"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
Salah satu kesalahan terbesar manusia ialah dilahirkan ke dunia yang fana sebab mereka tidak pernah mempersiapkan dirinya dengan baik, yang pada akhirnya justru mengantarkan mereka dalam keputusasaan panjanjang selama hidup. Itulah kenapa hanya sedikit dari manusia yang benar-benar bisa menikmati kehidupan. Sebagian besar dari mereka justru menderita dan sudah merasakan neraka jauh sebelum dijemput kematian, ditanam ke dalam tanah lalu disusul oleh pertanyaan-pertanyaan dari para malaikat. Setidaknya itulah yang kini dirasakan oleh Utami Wiratmaja. Gadis itu duduk di tepi danau sambil memegangi abu pembakaran kekasihnya yang baru dikremasi dua hari lalu. Dia sama sekali tidak menduga bahwa hari paling bahagia dalam hidupnya justru harus dihampiri oleh takdir sedemikian mengerikan. Kekasihnya, Ben, diambil oleh malaikat maut tepat sebelum keduanya melangsungkan pernikahan. Dua jam, lebih tepatnya. Dua jam sebelum pemberkatan pernikahan mereka. Terlalu banyak pertanyaan di kepala Tami
"Inikah akhir waktuku, Tuhan?” Itulah yang ditanyakan Arjuna ketika tubuhnya ditandu memasuki ambulans. Sekujur tubuh pemuda itu kini terasa amat lemah seolah dia tidak punya daya sama sekali, bahkan untuk sekadar bersuara. Matanya memang terbuka tapi Juna tidak mampu untuk menangkap siapa saja sosok di hadapannya kini, pandangannya terlalu kabur. Satu-satunya yang dia tahu adalah bahwa ibunya sedang menangis, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi, Juna pun tak bisa menjawab barang sekecap. Ini bukan kali pertama Juna merasakan sakaratul maut. Entah sudah berapa kali dia mengalaminya selama hidup sebab sejak dilahirkan dia pun telah mengenal yang namanya kematian. Seolah Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk tenang. Lagipula, apa arti ketenangan? Bukankah kematian juga berarti tenang? Ketika tubuh manusia tidak lagi bisa bersuara, berkata-kata dan menyisakan cangkang berupa daging yang membusuk. Lalu, apakah itu artinya Juna tidak takut pada kematian? Tentu saja dia takut. Sangat
“Bangun! Bangun! Bangun!” Suara Gina yang cempreng membangunkan Tami. Kakak perempuan satu-satunya itu kini sudah berada di dalam kamar dan membuka gorden dan jendela lebar-lebar, membiarkan udara pagi masuk. Ini merupakan rutinitas harian yang terpaksa Gina jalani sejak sang adik divonis depresi dan tak bisa melakukan apa-apa sendiri. Lebih tepatnya, Gina lah yang tidak membiarkan Tami melakukan apapun sebab khawatir kalau adiknya itu akan melakukan hal-hak ekstrem lagi. Sejak kematian Ben, sudah tiga kali Tami melakukan percobaan bunuh diri. Dan percobaannya yang terakhir benar-benar hampir menewaskannya. Kalau saja tidak ada yang menolong, mungkin Tami sudah akan tewas dengan tubuh tercerai berai akibat terjun dari lantai dua puluh di apartemennya. Itulah kenapa Gina pindah ke apartemen Tami, meninggalkan keluarga kecilnya. Lagipula, Rio, suaminya sudah terbiasa mengurus balita. Anak-anak aman bersama ayahnya. Yang tidak aman justru perempuan dewasa berusia dua puluh delapan tahu
“Nama Anda tidak ada di daftar tamu undangan. Maaf sekali, Nona.” Saat pelayan mengembalikan kartu yang kubawa, dia tampak menyesal. “Hah? Bagaimana mungkin? Saya punya undangannya. Undangan ini asli dan diberikan langsung oleh Viviane. Mana mungkin namaku tidak ada? Kalian sudah gila! Periksa lagi.” “Tidak bisakah kau bertindak sopan?” Tiba-tiba saja seorang pria bersetelan cokelat muncul di belakangku. “Tidak bagus mempermalukan orang di depan umum. Hanya karena kau kaya dan terkenal, tidak seharusnya kau punya kuasa membentak orang lain.” “Tunggu! Apa katamu?” “Apakah kalian sudah menemukan namanya?” Pria aneh itu bertanya pada resepsionis. Gadis itu menggeleng. “Tidak, Pak.” “Bisakah kalian membiarkannya masuk? Aku mengenalnya.” Mengenalku? Aku bahkan tak tahu siapa dia. Hanya saja, wajahnya memang tampak tidak asing. Tapi bisa kujamin seratus persen bahwa aku tak mengenalinya. “Kenapa kau bilang begitu?” tanyaku saat kami berjalan melewati lorong panjang menuju tempat aca
Sementara acara berlangsung, aku memutuskan duduk di bangku hadirin sambil memakan potongaan buah segar yang disediakan. Menyaksikan keseruan Viviane dan keluarganya merayakan pesta. Gadis itu terlalu sempurna, dia punya fisik yang sangat cantik, talenta yang amat luar biasa dan orang-orang yang mencintainya. Sementara aku? Bahkan memimpikan ayahku di malam ulang tahun pun aku tak bisa. “Kenapa?” Aku kaget saat mendengar suara Angga. Ternyata, dia telah berdiri di depanku sambil membawa segelas alkohol di tangannya. “Kenapa kamu ke sini? Bagaimana kalau keluargamu melihat?” “Tidak akan ada yang curiga,” jawabnya. “Mereka sibuk pesta, sama seperti yang lain. Itulah kenapa aku ingin menemani yang tak berselera. Apakah ada masalah?” Aku membiarkannya duduk di bangku sebelahku. “Putramu tampan juga. Tak kusangka dia dan Viviane menjalin hubungan.” “Bukankah kamu tahu jika aku berencana membuatnya begitu sejak awal?” Angga tertawa. “Kamu harus mengenal putra sulungku.” “Untuk apa? Ka
“Apakah kamu benar-benar terlibat dalam pencucian uang?” “Eh?” “Sayang, tentu saja dia tidak melakukannya!” Angga menyela dan merangkul bahu Dina, sangat manja seolah dia kucing yang merindukan mainan. “Tami ini dijebak. Kamu kan tahu sendiri betapa gelapnya dunia industri. Aku yakin Broto yang brengsek itu hanya mencari aman.” “Broto pantas hancur. Dia sudah melawan kita!” Rio yang tua terbatuk sebentar, lalu melanjutkan, “Tami, kalau kau mau …, aku bisa membantumu melaporkan Broto ke polisi. Biar dia dipenjara untuk pelecehan seksual. Itu pasti merusak reputasinya.” “Aku sudah menyarankan Tami untuk itu sejak beberapa bulan lalu tapi dia takut.” Mulut manis Angga benar-benar putih, seolah tak ada racun di dalamnya. Dia penipu ulung. Aku tersenyum kecil. “Broto terlalu kuat, Pak.” “Dia tak ada apa-apanya dibanding kami!” kata Rio sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Pria mengerikan. Jadi, dia hendak menjadikanku pion? “Bisakah di pesta ini kita tidak membicarakan pekerjaan