Share

Dihalalkan

 

Pov: Mila.

"Pernikahan kita hanya di atas kertas, di rumah kamu adalah perempuan bayaranku."

     Ucapan itu terngiang di benakku. Akhirnya aku lepas dari tempat laknat itu. Semua berkat laki-laki yang baru saja menghalalkan aku. Ini semua seperti mimpi bagiku, aku tidak tahu harus bahagia atau sedih dengan pernikahanku. Tapi yang jelas untukku, bertemu dengannya adalah garis hidup yang sudah dirancang Tuhan untukku. Walaupun kasar, ketus, dan dingin aku bersyukur bertemu dengannya.

 Akhirnya Meira dibebaskan, malam itu saat aku dan Meira mendatangi ruang Tanaka tiba-tiba anak buah Tanaka menyekap Meira dan mengancamku kalau tidak menuruti perintahnya Meira akan dibunuh. Mereka tahu Meira teman yang paling dekat denganku,  gadis itu banyak membantuku hingga aku tidak tega. Dan akhirnya aku tahu Tanaka hanya menggertakku. Mana mungkin mereka membunuh Meira, gadis itu salah satu bunga malam yang disukai pelanggan di club.

"Om makasih ya udah bantuin aku, Mila janji nggak akan ngecewain Om," ucapku memecah keheningan. Sepanjang perjalanan tadi kami tidak bersuara. Omku sibuk dengan setirannya. 

  "Kamu suka banget manggil saya Om... Om... Dikira orang aku sugar daddy kamu!" ucapnya dengan satu alisnya terangkat. Aku masih memiringkan tubuhku melihatnya. Sedikit terlonjak Om itu berucap.

"Um... Jadi aku mesti manggil apa Om? Pak?" tanyaku ragu-ragu. Dia menolehku dengan tatapan tajam. Semakin tidak suka mungkin aku sebut Pak. Lantas apa dong? Masa Bang, sayang apalagi. Mas? Sepertinya dia lebih tidak suka itu.

 "Coba tebak umur aku berapa?" tanyanya. Aku memperhatikan wajah tampan sebelahku, rahangnya tegas menunjukkan dia berwibawa. Bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan pria yang merokok. Aku menggeleng, berusaha tidak terpengaruh oleh wajah tenang Alister.

 "Umm, berapa ya Om. Takutnya aku salah nebak. Om marah lagi," ucapku, dia tidak menjawab hanya menoleh saja. Seperti ingin sekali aku tebak. "25 ya...?"

 "Aku semuda itu, kamu menyindir aku? Kalau aku awet muda seperti itu, kenapa kamu panggil aku Om?" katanya dengan satu alisnya naik. Tangannya tetap fokus pada setiran sesekali menoleh padaku.

  Aku senang dia mulai banyak bicara padaku, kataku. "Muka Om ganteng sih, badan Om juga bagus... Masa iya udah paruh baya." Sepertinya dia tersindir, tarikan nafasnya kasar.

 "Tambahin tiga dari tebakan kamu." Ucapnya, aku membuka satu tangan jariku lalu menghitungnya. Dia melirikku sebentar, di matanya mungkin aku bodoh. Tapi, sebenarnya aku tidak ingin salah tebak takut dia tersinggung.

 "Dua puluh delapan, Om?" Ucapku terkejut, wooww... Muka Omku muda sekali. Aku tidak menyangka umurnya sudah segitu.

 Dia menyentuh tulang pipinya bangga. "Ngitung segampang itu aja pakek jari tangan, bodoh banget. Tamat sekolah nggak sih? Emang kamu umurnya berapa sampe anggep aku Om-Om?" tanyanya, membuatku tertunduk. 

   "Om nggak lihat kertas yang Om tanda tangani? Di situ kan ada nama Karmila, tanggal dan tempat lahir tertulis jelas. Saya masih 16 tahun Om," ucapku pelan. "Aku aja sampe ngapalin nama Om, Alister Bagaskara." Ya, itu adalah nama suamiku. Aku hanya berani menyebutnya Omku, Sebelum dia mengizinkan aku untuk mengakuinya sebagai suamiku.

  "Ehmmm, pantes bapak penghulu melototin saya. Kamu masih 16 tahun," ucapnya, kulihat jakunnya naik turun. Dia tampan dengan bulu tipis menjadi berewoknya. "Disangka pendofil," ucapnya. Aku menahan tawa takutnya dia marah.

