Share

Wanita suamiku

 POV: Mila.

  "Apa sih yang bisa aku harapin dari kamu," suara Alister bernada tinggi.

  Dia sedang berkacak pinggang di depanku. Sedangkan aku fokus pada bulu halus pada garis lurus dekat udelnya. Semua karena kebakaran yang aku ciptakan di dapur. Om jadi membuka bajunya lalu direndam ke air untuk mematikan api. Secepat itu gerakannya seakan tahu aku membuat rumahnya hampir hangus.

Aku heran tahu darimana dia kegiatanku di rumah. Kebakaran ini terjadi karena aku yang kurang hati-hati, kemarin aku sudah bisa memakai oven tapi hari ini aku sedang apes.

"Mila! Kamu denger gak sih aku ngomong apa?" suaranya pelan namun mampu membuatku tertunduk dengan tangan gemetar.

      "Maaf Om, Mila nggak sengaja."

  "Lain kali pakai otak! Kamu kenapa nggak masak pakek kompor gas aja? Ngapain pakek oven kalau nggak ngerti makeknya. Udik-udik aja, nggak usah sok kepintaran. Untung apinya nggak menjalar kemana-mana." Dia mengusap wajahnya yang terlihat kesal lalu bergumam. "Bisa-bisanya aku kemakan omongan kamu, nikahin perempuan tolol nggak guna kayak kamu."

 Aku tersentak, dia benar-benar marah. "Jangan gitu dong Om, Mila kan mau belajar masakan ala-ala luar negeri yang nggak pedas. Katanya Om nggak suka pedas. Mila lagi cari menu masakan yang sesuai lidah Om."

  "Alesan! Aku nyesel nikahin kamu." Omnya jujur banget ngomongnya. "Kamu menang cantik sama mulus aja, apa-apa nggak bisa diharapin. Bisa-bisanya kamu mau bakar rumah aku, gila kamu ya."

 Omku masih seperti orang yang ingin menenggelamkanku ke tengah laut. Ia menatap murka pada dapur yang berantakan.

   "Om maafin Mila ya," ucapku gugup dengan kepala tertunduk, dia menatapku tajam. "Om jangan usir aku ya, aku nggak tahu mau kemana. Mila nggak mau kembali lagi ke club malam itu," wajahku mulai memanas. Tiba-tiba air mataku tumpah mengingat club malam itu.

 "Kalau kamu nggak mau aku balikin ke tempat asal kamu, lain kali pakek otak! Rumah ini kebakaran dan kamu celaka, nama aku yang terseret-seret." Ucapnya sarkas.

 Aku semakin sedih, hatiku diliputi rasa bersalah. Aku mencoba untuk menahan tangisku supaya berhenti namun malah semakin terisak. Semua orang akan memandangku rendah karena aku bekas tinggal di tempat pelacuran, padahal aku tidak menjual diriku di sana. Aku tertunduk takut melihat wajahnya yang murka.

 "Kamu jangan nangis, nggak guna kamu ngeluarin air mata buaya. Sana mandi."

     Ia hanya menatapku sekilas, setelah itu membuang pandangannya.

       Di kamar mandi aku merendam tubuhku di bak mandi, Om bilang namanya Bathub. Aku menangis sesenggukan. Semua ucapan laki-laki itu membuatku seperti tertusuk-tusuk belati. Aku tidak suka kalau masa laluku diungkit-ungkit. Club malam itu seperti mimpi buruk untukku, mengenang kembali laki-laki yang mencolekku saat aku bersih-bersih. Di sana tempat yang tidak pernah kumerasa aman. Mengingatkanku tentang Om Danu dan Tante Gina, keluarga yang tega menjualku. Om Danu yang berulang kali mencoba memperkosaku

  Aku memukul dadaku kuat-kuat, berharap rasa nyeri yang kurasakan sedikit berkurang. Suara tumpahan air tak kuperdulikan.

