Share

1. Merpati : DI AMBANG KEMATIAN

"Inikah akhir waktuku, Tuhan?” Itulah yang ditanyakan Arjuna ketika tubuhnya ditandu memasuki ambulans. Sekujur tubuh pemuda itu kini terasa amat lemah seolah dia tidak punya daya sama sekali, bahkan untuk sekadar bersuara. Matanya memang terbuka tapi Juna tidak mampu untuk menangkap siapa saja sosok di hadapannya kini, pandangannya terlalu kabur. Satu-satunya yang dia tahu adalah bahwa ibunya sedang menangis, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi, Juna pun tak bisa menjawab barang sekecap.

Ini bukan kali pertama Juna merasakan sakaratul maut. Entah sudah berapa kali dia mengalaminya selama hidup sebab sejak dilahirkan dia pun telah mengenal yang namanya kematian. Seolah Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk tenang.

Lagipula, apa arti ketenangan? Bukankah kematian juga berarti tenang? Ketika tubuh manusia tidak lagi bisa bersuara, berkata-kata dan menyisakan cangkang berupa daging yang membusuk. Lalu, apakah itu artinya Juna tidak takut pada kematian? Tentu saja dia takut. Sangat takut, malah. Sebab se-kenal-baik-apapun dia dengan kematian, nyatanya Juna tidak pernah memahaminya secara pasti.

Sama seperti masa depan –dan memang begitulah kematian –dia sangat misterius. Bahkan surga dan neraka juga sangat menarik untuk dibahas. Juna sendiri dibesarkan di keluarga Kristen yang saat, mereka percaya bahwa selepas kematian akan ada surga yang menanti mereka. Tuhan akan menyambut dan menerima jiwa-jiwa manusia dalam keabadian.

“Mas Juna, bertahan ya!”

Suara ibunya amat menyayat, membuat Juna meneteskan air mata. Dia merasa bersalah sebab sepanjang hidup inilah yang dia berikan kepada sang ibu. Perasaan cemas takut ditinggalkan, perasaan takut kehilangan dan …, ingin rasanya Juna mati supaya dia tak usah melihat penderitaan ibunya lagi.

Juna merasakan kesadarannya perlahan hilang bersamaan dengan rasa sesak yang menguasai dadanya. Dia mulai kesulitan bernapas dan detik berikutnya semua gelap.

Arjuna tidak sadarkan diri bersamaan dengan mesin perekam detak jantung yang menampilkan garis lurus.

“Sayang, Arjuna! Kamu kenapa, Sayang? Jun!” Andini yang duduk di samping putranya berteriak histeris. Terlebih ketika tim medis memompa jantung Juna, mencoba mengembalikan pemuda itu dari kematian.

Di dunia ini tidak ada seorang ibu pun yang mau kehilangan anaknya lebih dulu. Sebab semua orang tua pastilah berharap jika kematian akan datang pada mereka yang lebij senja. Padahal tidak seperti hari, usia manusia tidak punya waktu pasti.

Semua manusia punya dua puluh empat jam setiap harinya tapi itu hanya jika mereka tidak dipanggil oleh pemilik waktu. Tentu Andini paham akan hal itu sebab dia percaya pada Tuhan. Dia sejak kecil dididik untuk meyakini bahwa kelahiran dan kematian adalah sepenuhnya hak Tuhan. Hanya saja, sekeras apapun dia mempersiapkan diri ketika waktu itu tiba segalanya menjadi lebih sulit.

Sebagai seorang Ibu, Andini dilanda penyesalan besar. Dia merasa berdosa karena telah melahirkan Juna dengan kondiri jantung yang tidak sehat. Dia juga lalai dalam menjaga Juna sehingga kesehatannya terus menurun setiap waktu. Terlebih dia telah gagal mendapatkan jantung baru untuk putra pertamanya itu.

“Aku tidak pantas disebut Ibu,” pikir Andin. “Oh Tuhan, tolong selamatkan putraku. Kali ini saja. Lalukan apapun untuk membuatnya bertahan. Aku ingin menjadi seorang ibu yang lebih baik kedepannya. Aku berjanji, Tuhan.”

Seolah doanya sampai ke langit, jantung Juna perlahan kembali berdetak meskipun amat lemah. Garis yang tadinya lurus dan membuat mesin mengeluarkan bunyi nyaring, kini mulai naik turun dan lebih stabil.

Hanya saja, di ambulans yang berbeda seorang perempuan tengah menangis. Menatap kekasihnya yang saat itu masih bernapas meskipun kondisinya sangat mengenaskan.

“Ben, bertahan sebentar lagi ya.” Tami menggenggam tangan Ruben kuat tanpa peduli jika tubuhnya turut bersimbah darah. “Kamu kan sudah janji kalau kita akan menikah. Iya, kan? Ruben, aku mohon.”

Terlalu berat untuk Tami tidak terisak-isak. Dia bahkan tidak lagi bisa mengenali wajah Ruben sekarang. Darah memenuhi mukanya yang sebagian telah hancur. Akan tetapi, Ruben jelas masih bernapas meskipun dengan ventilator yang dimasukkan ke dalam mulutnya.

“Tolong, Ners.”

Petugas medis yang berada bersama mereka dan tengah memegangi kepala Ruben hanya terdiam, menatap Tami penuh sesal.

“Dia bisa selamat kan, Ners?”

“Akan kami usahakan, Kak.”

Bukannya menenangkan, Tami justru merasa kalau kalimat itu sangat menyakitkan.

Nandreans

Terima kasih sudah membaca

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status