POV: Mila.
"Kamu sekarang tinggal di sini, kita pisah rumah. Kamu tenang aja, rumah ini jauh dari kota masih perkampungan jadi nggak ada yang gangguin kamu. Sekali-kali aku akan jenguk kamu."
Aku mengerjap bingung. "Kita tinggal terpisah Om?" tanyaku.
"Iya, kenapa? Kamu mau tinggal dengan aku? Aku ini pengacara terkenal, Mila. Keluargaku pasti marah besar tahu aku menikahi pelacur. Makanya kamu harus disembunyikan."
Rasanya bumi berhenti berputar dari porosnya. Aku memang tinggal di Club malam, tapi Om aku bukan pelacur. Tadinya aku ingin mengajak Omku ziarah ke makam orang-tuaku. Ucapan dia menyadarkan aku kalau pernikahan ini tidak ada, dinikahi saja sudah syukur.
Aku mengambil air hangat untuk membasuh kakinya, perjalanan kami sangat panjang dia pasti capek menyetir seharian. Aku mengelap kaki Omku. Aku suka namanya, Alister Bagaskara. Sesuai dengan wajahnya yang tampan.
"Iya, Om. Mila ikut kata Om saja." Kataku lembut. Aku tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa. Untuk pertama kalinya aku tinggal dengan pria.
"Yaudah sana kamu mandi. Dari kita sampai kamu belum mandi." Kata Alister dengan ekpresi menjengkelkan. Padahal moodnya tadi baik-baik saja.
"Nanti Mila tidur di kamar belakang ya Om, biar Om bisa--"
"Kenapa, kamu mau pisah ranjang Mila? Nggak tahu diri banget kamu. Udah untung aku kasih tempat tinggal yang layak, sekarang mau ngatur-ngatur!" yang tadinya Alister duduk dia bangkit berdiri dengan berkacak pinggang.
"Mulai sekarang kamu turutin kemauan aku. Hidup kamu itu sudah jadi milik aku, hak aku semua yang ada sama kamu," bentak Alister dengan mata tajam mengintimidasiku. Aku meremas ujung bajuku dengan tertunduk. Aku takut dia marah, takut melepaskanku yang sebatangkara ini.
"Aku cuma takut Om terganggu aku tidur sekamar. Bukan gak mau sekamar." Ucapku.
"Kamu nggak usah sok perhatian, jangan merasa kamu itu seorang istri. Di rumah ini cuma aku yang bisa ngatur, kamu bukan siapa-siapa." Alister pun melanjutkan langkahnya ke kamar kami, ah itu kamarnya. Aku hanya menumpang.
Astaga, ini adalah malam pertama kami. Aku tidak berani masuk ke kamar. Jantungku berdebar kencang, kutekan dadaku. Semenjak tinggal di Club malam, aku terbiasa mendengar hal-hal frontal tentang hubungan itu. Tapi yang kulakukan beda, ini malam pertama dengan suamiku.
Tapi tetap saja malam pertamaku bukan seindah kebanyakan pasangan yang baru menikah. Dulu, aku berharap nikah pada umur 27an dan dengan orang yang kucintai. Tapi, lihatlah kenyataannya. Pria itu jauh dari umurku dan kami tidak saling mencintai.
Tok! Tok
Aku mengetuk pintu berulangkali tapi belum terdengar suara balasan, langsung saja aku masuk. Untungnya aku sudah mandi, tidak ada Omku di atas ranjang, suara deburan air di kamar mandi membuat fokusku teralih. Mandi kok lama sekali, pikirku.
Aku menguap lebar menunggu Omku keluar dari kamar mandi, ngantuk berat. Kulirik jam dinding sudah pukul 10 malam, apa sih yang dia lakukan di kamar mandi? Apa sebaiknya aku tinggal tidur saja. Perlahan aku menarik nafas. Memejamkan mata, menyandar ke dinding di samping ranjang.
"Mila... ambilkan handuk," pintanya dari arah pintu. Membuatku bangun, berkedip berulang kali. Lalu melangkah cepat mengambil handuk dari lemari.
"Ini Om..." Ucapku di balik pintu.
Setelah itu aku duduk di atas ranjang menarik selimut hingga ke atas dadaku, melihat dia berjalan ke arah lemari dengan handuk di pinggang. Aku menarik nafas mengatur debar jantungku. Seluruh sarafku terasa tegang saat dia hanya mengenakan boxer.
