Seorang wanita membuka matanya perlahan-lahan lantaran mendengar bunyi alarm. Sudah pukul 6 pagi. Dia tidak menjalankan ibadah subuh karena tengah datang bulan, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Sera meraih hijab yang tidak jauh dari posisinya. Ia segera memakai hijab tersebut.
Sejak memutuskan menikah lagi dan di hari di mana ijab kabul itu berlangsung, Sera begitu menghargai pernikahannya, tidak menjadikan pernikahannya hanya sekedar pelampiasan karena kesepian atas gagalnya pernikahan yang dahulu.
Keluarga Dika, khusus orang tuanya sudah sangat baik terhadapnya. Begitu mencintai kehadirannya. Lantas, Sera tetap harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, mengabaikan sikap kasar Dika yang setiap hari ia dapatkan.
Berjalan keluar dari kamar, Sera sudah tak heran saat menemukan Dika tertidur di sofa tanpa selimut. Hanya dengan pakaian tidur, tangannya dalam keadaan posisi menyilang di atas dada. Langkah kaki Sera mendekat kepada pria itu.
“Mas…” panggil Sera lembut. Tidak ada sahutan, wajar saja karena Dika tertidur pulas. Mana bisa suara lembut itu dapat mengusik tidur Dika di pagi hari.
“Mas Dika, bangun, Mas,” ucap Sera.
Tidak, Sera tidak berani menyentuh suaminya sendiri. Dia hanya mampu berdiri di posisinya. Sikap kasar Dika kadang kala membuat Sera takut. “Mas Dika, sudah pagi, Mas harus ke hotel.”
Saat Sera hendak mendekat, Dika pun membenarkan posisi tubuhnya sembari menggumam tidak jelas. Matanya masih memejam erat. Sera berusaha sabar lagi. Suara tak diindahkan kembali. Menarik napas, saat ia memutuskan untuk maju selangkah, Dika kembali bergerak, tangannya juga ikut direntangkan.
Kali ini, lelaki itu membuka matanya sendiri, hal itu membuat Sera sedikit terkejut. Suaranya pun mampu membuat pria yang membaringkan tubuh di atas sofa itu ikut bereaksi.
“KAU!” Dika pun refleks mengubah posisi tubuhnya. Dia segera duduk. “Mau apa kau di sini? Hah?” nadanya tak bisa berubah lembut.
“Mas, Mama bilang kalau Mas harus ke hotel,” tutur Sera. Perempuan itu sama sekali tidak ikut meninggikan suaranya atau emosi.
“Mau aku siapkan-“
“Berhenti bicara! Kau hanya menjadi pengganggu!”
“Ck!” Dika bangkit, tangannya dengan sengaja mendorong bahu Sera sedikit keras saat ia berjalan melewatinya. Hal itu membuat Sera yang tidak berjaga-jaga terjatuh ke lantai.
“Aw…,” Sera meringis, “Mas, apa yang Mas Dika lakukan?” ucap Sera berbicara mendongak, Dika tak menjawab, dia malah menyeringai, “rasakan itu,” katanya sebelum benar-benar meninggalkan Sera yang masih terduduk di lantai. Pria itu tak punya rasa iba sama sekali terhadap istrinya. Pergi begitu saja ke kamar tanpa rasa peduli dan tak mengucapkan sepatah kata maaf.
***
Sera memiliki hati yang kuat layaknya baja. Kali ini drama apa lagi yang dimainkan oleh suaminya? Dika keluar memakai setelan jas hitam sembari menggenggam ponsel di tangan kiri. Ya, memang dia tampan, memiliki rahang yang tegas, alis tebal, hidung mancung, namun bukan itu yang jadi poinnya. Dia memanggil Sera dengan berteriak-teriak seolah tinggal di hutan. Belum lagi Sera dihina juga.
“SERA! SERA!”
“DI MANA KAU?!”
