Share

7. MELAWAN

Seorang pria dengan pakaian santai ala rumahan itu memandang lapar sajian makanan di atas meja. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepi. Tidak peduli dengan sekitar,  perutnya kini sedang lapar. Ia duduk, tersenyum senang. Meraih nasi dan lauk-pauk.

Tanpa berpikir panjang, tak menunda waktu dia melahap dengan perasaan gembira. “Enak juga!” tuturnya tanpa dia sadar.

Kunyahan demi kunyahan, dia menikmati makanan tersebut. Hingga saat seseorang tiba, matanya dengan mata orang itu bertemu, garpu dan sendok yang dia pegang pun dijatuhkan olehnya begitu saja. Bukan hanya itu makanan yang sedang dikunyah itu pun dia keluarkan.

“Uhuk! Uhuk!”

“Sial, makanan apa ini?!”

“MAS!” teriak Sera.

“Kenapa kau muntahkan makanannya?” ucap Sera. Dia sengaja menyiapkan makanan itu untuk suaminya. Tapi, Dika tak menghargai itu.

“Jadi kau yang masak ini? Pantas saja rasanya tidak enak,” ucapnya bangkit dari kursi. Padahal beberapa waktu lalu dia memuji makanan itu. Sayang, Sera tidak menyaksikan hal tersebut secara langsung. Dasar lelaki tidak tahu diri Dika itu.

“Seharusnya aku tidak menyentuh makanan ini.”

“Aku membuat ini untukmu, Mas, aku sudah mempersiapkan dengan baik dan rasanya enak.”

“Mas, tolong biarkan aku menjalani kewajibanku sebagai seorang istri, memberimu makan dan peduli pada pernikahan ini,” lanjut Sera.

“Alah! Terserah apa katamu, aku sungguh tak peduli!”

DUGH!

Dika menendang kaki kursi dan meninggalkan Sera dengan perasaan perih. Sakit. Dika sudah terlalu sering abai kepadanya. Sera menatap makanan di atas meja dengan tatapan sedih. Air matanya berlinang di pelupuk mata. Menarik napas, perempuan berhijab putih itu mengembuskan perlahan, jarinya bergerak menuju matanya, menyeka agar air matanya tidak terjatuh.

Hati Dika begitu keras. Sejak awal menikah tak pernah memberikan kesempatan baik kepada sang istri. Benar-benar sadis. Sera bergegas merapikan makanan tersebut sambil berdoa, ‘Tuhan aku pikir dia akan menyukai masakanku, aku memohon kepada-MU, tolong sadarkan suamiku. Bukakanlah pintu hatinya.’

Siapa yang tidak merasa sedih setiap kali sesuatu yang kita usahakan dengan baik justru mendapatkan perlakuan buruk. Sesak. Sera harus tetap menghadapi hal itu. “Aku harap kelak kamu menyukai makananku, Mas,” gumam Sera yang masih menatap makanan di atas meja dengan tatapan nanar.

***

Sera merasa bosan lantaran dia sudah tidak bekerja setelah dahulu bercerai. Wanita itu memutuskan untuk membuka butik. Pasalnya, dia jago dalam merancang pakaian juga. Ini juga sudah menjadi impiannya sejak dahulu. Hanya saja itu belum terwujud.

Hari ini, dia mengenakan abaya hitam, lengkap dengan hijab berwarna senada. Wajahnya tampak terlihat cerah. Sera juga termasuk orang yang memiliki kulit cerah dan jarang sekali tumbuh jerawat. Namun, sebelum membuat keputusan itu lebih matang, Sera bermaksud menemui kedua orang tua kandungnya untuk berkonsultasi.

Pasalnya, ada banyak saran yang ingin wanita itu dengar. Suami? Kali ini Sera benar-benar hendak melakukan urusannya sendiri. Dia pun pergi dari kediamannya tanpa berbicara pada Dika. Sosok lelaki seperti Dika sudah mampu membuat Sera marah. Namun, saat hendak pergi lucunya dunia mempertemukan mereka berdua. Sera pikir Dika sedang tidak ada. Padahal dia sengaja ingin pergi diam-diam. Dan alangkah terkejutnya lelaki itu melakukan sesuatu yang membuat Sera bingung.

“Mau ke mana kau?”

Ya, Dika benar-benar bertanya seperti itu kepadanya. “Apa urusan Mas bertanya padaku?” sahut Sera. Tidak. Kali ini dia tidak menjawab dengan seperti sebelum-sebelumnya. Nada bicara Sera pun berubah. Yang saat ini dia lakukan lebih tegas.

