Duh, dapat plot twistnya ngga?? Tunggu next capt ya! SEE U. Jangan lupa like, komen, follow, thccc!
Ya. Dika terlalu banyak melamunkan seseorang sampai tak sadar sedari tadi ia dipanggil. “Kau tegang sekali, acara belum dimulai dan kau bisa katakan apapun yang kamu mau di atas panggung. Kau sudah dewasa, kau pasti bisa,” ucap Deri. “Jangan melamun seperti itu lagi, ya,” tegur Deri. “Hm,” deham Dika. Dia menarik minuman di atas meja. Menetralkan keadaan dirinya. Hanya sekedar beberapa tegukan. “Dika izin ke toilet,” ucap Dika. Saat mendengar itu, Sera mendapatkan feeling yang tidak baik. Hanya perasaannya saja, namun dia tidak boleh suudzon. “Jangan lama, Dika, kau sebentar lagi akan naik panggung,” suruh Deri. Dika mengangguk singkat. Setelahnya ia pergi. “Sera, bagaimana masakan di sini? Suka kan?” “Iya, Ma, Sera suka, masakan di hotel ini enak dan lezat,” jawab Sera. ‘Ya Allah, apa Mas Dika sungguh pergi ke toilet? Kenapa aku mengkhawatirkan sesuatu?’ tanya Sera dalam hati. “Sera, apa ada sesuatu?” tanya Rani. “Ah, tidak.” “Mama lihat kamu melamun barusan.” “Ck, pasti Sera
Sera mengaduh sakit karena tangannya ditarik paksa sedari keluar mobil sampai ke dalam rumah. Lagi-lagi saat tidak ada orang tua mereka, Dika selalu saja bertindak semaunya. Meski sudah berteriak meminta tolong untuk dilepaskan, Dika tak menggubris sama sekali ucapannya. Sera terisak. Dia bingung harus berbuat apa. “Aku sudah jujur padamu, Mas. Aku sama sekali tidak bermain dengan pria manapun. Bahkan, aku baru menemui lelaki itu saat tadi.” “Mas, per-caya pa-da—ku…,” Sera ingin meraih tangan Dika, tetapi Dika mengempaskan begitu. “Akh!” pekik Sera kesakitan. Selalu saja alurnya seperti ini. Sera sudah bahagia bisa datang ke hotel tadi. Namun, pulangnya malah mendapatkan masalah. Apa yang dia lakukan selalu saja salah. “Bukankah Mas sendiri yang bilang urus-urusan masing-masing? Kenapa Mas justru marah?” Dika terdiam. Sera menghapus air matanya. Bangkit dan menatap Dika dengan berani. “Aku sudah katakan jujur, tapi Mas tidak pernah mau percaya apa yang aku katakan.” Entah dorongan
“Ma, aku dan Sera baru saja menikah. Tapi, Mama sudah meminta cucu,” protes Dika. Pasalnya, Dika sama sekali tidak tertarik menyentuh wanita berhijab itu. “Kami ingin menikmati waktu dulu berdua lebih banyak, ya kan, Sera?” tanya Dika. Sera lantas mengangguk singkat. Sera menunduk. Ingin menangis rasanya lantaran pembahasan ini terlalu sensitif baginya. Sedari awal Dika tidak pernah mencintai dirinya. Apa lagi ingin memiliki anak. Sera merasa permintaan Karina terlalu berat. Bagaimana perihal kemandulannya? Sera semakin ingin mengutuk dan mengurung dirinya. Mungkinkah Karina tidak benar-benar tahu berita perceraiannya karena kemandulannya? Sera jadi terdiam. “Mama lihat kan, Sera jadi murung,” ujar Dika. “Sera, kamu belum siap, Nak?” “Mama salah bicara, ya?” tutur Karina dengan hati-hati. “Oh tidak, Ma,” sahut Sera. “Sera, jika kamu belum siap, Mama tidak akan memaksa. Itu terserah kalian. Karena yang menjalankan pernikahan itu kan kalian,” jawab Karina. “Sayang, Mama tidak bermak
“Mas Dika…aku minta putuskan wanita itu, aku tidak senang dia hadir di sini,” mohon Sera. “Haha, siapa kamu meminta aku putuskan dia?” tanya Dika.“Sampai kapanpun aku tidak akan memutuskan hubunganku dengannya, aku mencintai Lia. INGAT INI BAIK-BAIK. AKU.MENCINTAI.LIA.” Tekan Dika di depan wajah Sera. Sera semakin menangis keras mendengar perkataan suaminya. Ya, Dika tidak pernah mencintai Sera. Dia mencintai perempuan lain.“Hiks…tega sekali kamu, Mas…tega!”“Terserah, menangislah sepuasmu, aku akan pergi bersama Lia!” putus Dika. “Kau tidak memikirkan permintaan mamamu, Mas?” ucap Sera dengan berani. Dika berhenti seraya membalikkan badan. “Soal anak? Haha. Kau berharap kita akan memiliki anak?” Dika berkata dengan nada meremehkan.“Kau jangan gila, Sera!” teriak Dika. “Aku tidak akan mau memiliki anak darimu.”“Lagi pula kau ini kan mandul, jangan harap itu terjadi.” Ejek Dika, “satu hal lagi…,” lanjut Dika. “Aku akan menikah dengan Lia nantinya,” oceh Dika. Mendengar penuturan
