatapan mata, Mbak Tuti kan nuduh.""Kalau iya kenapa? Harusnya Mbak Tres
Juragan Tarno yang merupakan juragan paling kaya sekecamatan Gumilang hanya mampu menatap Joko dengan tatapan nyalang yang dibalas Joko dengan tatapan sinis. Di samping kanan kiri Joko ada Syafiq dan juga Rafi yang membantunya lepas dari tuduhan Juragan Tarno.Ya, Juragan Tarno sengaja menyabotasi usaha Joko. Dia melakukan tindakan curang dengan menukar jenis kayu yang akan dikirimkan Joko kepada salah satu pelanggan setianya.Joko mengalami kerugian yang luar biasa dan hampir masuk penjara. Karena sang pemborong mengkasuskan tindak kecurangan ini. Beruntung dengan bantuan salah satu putra kyai yang dulu menjadi guru ngajinya Syafiq, Joko bisa terbebas dari tuduhan. Bahkan dia bisa menuntut ganti rugi pada si dalang. Orang yang membantu Joko mengungkap dalang dari sabotase ini juga hadir. Meski tampangnya dingin bak preman pasar dengan rambut gondrong, tapi yang melihatnya tahu, si pak polisi memiliki aura kharismatik yang luar biasa.“Tolong Pak Joko, saya khilaf. Juragan Tarno. In
Tuti heran melihat kedatangan Joko, Ambar, Syafiq dan keluarga besar Joko ke rumahnya menjelang pukul delapan malam. Dia bingung tentu saja. "Ada apa? Kok tumben rame-rame ke sininya malam-malam?" Tuti menatap pada Ambar, "Ada apa Mbar? Ada masalah?" Ambar hanya tersenyum lalu menoleh ke arah Joko. "Ayo Jok, ngomong." Joko terlihat gugup. Tidak seperti biasanya yang terlihat berkharisma dan garang, kali ini Joko terlihat gugup sekali seperti seorang bujang yang baru pertama kali melamar anak perawan. Padahal dulu saat akan melamar Rini, Joko biasa saja, dia memang merasa takut, deg-degan tapi tidak setakut dan sedeg-degan seperti saat ini. Bapaknya Joko terkekeh melihat mimik wajah putranya. Dia pun mencandai sang putra. "Apa perlu bapak yang ngomong?" Joko menoleh kepada bapaknya lalu menggelengkan kepala. Tanda kalau dia sendiri yang akan bicara dengan kedua orang tua Tuti. Joko terlihat mengatur napas. Semua orang diam. Satria dan Chika yang awalnya sibuk bercerita pun memi
Victoria Park atau Taman Victoria sedang penuh dengan ribuan manusia. Maklumlah, tempat ini memang menjadi tempat kami para tulang punggung keluarga yang sedang mengadu nasib untuk melepas lelah setelah enam hari bekerja atau sebagai ajang bersua dengan sesama tenaga kerja. Selain itu taman ini juga sebagai tempat untuk mempertunjukkan hiburan dan seni, tempat para TKW melakukan berbagai kreativitas dan banyak lagi.Bukan hanya tenaga kerja dari Indonesia, tempat ini juga tempat berkumpul tenaga kerja dari negara lain seperti Filipina.Hiruk pikuk di sekitarku tak terlalu menarik perhatianku. Aku sedang fokus dengan ponsel. Menunggu kabar dari keluargaku.Nada dering dari ponselku membuat senyumku langsung terbit dan segera kuangkat panggilan dari Anggi, adik ketigaku."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam, Mbak Ambar cowok Mbak."Alhamdulillah, u