“SERA APA KAU TULI?!”
Demi Tuhan, jika wanita itu bukan Sera, mungkin saja Dika akan mendapatkan perilaku kasar juga dari perempuan lain. Tapi, Sera muncul dengan sedikit berlari tergesa-gesa dari dapur. Dan bertanya masih dengan nada yang terlewat tenang.
“Ada apa, Mas?”“Kenapa Mas sampai berteriak-teriak?”
“Ck! Mama ingin bicara-“
Belum selesai berbicara, ponselnya lebih dahulu berdering. Itu adalah Karina, Mama Dika. Dika mengembuskan napas kasar, sebelum tombol hijau pada layar itu ia sentuh, pria yang akan berangkat menuju hotel itu lantas mengatakan suatu.
“Jangan buat masalah dan mengatakan hal yang mengada-ngada pada mama, paham?!” ancam Dika.
“Baik, Mas, aku paham maksud Mas,” ucap Sera.
“Kalau kau sampai berbuat nekat cerita tentang apa yang terjadi, habis kau!”
“Iya, mana ponselnya?” pinta Sera.
Dika memberikan ponsel miliknya dengan raut wajah terpaksa. Sungguh, Dika merasa sedang makan buah simalakama. Menyilangkan di depan dada bidangnya, lelaki itu membuang wajahnya ke sembarang arah.
Sera lantas menjawab telepon itu. Seperti biasa dibuka dengan sapaan. Dia memang sungguh menantu idaman yang Karina idam-idamkan. Suara lembut Sera mampu membuat Mama Dika di seberang telepon tertawa renyah. “Assalamualaikum, Ma, pagi,” kata Sera.
“Waalaikumsalam, pagi juga. Sera, bagaimana hari-hari kamu?”
Dika dapat mendengar suara Karina karena sengaja ingin mendengar percakapan dua orang wanita itu.
“Oh, alhamdulillah Sera baik-baik saja. Mama dan papa bagaimana?”
“Kami berdua baik. Syukurlah kalau kau baik. Apa Dika nakal, Sera? Dika tak menyusahkanmu kan?”
“Em-“ sejenak mata Sera melirik cowok yang ada di sisi kirinya. Begitu juga Dika menatap sinis Sera. “Mas Dika sama sekali tidak menyusahkan, Mas Dika banyak membantu Sera, Ma,” ucap Sera.
Dalam hati, Sera bermonolog, ‘Ya Tuhan, apa boleh buat? Maaf karena aku telah berbohong.’
“Hm, baguslah. Jika Dika berbuat sesuatu yang tidak baik, Sera lapor ya, Mama saja kadang sebal menghadapi sikapnya yang dingin itu.”
‘Apa?’ ucap Dika dalam hati.
“Iya, Mama tenang saja. Mas Dika tidak semenyebalkan itu kok,” tutur Sera. Dia tersenyum tipis ke arah Dika. Seolah tengah mengejek juga. Dika semakin dibuat dongkol oleh tindakan Sera barusan. Baginya, senyum itu membuat dirinya merasa tengah direndahkan.
“Hm, tetap saja Sera. Ya sudah, Mama ingin bicara dengan Dika, bisa kamu berikan ponselnya pada suamimu?”
“Iya, Ma,” Sera lantas memberikan ponsel itu. “Halo, Dika?”
“Hm,” ketus dingin. “Loh kamu kenapa seperti itu?”
“Kamu dengar obrolan Mama dengan Sera, ya?”
“Dika tidak menyebalkan, justru Mama yang menyebalkan,” jawab Dika. “Kamu ini baperan sekali,” ejek Karina. “Sayang, benar kamu tidak berbuat aneh pada Sera kan? Jaga Sera ya, dia itu istrimu, menantu kesayangan Mama. Jaga dengan baik, dia yang akan selalu ada dan merawat kamu apapun kondisi kamu, ingat pesan Mama, Dika,” cerocos Karina.