Aku bertanya hati-hati. "Om, apa gak mau pakek bajunya? Nanti masuk angin cuma pakek boxer aja."
"Tenang aja, aku sudah terbiasa tidur gak pakek baju. Lagian ngapain juga pakek baju, nanti juga dilepas," jawab Alister serak-serak basah.
"Gi-gitu ya Om."
Alister tersenyum iblis. "Udah kamu tenang aja, tarik nafas dulu. Jangan tegang gitu... nanti juga kamu akan suka. Rasanya sakit awal-awal, tenang aja aku bakal pelan-pelan."
Saat dia mendekat, jantungku berdebar gelisah. "Om... " Lirihku. Rasanya aku ingin berteriak keras-keras. Tapi pita suaraku seakan rusak tiba-tiba. Perutku serasa mual mendengar itu.
"Kenapa muka kamu, kok pucat?" Alister menatap wajahku dengan kerutan di wajahnya. "Kamu sakit?" Aku menggeleng pelan, mulutku seakan dijahit rapat-rapat tidak bisa membantah Omku.
Aku tidak bisa mengelak lagi, ini adalah tanggungjawabku. Omku sudah melakukan permintaanku.
"Kamu ngomong apa sebelum aku bergerak. " Dia memajukan tubuhnya. "Apa kamu mau kita pemanasan dulu?" tanyanya lagi. Aku tidak mengerti harus jawab apa, pemanasan maksud apa ya? Aku semakin gelisah di tempat dudukku. Belum disentuh saja aku sudah ketakutan, bagaimana kalau dia menyentuh bagian terdalam tubuhku.
Aku pernah bertanya pada Meira, apa yang dia rasakan saat pertama dia melakukan hubungan seks. Aku sempat bingung dengan rasanya apa aneh? Menyakitkan? Apakah pemanasan itu mengerikan? Aku menggigit bibir bawahku.
Aku memperhatikan rambutnya gelap. Struktur tulangnya kokoh. Ketampanannya luar biasa, aku merasa wajahku memanas. Aku bertanya ragu. "Sakit gak? Nanti aku harus ngapain?"
Alister terdiam sejenak, menatap ekpresi cemasku. "Aku berjanji gak. Percaya aja sama aku, kamu jangan berpikir banyak dulu. Belum apa-apa kamu udah bayangin yang aneh-aneh," jawabnya, menahan senyum
Aku tercekat melihat wajah Alister sudah di depanku, aku ingin bergerak namun tubuhku serasa lumpuh tidak bisa berkutik. Dia mendaratkan ciuman dikeningku.
"Jangan tegang gitu." Tatapannya tertuju pada bibir bawahku yang kugigit. Dengan kulit meremang aku tersenyum lemah. Udara terasa lembab dan panas, yang kucium hanyalah aroma dia yang baru mandi. Satu tegukan saat melihat dadanya.
"Sekarang kamu nggak bisa ngelak lagi, nggak ada alesan kamu lagi," tangannya yang kokoh menarik pinggangku posesif. Aku melihat jakunnya naik turun, dia menelan ludah berkali-kali. Tanpaku sadar dia sudah membuka tali lengan bajuku, hingga bagian dada terdedah.
"Om, bisa ditunda gak. Jangan sekarang ya." Ucapku, dia tertawa berat.
"Kita sudah suami-istri, kewajiban kamu untuk memenuhi kebutuhan aku," ucapan Omku berhasil membuatku tidak bisa berkata-kata. Ingin menangis rasanya. "Aku ini nggak jahat Mila, tapi semua cowok punya fantasi sendiri saat melihat gadis secantik kamu." Dia membelai lenganku lembut.
Jantungku berdetak hebat, darahku mengalir lebih cepat dari biasanya saat dia mencium bibirku lembut. Satu tangannya melepas ikat rambutku, membiarkannya tergerai. Dia seperti bisa melahapku dengan satu gigitan. Kedua tanganku menyembunyikan dua bagian milikku yang kembar.
"Jangan ditutup aku ingin lihat." Dia mengambil tanganku, dan aku membiarkan dia menatap bagian dibawah leher dengan mata berbinar. Suara tegukannya terdengar.
"Sa--sakit." Rintihku saat dia meremasnya, lalu tangannya ke belakang ingin membuka pengait bra brendaku. Tapi aku menahannya.