"Di sana banyak salju gak?""Banyak.""Senangnya.""Disitu dingin gak?""Dingin banget, nih sampai pake baju lima lapis.""Hahaha.""Kamu lagi makan?""Iya nih, mau makan mi kuah.""Jangan makan mi terus kenapa?""Paling gampang, 'kan bujang. Kalau sudah punya istri beda lagi." Dia menyeringai jahil padaku.Aku mencebik, "Halah, coba tahun depan 'kan kita pulang semua. Berani gak halalin aku?""Berani ya, tapi kalau aku dapat panggilan lagi ya aku minta waktu lagi," ucapnya enteng."Emangnya kamu siap aku halalin?" lanjutnya."Siap dong?" jawabku mantap."Tapi kita belum punya modal hidup loh?""Ya habis nikah, nyari lagi lah. Gampang. Situ aja yang bikin rumit."Kulihat pria berkulit sawo matang di depan layar ponselku menghembuskan nafasnya kasar."Mbar, kamu tahu sendiri 'kan? Aku pengen jadi orang sukses. Punya usaha sendiri biar gak nguli terus. Gak enak tahu j
Suara dentingan sendok mewarnai meja kami. Sesekali canda dan tawa ikut mengiringi. Kami sengaja makan di sekitar bandara, agar nanti gampang mencari transportasi menuju kawasan Malioboro."Habis ini, rencana kamu apa Mbar?" Aku menoleh ke arah Ilo yang rupanya sudah selesai makan."Gak tahu Il. Yang jelas bantu-bantu Ibu jualan dulu paling. Lainnya, nantilah. Kamu sendiri gimana?""Aku mau buka dealer mobil niatnya."Aku menghentikan suapanku, menoleh kearahnya. Kutatap mata Ilo dengan penuh selidik. Tatapan itu begitu yakin."Kamu yakin?""Iyalah, yakin banget.""Prospeknya kira-kira bagus gak?""Baguslah, kan sekarang roda empat banyak yang nyari.""Eh Il, gak mending motor aja?" celetuk Tuti."Gak ah, udah banyak. Aku mau mobil aja.""Modal lumayan tuh?""Iya Tut, makanya aku getol nyari modal dulu."Aku dan Tuti saling berpandangan. Sementara Yuyun yang paling polos asik makan. Tiba-tiba selera makanku jadi ambyar
Aku tengah berlarian bersama kedua keponakanku. Mereka adalah putra Wulan. Yang sulung Ibrahim berusia lima tahun sedangkan si bungsu Yusuf berusia 3 tahun."Kejar Budhe ... kejar Yusuf. Hahaha.""Awas ya, kena kalian.""Hahaha."Sudah seminggu aku di rumah. Rasanya aneh, biasanya aku kalau pagi sudah sibuk. Disini aku malah santai. Pagi hari hanya membantu ibu, siangnya hanya santai, malamnya rebahan sambil HP-an."Mbar.""Iya Bu.""Hari ini, kamu punya rencana kemana?""Tidur.""Gak pengen kemana-mana Mbar?""Gak Bu. Kenapa?""Ikut ibu ke acara pengajian ya.""Oke."Esok harinya, aku beneran ikut ibu ke pengajian."Loh, Ambar. Kapan pulang?""Seminggu yang lalu Bu Wahyu.""Owalah, makin cantik saja. Eh, ngomong-ngomong mau berangkat lagi gak.""Gak tahu Bu, lihat nantilah.""Mbak Ambar lama di Hongkong pasti duitnya banyak ya?" celetuk ibu-ibu yang lain."Pastilah, orang lama bange
"Dek Ambar tolong kopi satu.""Iya Pak Tarno." Aku berusaha tersenyum padahal rasanya ingin sekali mulut Ini mengumpat."Pecelnya dong? Jangan lupa mendoannya lima," Pak Tarno menatapku dengan tatapan genit. Aku segera meracik pecel permintaannya dan menggoreng mendoan."Mbak Ambar, kopi satu.""Iya Mas Ipung.""Mbak Ambar, saya juga. Yang pahit ya. Soalnya Mbak ambar udah manis takut saya nya diabetes.""Iya Mas Diki."Inilah pekerjaanku setiap hari selama kurang lebih satu bulan di rumah. Membantu ibu yang membuka warung pecel dan gorengan setiap hari dari jam sembilan sampai sore."Wah, kopi buatan Mbak Ambar maknyos, tiada duanya.""Iya, pas pokoknya. Pas pahitnya, pas manisnya. Jadi makin cinta sama kopinya. Eaak.""Kopinya apa sama yang buat?""Yang buatlah?""Hahaha."Sabar Ambar. Kalau gak sabar nanti kamu jadi ikutan edan. Rata-rata pelanggan warung pecel ibu itu laki-laki. Mana kebanyakan yang sudah beristri