“Mas sudah bilang, urus-urusan masing-masing.”

Dika hanya terdiam mendengar penuturan perempuan itu. Di satu sisi, dalam hatinya sangat amat marah karena Sera berani-beraninya berkata seperti itu. Sera akhirnya pergi, tapi tidak lupa menggumam salam. Dalam hati ia berusaha menguatkan diri. Dan tidak menyalahkan atas apa yang dilakukannya.

Saat wanita itu pergi, Dika yang sedari tadi mengepalkan tangan itu pun berteriak. “ARGHH!”

“Sialan kau, Sera!”

“Berani sekali kau berbicara seperti itu padaku?”

“Lihat saja apa yang akan kulakukan nanti.” Dika terus bermonolog. Saat hendak menuju kamar, ponsel di dalam saku itu berdering. Dika sedikit panik karena itu Karina. Jika dia menanyakan soal Sera, Dika bingung apa yang harus dia katakan. Dika menggeram kesal. Memaki Sera dalam hati lagi dan lagi.

Tapi, saat di situasi seperti itu, Dika tetap mencoba tenang. Ada banyak yang bisa ia jadikan jawaban. “Tenang Dika, tenang. Semua akan aman…,” Dika menekan tombol hijau pada layar benda pipih itu, lalu menempelkan pada telinga. “Iya, Ma?”

“Assalamualaikum, Dika. Kau lupa untuk memberi Mama salam?”

Nah, baru awal saja dia sudah kena tegur. “Iya, maaf. Assalamualaikum.” Dika menuruti apa kata Karina. “Lagi apa kamu? Apa kamu bersama Sera?”

Itu dia. Benar tebakan Dika. Mamanya itu lebih mengutamakan menantunya sendiri dari pada dirinya yang menjadi seorang anak kandung. “Ah itu, iya, memangnya ada apa?”

“Syukurlah, ponselnya tidak bisa Mama hubungi. Mama pikir dia sedang sibuk atau ada sesuatu padanya.” Jawab Karina di seberang telepon. Sementara Dika tersenyum kecil karena berhasil membuat Karina percaya.

“Ingat pesan Mama, jaga Sera, Dika. Dia istri yang baik, Mama tidak akan salah memilihkan jodoh untukmu.”

“Iya.” Sahutnya singkat. “Kalian baik-baik saja kan? Butuh sesuatu?”

“Tidak ada. Kami baik-baik saja,” bohong Dika. Selalu seperti itu.

“Baiklah, salam buat istrimu.”

“Iya, Ma.”

***

Saat pulang menuju kamar, Sera melewati Dika begitu saja yang sedang berada di sofa duduk melihat tajam ke arahnya. Sera tampak tidak peduli dengan kehadiran Dika. Dia seperti tengah balas dendam. Hal tersebut membuat Dika jengkel.

“Dasar perempuan mandul,” kata Dika pelan. Namun, sayangnya meski begitu Sera dapat mendengar perkataannya. Sera diam. Memutar tubuhnya, menatap ke arah Dika. “Mas barusan mengumpat tentangku?”

Dika yang sedang memainkan ponsel itu pun menaruh ponselnya di sofa dengan sedikit kasar. “Kau merasa, ya?”

Sera begitu sensitif perkara dirinya belum bisa hamil sampai sekarang. Bahkan, sampai pernikahannya yang hendak berjalan sebulan, dia dan Dika tidak pernah berhubungan layaknya suami istri pada umumnya.

“Kau memang pantas diceraikan,” tutur Dika.  Kenapa suaminya ini memiliki mulut besar sekali?

“Tidak ada satupun lelaki yang mau sama kamu. Wanita sepertimu hanya pengganggu,” lagi-lagi Dika berseloroh seolah dunia hanya miliknya.

“Pasti kau bermain kan pada lelaki di luar sana?” ejekan Dika kali ini membuat Sera geram. Tidak tahan, Sera berjalan ke arah Dika. Dan…

Plak!

“Mas tidak tahu apa-apa tentangku!” marah Sera. Kali ini dia benar-benar melepaskan diri. “Sial.” Umpat Dika menyentuh pipinya. “Berani sekali kau-“

Saat hendak membalas perlakuan kasar Sera, bunyi bel lebih dahulu terdengar. Dika dan Sera menoleh ke arah pintu bersamaan. Siapa yang datang?

  

Pena_Ri

Aku harap part ini seru. Sera di sini bersikap seperti itu karena dia mencoba menjaga dirinya. Dika benar-benar udah kelewatan. Jangan lupa like dan komen. Next part semoga lebih greget. Thxxxxxxxxxxxxx

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status