 "Cepat keluar, kalau sudah selesai mandinya!" suara gedoran pintu membuat tangisku terhenti. Sialnya aku lupa membawa handuk, aku melihat gantungan dengan frustrasi.

 "MILA UDAH SELESAI BELUM! CEPATAN KELUAR," teriakan Om Ali dari luar.

  Jantungku terpompa sangat cepat tidak seperti biasanya, aku keluar dari Bathub dengan bertelanjang kaki. Bagaimana ini, masa aku tanpa busana keluar mengambil handuk, kalau minta tolong dia pasti makin marah.

  Aku membuka pintu sedikit, mencari keberadaannya. Mataku melihat dia di depan pintu berdiri menungguku.

  "Ngapain kamu ngumpet dibelakang pintu?"  tanyanya menaikan satu alisnya.

       "O--Om... Mila nggak bawa handuk, baju yang tadi basah," ucapku pelan, takut dia marah lagi. Aku cukup kaget dia mengambilkan baju di lemari dan memberikannya padaku dan juga handuk.

  "Makasih Om," ucapku setelah meraih baju itu. Satu kesalahan aku menyuruhnya. Hanya baju kaus milik Om yang oversize di tubuhku tanpa dalaman. Terpaksa aku memakainya dulu, sisanya nanti nyusul.

  Baju ini milik Om Ali, besarnya selututku berwarna putih, entah kenapa dia nggak ngambil bajuku dan malah memberikan bajunya. Pertanyaan itu aku pendam saja, dari pada ribut lagi.

 Aku baru saja keluar dari kamar mandi, pura-pura saja tidak melihat Alister sedang berdiri tak jauh dariku. Dia sedang menatapku, aku tahu itu. Aku cepat-cepat mengambil dalamanku di lemari, rasanya tidak nyaman kalau tidak memakai itu.

     Aku rasa Om Alister  laki-laki pendiam dan dingin. Tidak pernah kulihat senyum di wajahnya. Dia semakin membuatku takut kalau sedang marah. Rumah ini seperti tidak ada kehidupan tanpa gelak tawa.

      "Pakek di situ aja, nggak usah ke kamar mandi," ucapnya dengan datar saat aku akan melangkah kembali ke kamar mandi. Apa dia gila? Itu sama saja menyuruhku bertelanjang di depannya.

  "Pakek, atau kamu nggak usah makek sekalian," opsinya membuat bulu kudukku merinding. Dengan gugup aku melakukan hal yang dia minta, di depannya. Sudut mataku meliriknya yang terus memandangi kegiatanku. Aku tahu pikiran mesum di otaknya, tapi aku belum siap melakukannya.

  "Kamu akan mengerjakan semua perintahku, termasuk yang seperti ini. Sebagai bayaran kamu belum bisa melayaniku," ucapnya dengan suara dingin.

  Aku meneguk air ludahku setelah memasukkan baju ke dalam tubuhku. Lalu menghadap padanya, yang menjadi pertanyaanku kenapa dia tidak mau memaksaku?

        "Om-- Masa harus pakai baju juga di depan Om?"

   "Keberatan? Yasudah kamu layani aku saja di tempat tidur. Aku nggak perlu nungguin kamu sampai genap 17 tahun."

  Aku tidak marah, malahan berterima kasih. Malah dia yang akan tersiksa jika melihatku seperti itu. Jadi aku bisa bernafas lega hingga umurku 17 tahun.

        "Dengan catatan aku nggak akan kasih kamu uang bulanan, persediaan makanan dan kebutuhan kamu yang lain semua terpenuhi," ucapnya membuatku mendelik sebal. Laki-laki ini terkadang seperti monster. Apa mungkin Alister Bagaskara ada kelainan.

 "Inget ya Mila, aku nggak suka kamu bicara atau dekat sama laki-laki lain. Apalagi ada laki-laki lain sampai masuk ke rumah ini kalau aku nggak ada."