"Aku mau lihat bentuk dibalik ini." Kata Alister di dekat telingaku. Tanganku melemah, dia kembali membuka pengaitnya. Dan membelainya lembut, tidak seperti tadi. "Aku suka bentuknya. Cantik... " Bibirku terbuka namun tidak dapat bicara. Membiarkan saja dia menatapku dengan mesum.
Aku terpaksa mundur ke belakang, aku nyaris tidak bisa menegakkan tubuhku. Tanpa aba-aba dia menempelkan bibirnya, merayu bibirku untuk terbuka.
Saat dia menarikku untuk berbaring lalu menindihku, aku merasa menyentuh bagian pusakanya. Dia tersenyum menatapku, sedangkan aku terlonjak dengan mata melotot. Lalu mataku terpejam begitu saja. Kepalaku pusing, aku tidak tahu apa yang terjadi kepalaku seperti terhantam benda keras.
POV: Alister. "Mila! Bangun... sudah pagi kamu masih tidur aja. Jangan jadi pemalas kamu... " Aku mengguncang tubuh Mila yang masih terbungkus selimut. Aku tahu dia ini pura-pura tidur, pasti mau menghindar dari tugasnya."Mila!""Om, udah pagi ya," gadis itu akhirnya menjawab. Perlahan matanya terbuka. Apa dia lupa semalam pingsan hanya karena tersentuh juniorku yang menegang? Megang saja pingsan apalagi melihatnya. Belum lagi di masukin. Sepertinya aku harus punya strategi panjang, supaya Mila cepat bertubuh dewasa pikirannya.Aku menarik selimut yang menutupi tubuh Mila, balas dendam karena dia aku jadi main solo sambil mandangin dia tidur. Pingsan apa pura-pura tidur, jadi curiga."Malah tidur lagi! Nggak usah pura-pura tidur Mila, jangan karena aku nikahin kamu jadi ngerasa nyonya besar. Kamu ngaca, tinggal disini harus tahu diri." Aku menendang kakinya pelan, matanya terbuka l
POV: Mila. "Apa sih yang bisa aku harapin dari kamu," suara Alister bernada tinggi. Dia sedang berkacak pinggang di depanku. Sedangkan aku fokus pada bulu halus pada garis lurus dekat udelnya. Semua karena kebakaran yang aku ciptakan di dapur. Om jadi membuka bajunya lalu direndam ke air untuk mematikan api. Secepat itu gerakannya seakan tahu aku membuat rumahnya hampir hangus.Aku heran tahu darimana dia kegiatanku di rumah. Kebakaran ini terjadi karena aku yang kurang hati-hati, kemarin aku sudah bisa memakai oven tapi hari ini aku sedang apes."Mila! Kamu denger gak sih aku ngomong apa?" suaranya pelan namun mampu membuatku tertunduk dengan tangan gemetar. "Maaf Om, Mila nggak sengaja." "Lain kali pakai otak! Kamu kenapa nggak masak pakek kompor gas aja? Ngapain pakek oven kalau nggak ngerti makeknya. Udik-udik aja, nggak
POV: Mila. Sepagi ini aku sudah bangun, sengaja supaya punya waktu banyak untuk memandangi laki-laki yang masih nyenyak tidur di sampingku. Bulu matanya lentik, bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan laki-laki yang merokok. Walaupun dia dingin dan ketus, tapi aku senang sekarang punya seseorang dalam hidupku. Tanganku berhenti menyentuh keningnya, alis matanya naik tiba-tiba untung saja Omku masih terlelap. Aku tersenyum lalu bergegas turun dari tempat tidur, pagi ini aku akan membuat sarapan spesial untuk Om. Omelet sayur, masakan pertama kesukaan Om yang berhasil kupelajari. Kocok telur, bumbui dengan bawang putih, garam, dan merica. Lalu kurebus bayam sampai layu, kemudian peras airnya dan iris hingga halus. kucampur wortel, brokoli, dan bayam ke dalam telur. Tambahkan tepung terigu yang sudah dilarutkan dengan sesendok makan air. &nb
POV: Alister. Sebenarnya apa yang kulakukan sekarang? Mengikuti pasangan yang terlihat sedang kasmaran? Kezia dan Fabian sedang bercakap-cakap sambil tertawa. Kami sedang berada di butik Kezia, dia ingin aku menjadi modelnya untuk pakaian item laki-laki. Wajah tampan dan badanku yang atletis membuat Kezia memintaku untuk membantunya. Lagi-lagi aku tidak bisa menolak permintaan Kezia, hanya wanita itu yang mampu membuatku berkata 'Iya' Aku mendengus kesal, nyatanya bukan hanya aku tapi Fabian juga diminta datang untuk memberikan komentar. Komentar? Aku kan pengacara, jelas ucapanku lebih terpakai daripada pengusaha seperti dia. Mataku terus saja mengawasi mereka sambil bergaya di depan fotografer. Setelah selesai aku meminta Kezia membayarku dengan mengajakku makan di restoran Jepang. Alih-alih ingin berduaan dengan Kezia, Fabia malah ikut juga.
