"Jadi muncaknya?"
"Jadilah Mbar, aku udah siapin semuanya. Sabtu pagi kita berangkat.""Oke."Sabtu pagi, aku, Joko dan Miko menuju ke Boyolali. Kami akan mendaki gunung Merbabu melalui jalur Selo."Ckckck. Beneran mantan Pradani SMANSA ini.""Kamu juga, mantan si Bolang. Hahaha.""Ya ampun. Gak kece banget julukannya. Tapi iya sih. Hahaha.""Capek Mik?""Enggak Mbak. Kan Miko udah biasa naik gunung."Aku menepuk bahu adikku. Aku sungguh bangga padanya."Mbak Ambar lihat?""Sabana?"Kami segera mengambil beberapa foto di padang sabana. Berbagai pose dari biasa, lebay, alay dan jablay. "Ayok semangat. Kita hampir sampai di pos perkemahan."Kami membangun dua tenda. Setelahnya mulai memasak dengan menggunakan kompor portabel. Sesekali bercanda dan tertawa sambil menikmati secangkir kopi dengan sosis panggang yang lezat."Ambar."Aku menoleh ke sumber suara. Dahiku mengernyit."Syam. IBegitu bus berhenti di terminal Gumilang, aku segera turun. Rupanya Joko dan Miko tepat berada di belakangku."Mbar, kamu kok jalannya cepet banget sih?""Biar segera dapat angkot, Jok. Tahu sendiri kalau jam segini angkot penuh. Kita harus rebutan sama para pedagang. Ayuk.""Ambar." Suara teriakan menghentikan langkah kami. Agh sial, mau tak mau aku pun berbalik dan mencoba tersenyum. Dalam hati berdoa semoga sisa perileran di wajahku sudah hilang."Kalian mau kemana?""Nyegat angkot lah Syam." Joko yang menjawab."Naik mobil aja, mobilnya Syafiq sih.""Gak usah! Kita naik angkot. Ayok."Aku menarik lengan Joko dan Miko namun sekali lagi Joko berulah."Ikut aja sih, lumayan irit duit. Ya kan Syam?""Iya.""Lagian Syafiq gak keberatan kan kita ikut?""Enggak," sahut Syafiq kalem."Yuk ah," ajak Syam antusias.Aku menatap Syam, Rafi dan Syafiq dengan ragu kemudian mengalihkan pandangku, ah malah gambar peta p
Aku duduk dengan gelisah, sesekali melirik daun pintu yang terbuka. Sekilas terlihat Bu Sarni dan Bu Atun memandang ke arah kami."Kamu kenapa Mbar?""Oh, gak papa."Tidak mungkin aku bilang kalau aku merasa risih dengan kedatangan mereka berdua.Syam seperti biasa terlihat santai dan pandai mencari topik obrolan. Dia tengah mengobrol seru dengan Miko sedangkan Rafi lebih banyak menyimak. Aku sesekali menanggapi pertanyaan Syam. Selebihnya memilih diam.Kurang lebih setengah jam Syam bertandang kemudian keduanya pamit hendak ke Purwokerto."Aku balik Purwokerto dulu ya Mbar. Mulai senin, perkuliahan sudah aktif lagi. Aku pulang ke rumah kalau weekend aja.""Ngekost?""Iya masih ngekost. Mau gimana lagi? Kalau uangku banyak kayak Syafiq pasti aku udah punya rumah sendiri. Hahaha.""Oh.""Cuma oh aja?""Ya aku harus ngomong apa?""Ya semangatin gitu biar bisa segera punya rumah sendiri.""Amin. Semoga dimudahkan.""
Aku tengah duduk merenung sambil menatap aktivitas orang-orang di Terminal Purwokerto. Tuti sedang membeli beberapa camilan dan air mineral."Nih.""Makasih.""Kamu mau aku temani ke mana dulu?""Disini aja dululah Tut, lagian baru jam enam.""Okelah. Nih makan, aku pesenin dua cup."Aku dan Tuti menyantap cup Andaimie yang ditambahi dengan lima butir bakso didalamnya."Enak ya Tut.""Biasa aja. Tapi biasanya orang patah hati gak nafsu makan. Kok kamu beda?""Bedalah. Walau patah hati, aku harus tetap waras.""Hahaha."Kami asik makan dan sesekali tertawa membahas berbagai hal secara acak."Mbar.""Hem, bukannya itu Syam."Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Tuti, mataku membulat. Syam terlihat sedang mencari-cari sambil menghubungi seseorang dengan ponselnya."Tut, cepetan kabur!" Aku menarik tangan Tuti dan langsung mengajaknya pergi. Bahkan kini kami berlari."Kenapa?" Tuti ikut berlari.