 "Dua bulan lagi aku 17 tahun, Om." Kataku. Dia terdiam sejenak, lalu menoleh padaku.

"Jangan panggil aku Om lagi... " Ucapnya terhenti, lalu berkata. "Inget ya Mila, aku orangnya terbuka. Dan jangan coba-coba kabur..." ucap Alister penuh penekanan, aku mengangguk tanda patuh. Duduk di sampingnya saja membuatku senang. Kelihatannya dia tidak jijik dengan penampilanku yang udik. 

 Aku kaget, tiba-tiba Alister mengambil ponselnya lalu diletakkan ke pahaku, dua pikiranku saat itu. Dia ingin meraba pahaku yang ber'rok selutut pendeknya, satu pikiranku lagi dia memberikan ponsel mahalnya untukku.

"Buka aplikasi di ponsel itu, cari Shopie. Kamu belanja online aja untuk pakaian kamu. Cari baju yang bagusan, gak papa mahal." Katanya. Aku tertunduk malu untuk dua prasangkaku yang terpeleset. Baju yang aku kenakan milik Meira, hanya yang ada di badanku yang kubawa. Aku tidak mau mengambil barangku di asrama, takut kembali ke tempat itu.

 "Aku nggak ngerti buka hapenya. Om yang pesanin saja. Aku terserah mau dibeliin kayak mana terserah. Aku pakek kalau itu pilihan Om."

 Alis mata Alister naik melihatku, lalu kembali fokus ke depan. "Kamu udik banget ya! Buka hape aja nggak bisa. Mana aku tahu ukuran bra kamu, megang aja belum."

 Aku terbelalak kaget dengan mulut ternganga, ucapannya sangat luar biasa mesum. Seketika tubuhku menggigil. Apa sampai di rumah dia langsung mengajakku berhubungan? Ah, sudahlah. Aku tidak mau mengecewakan dia. Ini sudah pilihanku, untung saja Meira memberikan tips cara bercinta sebelum kami berpisah.

Susah payah aku menelan ludah, bingung mau bicara apa. Satu tanganku menggaruk lenganku, gugup. "Terus aku... maksudku..."

  "Udah! udah... kita mampir ke toko sebentar. Pakek jaket yang ada di bangku belakang."

  Aku melihat ke belakang, ada baju berwarna hitam di atas bangku. Aku menjulurkan tanganku mengambilnya. Ternyata Omku tidak sejahat pikiranku. 

 Setelah mampir ke toko dan membeli banyak baju, termasuk pakaian dalam. Kami mampir ke tempat makan, hanya dia yang turun aku menunggunya di mobil. Padahal aku ingin juga turun melihat toko besar itu. Di kampung mana ada toko sebesar itu.

     Mungkin dia malu membawaku, badanku belum mandi. Muka kucel, baju kaus dengan rok ditambah lagi sendal swalowku. Berbeda jauh dengannya yang terlihat keren.

  "Nih makan, entar kamu pingsan," ucapnya tanpa menoleh padaku. Aku membuka kotak itu, hamburger. Meira pernah membeli ini untukku.

  "Om nggak makan?" tanyaku, karena dia cepat sekali kembali ke mobil. Ngomong-ngomong kenapa rumah Om lama sekali sampainya ya?

        "Nggak usah banyak tanya, disuruh makan-makan aja," ucapnya galak. 

Ya sudah dengan polosnya aku makan sendiri saja. Dari tadi dia melihat ke samping jendela, lalu fokus ke depan. Tidak lagi melihat ke arahku. Tidak kebayang kalau dia sekarang suamiku.

Saat sedang asyik menikmati makanan dan melihat ke arah luar jendela, aku kaget merasakan ibu jarinya mengusap sudut bibirku. Pasti wajahku merona padam, belum ada pria menyentuhku seperti ini.

"Ada saus. Makan yang feminim dikit dong, kan kamu perempuan." Ucapnya. Aku mengangguk canggung. Entah bagaimana bisa dia setenang itu setelah menyentuh wanita.

 "Aku cuma mau ingetin kamu. Mungkin aku nanti ada khilaf lupa pakek kondom, sebenarnya lebih enak nggak pakek kondom. Jadi tolong kamu jaga-jaga supaya nggak hamil." Jelas Alister. Tunggu... pembicaraan ini cukup membuatku terkejut sekaligus bingung.