   Aku mengangguk.  "Mila nggak kenal siapa-siapa kok Om di sekitar sini, mana mungkin masukin orang ke rumah Om." Ucapku melihat matanya.

   "Bisa aja kamu ngomong kayak gitu, tapi kalau aku nggak ada?  Kamu bisa jamin, aku nggak suka pembohong. Inget ya." Dia memperingatiku dengan nada mengancam, aku heran kenapa emosinya menggebu-gebu begini.

   "Om Mila nggak akan berbuat nggak baik di belakang Om." Aku berdiri di hadapannya yang terduduk di tepi ranjang.

 "Aku nggak bisa percaya dengan kamu begitu saja Mila, perempuan club malam seperti kalian sudah biasa dengan yang namanya laki-laki. Bisa saja kamu pura-pura nolak aku sekarang. Inget ya, kalau sampai diumur 17 tahun, waktunya tiba. Dan kamu nggak perawan lagi, kelar hidup kamu."

  Dia ini kalau marah-marah terus nggak takut cepat tua, terus tiba-tiba kena serangan jantung gimana? Om ini marahnya kayak orang kesurupan. Mungkin kesambet waktu pulang.

  "Iya Om." Hanya itu yang bisa kujawab dengan kerutan keningku. Ucapan  Alister merebak kemana-mana. Membuatku bingung. Raut wajahnya tenang tapi matanya setajam silet. "Aku tidur duluan ya Om... "

"Aku belum selesai bicara."

"Tapi aku ngantuk. Dan lagi Om ini cemburuan gak jelas." Kataku kesal.

  Lebih baik aku cepat tidur dari pada meladeni Om Alister yang seperti kesetanan. Tiba-tiba tangannya mencekam lenganku kuat saat aku melangkah, matanya seperti singa yang kelaparan melihatku.

       "Mulai berani ya ngelawan? Nantangin kamu?! Jangan mimpi aku bisa cemburu sama perempuan malam seperti kamu."

    Rasanya pengen nampol wajah Alister, aku pikir dia itu punya perhatian sama aku. Ngeliat gimana dia matiin api sampai rela bajunya kebakar. Ternyata aku salah, dia hanya anggep aku nggak lebih dari wanita malam yang sudah dia beli.

       "Om lepasin, sakit Om."

   Alister menghempaskan lenganku kasar. "Inget ya Mila, ini yang terakhir kamu bersikap ketus sama aku."

🌹🌹🌹

      Aku terbangun karena perutku yang kosong, perutku kelaparan di tengah malam. Hatiku masih terasa sakit mengingat ucapan Om Alister, aku pikir dia akan menyuruhku makan nyatanya malah membiarkanku menahan lapar. Saat tanganku terlentang mencari sosok laki-laki yang biasa tidur di sampingku tidak ada. Bantalnya tak berpenghuni.

     "Laper," gumamku.

      Terserah dia pergi kemana, aku turun dari tempat tidur sambil memegang perutku yang berbunyi dari tadi.  Aku melangkah ke dapur dan langsung membuka kulkas, melahap buah apel tanpa dicuci.  Semua vitamin kok, sebelum masuk kulkas aku sudah mencucinya. Belum habis apel di tanganku, satu tanganku lagi mengambil potongan bolu dengan cream putih di atasnya. Rasanya aku kembali jadi manusia setelah perutku terisi.

      Sambil membawa gelas berisi air putih, aku melangkah naik ke anak tangga, hingga suara seseorang membuatku terhenti dan kepalaku tertunduk memastikan siapa kawan Om Alister berbicara.

   "Jangan buat aku hancur dengan menolakku malam ini. Jadilah istriku, jadilah matahari di dalam rumahku selamanya." Alister berlutut saat mengucap itu, aku melirik kanan-kiri dengan siapa dia bicara. Lalu dia mengacak-acak rambutnya frustrasi.