"Mbak Ambar makasih ya. Udah nemenin Anggi.""Gak papa. Mumpung Mbak belum repot. Ini beneran kamu resign jadinya?""Iya Mbak. Habisnya, Aris dipindah ke Temanggung. Mana jabatannya lumayan lagi.""Iya. Kamu ikut suami aja. Kalau bisa sih suami istri jangan pisah. Yang gak pisah aja banyak masalah apalagi yang pisahan.""Hehehe. Mbak Ambar kayak pawang rumah tangga aja.""Kalau mbak udah jadi pawang, mbak udah lama nikah Nggi."Tiba-tiba saja mimik muka Anggi berubah. Aku yang sadar salah ngomong langsung menggenggam tangan Anggi."Lupain omongan mbak, ya. Emang udah jalannya mbak kayak gini. Inget, kamu udah bahagiain ibunya Aris disisa umurnya. Ini juga kamu harusnya seneng bisa langsung isi." Aku membelai perut Anggi.Anggi tersenyum lalu memelukku."Pokoknya Mbak Ambar bakalan dapet yang lebih baik dari Mas Wahid, Mas Ragil sama Aris.""Amin. Udah ah ngapain mewek. Kamu tadi bilang mau makan di 'Super Sambel' tapi gak boleh banya
Seperti biasa aku sedang membantu ibu di warung. Suasana warung ramai seperti biasa. Hanya saja kunjungan para bapak sudah mulai berkurang dan digantikan para ibu berdaster yang keponya gak ketulungan tentang hidup Ambar, si perawan tua."Mbar.""Iya Bu Atun.""Cowoknya gak dateng lagi?""Oh, dia kan kerja Bu, jadi gak bisa datang setiap hari."Inilah pertanyaan yang harus kujawab setiap hari selama sebulan ini. Semenjak memutuskan melepas kenangan bersama Ilo, aku memang lebih terbuka dengan kehadiran Syam. Chat dan telepon darinya kini tak kuabaikan. Beberapa kali dia main ke rumahku. Kadang sendiri kadang dengan Rafi atau Syafiq.Tanggapan Pakdhe, Budhe dan Joko sangat antuisas. Pun dengan ketiga adik perempuanku yang sudah pernah bertemu Syam. Ibu dan Miko sendiri memilih memasrahkan semuanya padaku. Mereka hanya berharap yang terbaik untukku."Eh Mbar, kali ini jangan sampai lepas ya. Ganteng loh, cocok sama kamu.""Iya Mbar,
"Mbar.""Iya?""Maukah kamu menikah denganku?"Deg. Aku melotot, jantungku berhenti berdetak. Aku dilamar?Kami saling menatap. Keheningan menyelimuti kami berdua. Cukup lama tak ada satupun yang bersuara."Mbar.""Ambar!""Hah? Apa?!""Aku tanya sama kamu? Maukah kamu menikah denganku? Aku serius. Kalau kamu setuju. Aku akan melamarmu segera secara resmi."Aku terdiam. Bingung. Jujur aku shock, bagaimana mungkin seorang Syam yang sempurna tertarik padaku? Aku hanya wanita biasa. Mantan TKW, dan cuma lulusan SMA."Aku cuma lulusan SMA, Syam?" lirihku."Ya gak masalah.""Umurku udah tiga puluh.""Aku juga tiga puluh punjul sepuluh bulan.""Aku 'wong ndeso' gak kayak kamu.""Aku juga orang desa, Ambar. Cuma sekarang seringnya di kota.""Aku yatim.""Ck. Ambarwati, kamu kenapa sih? Kenapa kamu jadi minder begini? Denger ya Ambar! Aku menerima kamu apa adanya. Jadi, jangan tolak aku ya
Satu minggu sejak pertunanganku, ini kali pertama aku hanya pergi berdua dengan Syam naik motor. Sepanjang perjalanan aku merasa canggung. Apalagi jika mengingat selama perjalanan ini harus berusaha tidak memeluk perut Syam saat tiba-tiba dia mengerem mendadak."Kita mau kemana?""Terserah kamu aja," jawabku."Jalan-jalan ke mall ya?""Iya."Sampai di mall yang kami tuju, Syam langsung menggenggam tanganku. Aku merasa risi dan malu. Meski lama pacaran dengan Ilo tapi kami jarang bertemu dan kontak fisik.Aku canggung sekali, tapi Syam sepertinya tidak peduli. Bahkan beberapa kali tangannya melingkar di bahuku saat kami sedang melihat-lihat baju atau sepatu. Bahkan kadang melingkar ke perut.Aku ingin bilang pada Syam, tapi tak enak hati rasanya. Silakan saja kalian mengatakan aku ini kuno atau kuper. Tapi memang inilah aku adanya. Meski mainku jauh sampai Hongkong tapi hubungan dengan lain jenis bisa dikatakan minus."Syam.""Iya.""
Aku, Yuyun dan Tuti sedang berkumpul di rumah Yuyun. Sesekali Yuyun membantu ibunya melayani pembeli. Aku sendiri habis curhat dengan Tuti dan Yuyun.“Kenapa aku salah pilih terus ya, Tut?”“Paling enggak kalian belum nikah, Mbar. Coba kamu jadi aku. Udah salah pilih, makan hati, mana diteror terus lagi.”“Apa aku harus membatalkan lamaran Syam?”“Jangan dulu! Lihat perkembangannya.”Dering ponselku berbunyi, kutatap layar ponselku. Syam. Aku memilih mengaktifkan tombol silent kemudian menaruh kembali ponselku di tas.“Kok, gak diangkat?”“Males.”“Kenapa? Bukannya lebih baik segera diselesaikan.”“Gak sekarang Tut, nanti aja. Sekarang hatiku sedang panas. Takut salah ngomong.”“Bener juga. Mending kamu tenangin dulu tuh hati kamu. Baru bertindak.”“Kita bahas yang lain aja ya, Tut. Hari ini aku gak pengin bahas Syam