“Iya, iya,” jawab Dika.
“Jangan membuat Sera merasa direpotkan. Kamu kan suaminya. Kamu harus bisa bersikap baik kepada istri. Jika ada suatu hal yang membuat Sera keberatan, kamu yang harus bertanggung jawab, paham, Nak?”
“Hm,” deham Dika.
“Sudah ya, aku kan harus ke hotel juga,” ujar Dika. “Oh iya, Mama sampai lupa,” jawab Karina. “Ya sudah, pergilah, hati-hati. Papamu sudah menunggu,” ucap Karina.
“Mama ingin bertemu kalian di sana, segera,” sambung Karina.
“Kapan?” tanya Dika dengan nada terkejut. “Kenapa kamu begitu kaget?”
“Bukan, biar aku bisa beres-beres,” ucap Dika.
“Kamu sudah menjadi rajin setelah menikah?”
Dika diam. Dia melirik sekilas ke arah Sera. “Kapan Mama akan ke sini?”
Pasalnya, jika dia tidak tahu kepastiannya, Dika takut sesuatu hal buruk menimpanya. Dan keadaan rumah tangganya yang tidak benar-benar baik itu akan diketahui oleh kedua orang tuanya. Dika tidak ingin hal itu sampai terjadi.
hai, aku penulis baru di sini. aku harap cerita ini mampu menghibur kalian. Enjoy.... jangan lupa berikan komen, share! thxxxxxx
Seorang pria dengan pakaian santai ala rumahan itu memandang lapar sajian makanan di atas meja. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepi. Tidak peduli dengan sekitar, perutnya kini sedang lapar. Ia duduk, tersenyum senang. Meraih nasi dan lauk-pauk. Tanpa berpikir panjang, tak menunda waktu dia melahap dengan perasaan gembira. “Enak juga!” tuturnya tanpa dia sadar. Kunyahan demi kunyahan, dia menikmati makanan tersebut. Hingga saat seseorang tiba, matanya dengan mata orang itu bertemu, garpu dan sendok yang dia pegang pun dijatuhkan olehnya begitu saja. Bukan hanya itu makanan yang sedang dikunyah itu pun dia keluarkan. “Uhuk! Uhuk!” “Sial, makanan apa ini?!” “MAS!” teriak Sera. “Kenapa kau muntahkan makanannya?” ucap Sera. Dia sengaja menyiapkan makanan itu untuk suaminya. Tapi, Dika tak menghargai itu. “Jadi kau yang masak ini? Pantas saja rasanya tidak enak,” ucapnya bangkit dari kursi. Padahal beberapa waktu lalu dia memuji makanan itu. Sayang, Sera tidak menyaksikan hal tersebu
“Siapa itu?” gumam Dika. Dika mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Otot lehernya kentara menonjol. Pertanda dia benar-benar menahan amarah. “Urusan kita belum selesai!” ancam Dika sembari menunjuk wajah Sera. Sera segera menuju pintu. Sebelum itu dia melihat terlebih dahulu dari kamera pengawas siapa yang tamu yang datang. Hingga kemudian, bukan hanya Sera yang terkejut melainkan Dika juga sama terkejutnya. “Minggir,” suruh Dika. “Apa?” ucap Dika, dia lantas menutup mulutnya dengan satu tangan. “Cepat rapikan kamar!” instruksi Dika. “Tapi-“ kata Sera terpotong. “Kubilang cepat!” perintah Dika. Sera mengangguk-anggukan kepala. Inilah risiko yang mesti keduanya terima. Sungguh, jantung Dika berdebar tidak karuan. Dia merapikan pakaian dan mencoba mengatur emosi juga wajahnya. Tak lama dia membuka pintu tersebut agar kedua orang tuanya tidak curiga karena terlalu lama pintu tidak dibuka. “Assalamualaikum, Ma, Pa,” salam Dika. Rupanya dia tidak lupa mengucapkan salam. Dan berl