POV: Mila. Aku tidak tahu takdir seperti apa yang sedang kujalani. Aku anak yatim-piatu, tidak pernah merasakan belaian kasih sayang orangtua sejak kecil. Om Danu dan Tante Gina yang merawatku, jauh sekali dari kata-kata sayang yang mereka lakukan padaku. Hingga akhirnya aku bersyukur, mereka menjualku ke club malam dan bertemu Alister Bagaskara. Orangtuaku pasti bangga karena aku yang tidak tamat sekolah ini bisa menikah dengan pengacara tampan. Meira sudah memperingatkanku supaya tidak membawa perasaan dalam hubunganku dengan Alister, dia satu-satunya yang aku ceritakan tentang pernikahan kami. Tapi yang kutakutkan malah terjadi. Pertama kali melihatnya, aku membencinya. Laki-laki yang membookingku dan berniat mengambil keperawananku di hotel berbintang. Tuhan seperti membolak-balikan kehidupanku, laki-laki itu telah menghala
POV: Alister. Kejadian tadi membuatku merasa bersalah pada Mila, sudah tiga jam wanita itu pingsan. Aku khawatir dengan keadaan Mila, ini semua karena emosiku yang tak terkawal. Semua karena cincin itu, aku benar-benar sudah melukai dia. Dia pasti sangat terkejut dengan perangaiku, apalagi aku sudah mengambil keperawanannya. Entahlah, aku sangat senang bisa menjadikannya seutuhnya milikku. Di saat hatiku terluka oleh keputusan Kezia. Aku takut Mila lari dariku, takut dia trauma melihatku dan membenciku. Aku masih terjaga di sampingnya, menatapnya sambil menggenggam tangannya. "Maafin Mas, Mila. Cepat sadar, sayang." Aku tahu ucapanku sangat melukai Mila, tekanan yang kuberikan membuat pikirannya terbebani. Belum lagi perkerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa mengeluh. Aku tidak tahu perasaan apa ini, yang pasti aku belum mau m
POV: Alister. Mungkin ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Tebak saja aku dimana? Toko perhiasan, aku berniat untuk memberikan Mila cincin yang dia inginkan. Tidak, aku tidak mungkin memberikan cincin yang akan kuberikan pada Kezia untuk Mila. Entahlah, aku lebih bersemangat mencari cincin ini ketimbang mencari cincin Kezia. Aku hanya berpikir, anak itu layak mendapatkan yang terbaik. Ya, karena aku sudah mengambil miliknya yang paling berharga."Ada yang perlu saya bantu Pak?" seorang penjaga toko bertanya. Aku mendongak menatapnya yang ada di depanku."Tolong carikan cincin nikah yang terbaik, gak masalah dengan harganya yang penting carikan yang paling cantik," jawabku, aku melihat wanita itu tersenyum, terserah dia anggap aku lebay. Lalu aku kembali melihat meja kaca di bawahku. Semuanya terlihat indah tapi aku ingin yang terindah menghiasi jemari Mila."Ukuran jarinya?" tanya wanita
Hembusan nafas kasar terdengar. Kezia keluar dari taxi, kini dia sudah ada di bandara. Tangannya menarik koper memasuki bandara. Hari ini dia akan terbang ke Singapure tanpa ada yang mengantarkan. Keputusannya sudah bulat. Kezia berjalan dengan elegan, penampilan yang modis jemarinya sudah di nail art. Wanita ini terlihat sosialita dan fashionable. Tapi wajah sendu terlihat di matanya. Seperti ada yang tertinggal yang membuatnya berat. Kezia menatap pada orang-orang yang disekelilingnya, tidak lama suara berbunyi.PARA PENUMPANG YANG TERHORMATPESAWAT DENGAN NOMOR PENERBANGAN."Kamu gak mungkin datang