  "Kamu adalah semangatku mencapai kesuksesan, segala yang kulakukan hanya untukmu." Om ternyata sudah punya kekasih, aku menekan dadaku lalu melirik jemariku yang kosong. Padahal aku ini istrinya tapi tidak ada cincin di tanganku. Aku melihat Om Alister yang sedang mundar-mandir memegang cincin di tangannya. Tidak ada siapa-siapa di situ, hanya Om sendirian. Dia pasti sedang gugup, ingin melamar seorang gadis kah?

  Aku menopang dagu sambil menonton Om Alister yang sedang mengatur kata-kata untuk menyatakan cintanya pada orang yang menurutku spesial, biasanya laki-laki itu ketus dan dingin. Sekarang malah terlihat gugup dan tidak percaya diri.

      "Kamu ada waktu nggak buat aku? Aku pengen kita bisa quality time besok, aku mau ngomong penting." Laki-laki itu kembali mengacak rambutnya, mungkin kata-kata itu kurang sreg di hatinya.

 "Kezia Dewita... hal terberat untuk aku adalah melihat kamu dipelukan Fabian. Aku akui bahwa aku cemburu ketika melihat dia bisa membahagiakanmu. Tapi itu gak pernah membuatku berhenti untuk memperjuangkanmu. Bahkan, aku akan berusaha lebih baik dari itu.”

    Om apa aku harus nulis ‘Cemburu’ di koyo cabe, terus aku tempelin di jidat kamu? Agar kamu sadar, rasanya tuh panas banget. Secinta itu dia sama kezia-kezia itu. Jadi cowok rival Omku Fabian? Om, kenapa aku yang dijadiin pelampiasan amarahmu. Andaikan perempuan itu aku, pasti rasanya seneng banget. Aku tersenyum flat dan masih memandangi Om Alister yang masih merangkai kata-katanya.

      Aku kaget ketika mata Om mengarah padaku, cepat-cepat kakiku melangkah ke kamar. Aku meletakkan gelas di atas meja samping tempat tidur lalu menutup mata, pura-pura tertidur. Apa dia melihatku tadi? Semoga saja tidak. Om pasti malu dan marah kalau tahu aku mendengarkan isi hatinya. Seorang istri yang memergoki suaminya merangkai kata untuk wanita lain. Sungguh luar binasa Karmila.

        Aku mendengar suara pintu terbuka, langkah kakinya  semakin mendekat. Semakin rapat kututup mataku. Tuhan tolong, bisa-bisa aku diusir kalau dia marah lagi.

      Sedetik, tidak ada suara...

      Dua detik hening...

      Aku tidak berani mengintip, mungkin Om Alister sudah tidur. Dia mungkin terlalu fokus dengan isi hatinya hingga tidak sadar aku yang berdiri di atas menontonnya di ruang tengah.

     Tiba-tiba aku merasa jempol seseorang mengusap bibirku. Astaga, apa yang terjadi denganku? Rasanya ingin pingsan, kalau saja kakiku bisa melangkah dan terjun dari balkon.

  "Jadi perempuan jorok banget, tidur nggak sikat gigi dulu. Mana belepotan lagi makannya," ucapannya membuatku menahan nafas dalam-dalam. Cream bolu yang kumakan, pasti bekas itu. Aku meruntuki diriku sendiri. Pasti dia fikir aku rakus.

     Tiba-tiba dia mengecup singkat bibirku, dasar bedebah... Laki-laki yang aneh! Sempat-sempatnya dia nafsu melihat bibirku, di saat dia sudah merangkai kata-kata untuk wanita lain. Tante Zia-zia... Entah siapa namanya! Semoga nggak termakan sama rayuan Om Alister.  Laki-laki ini mesum dan sudah beristri.

       "Aku tahu kamu pura-pura tidur, Mila."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yeni Lie
hahaha Mila ketahuan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status