‘Aku sadar kenapa Mas Dika begitu syok, dia pasti malu jika membawaku ke hotel,’ Sera menunduk. Rasa sedih itu mencoba hinggap. “Kau tidak mungkin malu kan membawa Sera?” tebak Karina. “Dika?” tegur Deri. “Bukan begitu. Di sana banyak pegawai laki-laki. Dika malas jika mereka akan melihat Sera nantinya,” bohong Dika. Itu hanya alasannya saja. Untung saja dia cepat berpikir dan merespons agar kedua orang tuanya tidak curiga terhadap perkataannya yang hampir menjerumuskannya dalam kesalahan besar. Mendengar perkataan Dika barusan, Sera tidak tahu harus merespons seperti apa. Dia tidak senang tidak juga sedih. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rumah tangganya tidak benar-benar baik. Dan Dika hanya tengah berakting. Memang apa masalahnya jika ada para pegawai pria? “Hahaha, jadi kau cemburu, ya? Ya ampun, anak Mama…,” Karina tertawa, “Dika, Sera itu hanya sayang dengan kamu. Masa kamu tidak merasakan hal itu, iya kan Sera?” “Oh, i-iya,” jawab Sera sedikit gugup. ‘Ya Allah, mana m
Dalam pernikahan, tidak semuanya terisi bahagia, berjalan mulus seperti yang ada di pikiran. Dan kita juga tidak bisa benar-benar mendapatkan pasangan yang sempurna. Yang ada saling menyempurnakan untuk menutupi kekurangan satu sama lain. Saling bahu-membahu. Namun, berbeda dengan pernikahan Sera. Wanita yang pernah gagal dalam pernikahan itu sulit mendapatkan yang saling menyempurnakan. Di pernikahan kedua ini pun selalu saja yang ia dapatkan masalah dan masalah. Sera juga tidak mengerti akan jalan hidupnya. Dan dia merasa dirinya benar-benar payah. Tetapi, saat ini ia tidak boleh meratapi nasib pernikahannya. Karina sudah menyiapkan pakaian muslimah untuk datang ke hotel menghadari acara bersama Dika. Ya, suka tidak suka, terima atau tidak, Dika dan Sera akan dan tetap harus ada dalam acara penyerahan hotel nanti. “Lama sekali,” gumam pria yang duduk dengan setelan jas hitam, di tangan kanannya terdapat jam tangan bermerk. Dia melirik sekilas, meski ada 1 jam lagi, Dika malas menu
Ya. Dika terlalu banyak melamunkan seseorang sampai tak sadar sedari tadi ia dipanggil. “Kau tegang sekali, acara belum dimulai dan kau bisa katakan apapun yang kamu mau di atas panggung. Kau sudah dewasa, kau pasti bisa,” ucap Deri. “Jangan melamun seperti itu lagi, ya,” tegur Deri. “Hm,” deham Dika. Dia menarik minuman di atas meja. Menetralkan keadaan dirinya. Hanya sekedar beberapa tegukan. “Dika izin ke toilet,” ucap Dika. Saat mendengar itu, Sera mendapatkan feeling yang tidak baik. Hanya perasaannya saja, namun dia tidak boleh suudzon. “Jangan lama, Dika, kau sebentar lagi akan naik panggung,” suruh Deri. Dika mengangguk singkat. Setelahnya ia pergi. “Sera, bagaimana masakan di sini? Suka kan?” “Iya, Ma, Sera suka, masakan di hotel ini enak dan lezat,” jawab Sera. ‘Ya Allah, apa Mas Dika sungguh pergi ke toilet? Kenapa aku mengkhawatirkan sesuatu?’ tanya Sera dalam hati. “Sera, apa ada sesuatu?” tanya Rani. “Ah, tidak.” “Mama lihat kamu melamun barusan.” “Ck, pasti Sera