Tindakan Sera terlampau bijak dan begitu baik. Sera mampu menahan diri untuk menutupi aib suaminya lagi. Membela suaminya di depan orang tuanya. Jika saja perempuan itu bukan Sera, apa Dika akan tetap aman? Ketampanan tidak menjamin seseorang akan bertahan jika terus-menerus menyakiti pasangan. Sera begitu bersabar sampai sekarang. Lagi-lagi, Sera terpaksa berbohong kepada mertuanya saat ditanya keberadaan Dika. Dirinya menjawab kalau Dika sedang istirahat karena lelah bekerja. Jadi, tidak dapat menjawab telepon mereka. Padahal yang terjadi adalah jika tengah bermesraan di luar sana dengan wanita lain. Hatinya terlalu mulia. Seusai shalat Sera begitu lebih tenang. Seakan mendapat banyak pencerahan dan mau bersabar akan apa yang menimpa rumah tangganya. Sera yakin setiap yang berkeluarga memiliki terpaan angin masing-masing. Entah angin itu besar, sedang atau kecil. Usai berbicara dengan mertuanya. Sera menarik napas dalam-dalam, mengontrol emosi yang ada pada dirinya. “Ya Allah, keb
Sera sakit. Tubuhnya lemas. Usai subuh tadi dia kembali tertidur dan kini bangun sudah hampir jam 8 pagi. Saat terbangun dari tidur kepalanya terasa pening. Pandangannya juga tak beres. Wanita itu menyentuh kepalanya yang terbungkus hijab. Sera bangkit mengambil duduk di tepian ranjang dengan rintihan kecil. Dia menarik napasnya sejenak, mengembuskan perlahan. Berjalan seraya berpegangan pada dinding-dinding agar tidak terjatuh. Kakinya tak dapat berjalan secara normal. Sera seperti tak memiliki tenaga, padahal kemarin dia tak merasa akan seperti sekarang, kondisinya baik-baik saja. Hidup memang tidak pernah bisa ditebak, bukan? Kemarin seseorang bisa saja masih kita dapat jumpai, kemudian esoknya dikabarkan sudah meninggal dunia. Sera pun begitu. Malang sekali nasibnya. Sera pun pergi membersihkan diri ke toilet. Memaksakan diri meskipun keadaannya tak seperti biasanya. Usai menyelesaikan aktivitasnya di kamar mandi, wanita itu memilih memakai pakaian muslim berwarna hitam. Pakaian
“Dika di mana kamu?” ucap Karina. Sedari tadi wanita itu belum meninggalkan rumah sakit. Ini sudah hampir jam 8 malam. Karina tidak berniat beranjak pulang. Kekhawatirannya kepada Sera melebih seperti anak menantu. Dia amat menyayangi Sera dan menganggap perempuan yang tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit sebagai anak kandungnya. Sementara Karina menghubungi Dika, Rani menemani Sera. Beruntung Rani memiliki besan seperti Karina. Dia melihat putrinya dengan tatapan yang sendu. Berharap Sera akan cepat sadar. Rani terus berdoa demi kesembuhan anak perempuan satu-satunya itu. Sidik, papa Sera yang sempat akan berangkat ke pondok pun digagalkan karena tahu Sera masuk rumah sakit. Pria itu pun pergi ke masjid berdoa lebih lama untuk putrinya. “Nak, Sera, apa yang sebenarnya terjadi?” “Bangun, Sera. Mama di sini. Mama datang untuk temani Sera,” tutur Rani dengan suara yang lemah lembut. Dia meraih kedua tangan Sera, menggenggam pelan seraya memberi kecupan singkat. “Anak Mama, k
"Mas!" sebut seseorang di seberang telepon. "Mas di mana sekarang? Kenapa pergi tinggalkan Lia?" lanjutnya. "Lia, Mas sudah minta maaf. Mas sungguh ada urusan." Lelaki itu menjawab dengan nada berbisik lantaran dia sedang ada di rumah sakit. Dia tidak ingin mertua dan orang tuanya tahu. "Lia, sudah ya, Mas akan hubungi Lia lagi nanti," Dika melihat kedatangan Rani dan juga Karina yang sempat izin meninggalkan Sera. Dan dia yang berada di dekat pintu itu pun segera mematikan telepon di saat Lia belum selesai berbicara. "Mas jahat, Mas Dik-" Tut. Dika dapat melihat dari dalam jendela kamar bahwa Rani dan Karina sedang berbincang di luar ruangan. Dika buru-buru mematikan telepon tersebut. Urusan Lia marah, dia bisa atur dan jelaskan nanti. Dika datang ke rumah sakit hanya atas dasar perintah Karina dan agar kelakuannya tidak diketahui. Bukan benar-benar demi Sera. Ini semua demi melindungi Lia. Dia mau hubungannya tetap aman dan berjalan. Sementara itu, Dika tak tahu kalau dari be