  "Caranya?"

 Dia menoleh padaku. "Kamu nggak nanya sama temen kamu? Harusnya kamu cari tahu Mila, supaya aman. Aku nggak mau punya anak. Aku bayar kamu bukan untuk melahirkan anak."

 Ya ampun ini cowok mulutnya, nggak disaring dulu sebelum diucap. Harusnya dia yang lebih pengalaman ngajarin aku. Sedih dengernya, tapi nggak boleh nangis nanti dia makin marah.

🌷🌷🌷

POV: Alister.

Mungkin aku sedikit ceroboh menikahi gadis desa ini. Bahkan untuk menikahi wanita dari kalangan atas saja aku masih harus berpikir panjang. Melihatnya dengan pakaian udik dan dandanan tanpa make-up itu... jelas aku tidak terlalu tertarik. Aku bukan manusia suci... yang kuinginkan adalah kepuasan semata.

"Di kampung kamu kerja apa?" Tanyaku ingin tahu. Katanya sih dia belum lama tinggal di club malam itu. Astaga... kalau ingat aku mengeluarkan dia mengorbankan uang tidak sedikit. Apa perempuan ini pakek pelet?

"Aku bantuin Tante di sawah, Om. Orangtuaku sudah meninggal." Ucap Mila dengan raut wajah sedih. Aku menatap tangannya yang menyatu dengan gemetar. "Sekarang aku gak punya siapapun selain Om."

"Kamu jangan berharap banyak dari aku. Hanya kepuasan yang aku cari dari kamu, selain itu gak ada." Kataku dengan sinis. Aku ini bukan orang baik, banyak orang yang bilang aku menyebalkan. Dan satu lagi, pria terhormat sepertiku tidak akan jatuh kedalam pelukan wanita desa seperti dia.

Dia melirikku, lalu tersenyum. "Iya, aku mengerti. Aku pikir juga Om gak akan membutuhkan apa pun kecuali tubuh aku, kan? Dan aku sangat berterima kasih Om mau menampung aku."

Suasana dalam mobil ini terasa tegang, aku pikir akulah yang mendominasi dia. Nyatanya tidak... dia berhasil membuatku terdiam.

Tidak lama mobil sampai di depan vila milik keluargaku. Biasanya tempat ini hanya untuk peristirahatan saat liburan, dan sudah lama tidak digunakan. Jadi Mila sangat aman di simpan di sini. Setelah mengamati Mila yang mengambil belanjaannya aku membuka pintu berwarna coklat ini.

Tubuhnya yang kurus itu--meskipun sangat mempesona tapi tidak cukup membuatku menggila karena hasrat di sore hari seperti ini. Aku menaikan kaki ke atas meja berbaring di sofa, membiarkan dia mundar-mandir entah berbuat apa.

"Heh! Aku lapar... kamu coba beli sesuatu... tadikan ada warung kita lewatin." Aku mengambil dompet dari saku lalu mengeluarkan selembar uang berwarna merah.

Mila cepat-cepat meletakkan sapunya, berjalan ke arahku mengambil uang. "Mau dimasakin apa?" Tanyanya pelan.

"Aku lebih suka masakan luar. Tapi di sini susah dapetinnya. Apa aja yang penting bisa dimakan."

Mila tersenyum, dia pergi dengan langkah cepat ke arah pintu. Kita lihat saja apa dia bisa masak atau tidak. Sambil menunggu aku memejamkan mata, rasanya tubuhku remuk menyetir terlalu lama.

Tidurku terjaga mendengar suara pintu terbuka. Aku meringis melihat Mila berjalan dengan terseok-seok. Melihat roknya yang kusut dan penuh tanah dia menepis roknya dari kotoran yang menempel.

"Kamu belanja apa olahraga?"

Sambil menegakkan tubuhnya Mila bicara. "Tadi ada yang ngejar-ngejar layangan yang putus. Terus gak sengaja aku ditabrak sama anak kecil sampe jatuh di jalan." Mila menghela nafas gemetar.

Sesuatu melembut di wajahku. "Gara-gara itu kamu nangis? Gimana kalau ada yang lebih parah nimpa kamu?" Aku mendekat, mengulurkan tangan mengambil daun di rambutnya yang berantakan. "Berapa lama waktu untuk kamu menangis?" Lalu dia menangis sesenggukan entah karena apa. Aku tergoda mengelus kepalanya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status