Sera mengaduh sakit karena tangannya ditarik paksa sedari keluar mobil sampai ke dalam rumah. Lagi-lagi saat tidak ada orang tua mereka, Dika selalu saja bertindak semaunya. Meski sudah berteriak meminta tolong untuk dilepaskan, Dika tak menggubris sama sekali ucapannya. Sera terisak. Dia bingung harus berbuat apa. “Aku sudah jujur padamu, Mas. Aku sama sekali tidak bermain dengan pria manapun. Bahkan, aku baru menemui lelaki itu saat tadi.” “Mas, per-caya pa-da—ku…,” Sera ingin meraih tangan Dika, tetapi Dika mengempaskan begitu. “Akh!” pekik Sera kesakitan. Selalu saja alurnya seperti ini. Sera sudah bahagia bisa datang ke hotel tadi. Namun, pulangnya malah mendapatkan masalah. Apa yang dia lakukan selalu saja salah. “Bukankah Mas sendiri yang bilang urus-urusan masing-masing? Kenapa Mas justru marah?” Dika terdiam. Sera menghapus air matanya. Bangkit dan menatap Dika dengan berani. “Aku sudah katakan jujur, tapi Mas tidak pernah mau percaya apa yang aku katakan.” Entah dorongan
“Ma, aku dan Sera baru saja menikah. Tapi, Mama sudah meminta cucu,” protes Dika. Pasalnya, Dika sama sekali tidak tertarik menyentuh wanita berhijab itu. “Kami ingin menikmati waktu dulu berdua lebih banyak, ya kan, Sera?” tanya Dika. Sera lantas mengangguk singkat. Sera menunduk. Ingin menangis rasanya lantaran pembahasan ini terlalu sensitif baginya. Sedari awal Dika tidak pernah mencintai dirinya. Apa lagi ingin memiliki anak. Sera merasa permintaan Karina terlalu berat. Bagaimana perihal kemandulannya? Sera semakin ingin mengutuk dan mengurung dirinya. Mungkinkah Karina tidak benar-benar tahu berita perceraiannya karena kemandulannya? Sera jadi terdiam. “Mama lihat kan, Sera jadi murung,” ujar Dika. “Sera, kamu belum siap, Nak?” “Mama salah bicara, ya?” tutur Karina dengan hati-hati. “Oh tidak, Ma,” sahut Sera. “Sera, jika kamu belum siap, Mama tidak akan memaksa. Itu terserah kalian. Karena yang menjalankan pernikahan itu kan kalian,” jawab Karina. “Sayang, Mama tidak bermak
“Mas Dika…aku minta putuskan wanita itu, aku tidak senang dia hadir di sini,” mohon Sera. “Haha, siapa kamu meminta aku putuskan dia?” tanya Dika.“Sampai kapanpun aku tidak akan memutuskan hubunganku dengannya, aku mencintai Lia. INGAT INI BAIK-BAIK. AKU.MENCINTAI.LIA.” Tekan Dika di depan wajah Sera. Sera semakin menangis keras mendengar perkataan suaminya. Ya, Dika tidak pernah mencintai Sera. Dia mencintai perempuan lain.“Hiks…tega sekali kamu, Mas…tega!”“Terserah, menangislah sepuasmu, aku akan pergi bersama Lia!” putus Dika. “Kau tidak memikirkan permintaan mamamu, Mas?” ucap Sera dengan berani. Dika berhenti seraya membalikkan badan. “Soal anak? Haha. Kau berharap kita akan memiliki anak?” Dika berkata dengan nada meremehkan.“Kau jangan gila, Sera!” teriak Dika. “Aku tidak akan mau memiliki anak darimu.”“Lagi pula kau ini kan mandul, jangan harap itu terjadi.” Ejek Dika, “satu hal lagi…,” lanjut Dika. “Aku akan menikah dengan Lia nantinya,” oceh Dika. Mendengar penuturan