Share

Datang Bersama Perempuan Itu

"Damar!" Teriak Pak Gandi, membuat Damar yang tertidur di bangku kemudi mobil itu kaget dan menarik tangannya yang sedang dipegang erat oleh Danira.

Damar langsung turun dari mobil dan menghampiri Bapak mertuanya yang mukanya sudah seperti tomat karena menahan emosi.

"Masuk kamu kedalam rumah!" Titah Pak Gandi, Almira memilih masuk kedalam kekamarnya, Ia masih enggan bertemu dengan lelaki yang dulu sangat ia sayangi itu.

"Mas aku ikut." Ujar Danira sambil menggendong Amora yang masih tertidur.

"Kamu tetap disitu, aku mau menyelesaikan masalah anakku dengan Damar." Bapak nya Almira tidak ingin Almira semakin sakit hati melihat Damar dan Danira datang secara bersamaan.

"Duduk disitu kamu." Ujar Bapak dengan wajah penuh emosi.

Ibu memanggil Almira untuk ikut bertemu dengan Damar karena bagaimana pun juga Almira harus tahu keputusan apa yang akan ia ambil.

Almira pun keluar dari kamar saat Bapaknya sedang mengintrogasi Damar, bayangan Almira kembali kebeberapa bulan yang lalu dimana Damar meminta izin kepada Bapaknya untuk mempersuntingnya sebagai Istri.

Almira memilih duduk disamping Bapaknya dengan wajah enggan melihat kearah Damar.

"Jadi mau kamu saat ini bagaimana Damar, kalau memang kamu tidak menyayangi anakku lagi lebih baik kamu lepaskan, kembalikan kepada kami, karena buat kami Almira adalah harta yang paling berharga." Dengan suara sangat lantang Bapak menatap Damar yang menunduk lesu seperti ayam yang siap dipotong.

"Maafkan Damar kalau sudah menyakiti Almira Pak, tapi tidak ada niat dihati Damar untuk menyakitinya, Damar sangat menyayangi Almira, Damar ingin Almira pulang lagi kerumah kami." Sesekali Damar menatap Almira yang kelihatan sangat lesu, karena memang beberapa hari ini dia tidak bisa makan nasi.

"Dengan kamu membawa Danira yang kamu bilang hanya teman kerumah ini, sudah membuat aku sakit hati Mas, mohon maaf aku belum bisa pulang kerumah kalau sikap kamu belum berubah dan lebih mementingkan Danira dan anaknya itu."Almira melangkah kekamarnya lagi, Damar mencoba menghalangi.

"Biarkan Almira istirahat, kasihan dia dalam keadaan hamil malah Suaminya tidak perhatian dan lebih memilih memperhatikan anak orang lain." Kali ini Ibunya Almira yang ikut berkomentar, Ibu langsung menemani Almira didalam kamar yang sudah menangis sesugukan.

Damar bengong mendengar Ibu mertuanya.

"Apa benar yang dikatakan Ibu Pak? kalau Almira saat ini sedang hamil anak Damar?"

"Jadi menurut kamu hamil anak siapa? bukannya kamu Suaminya?" Dengan nada ketus Pak Gandi terbawa emosi.

Damar menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu, dia tidak menyangka Almira sedang mengandung anaknya.

"Makanya kemarin itu Bapak belum mengizinkan kamu menikah dengan Almira takutnya ya seperti ini, ingat Damar hormon perempuan yang sedang hamil itu memang sangat sensitif seharusnya kamu lebih pengertian kepada Almira."

Damar mengusap-usap wajahnya.

"Maafkan Damar Pak, Damar janji akan lebih memperhatikan Almira, tapi izinkan Damar membawa Almira pulang Pak." Ucap Damar.

"Suruh perempuan yang didalam mobil itu masuk, bapak mau ngomong sama perempuan itu, sebelum kamu membawa Almira pulang."

"Tapi pak, Danira tidak tahu apa-apa dia hanya teman Damar, dia hanya menolong Damar, seharusnya Almira senang Damar punya teman yang baik seperti Daniar yang rela meminjamkan uang saat Damar belum gajian atau dalam keadaan kepepet."

"Mana ada sih lelaki sama perempuan itu tulus berteman kalau tidak ada apa-apanya, Bapak ini lelaki dan pernah muda juga Damar, jadi tidak bisa kamu bohongi dengan mudah, kok kamu seperti ketakutan begitu? kalau kamu tidak ada apa-apa dengan perempuan itu tidak panik dong, teman kamu berarti teman Almira juga, tapi menurut Almira dia tidak pernah kamu kenalkan." Damar hanya bisa pasrah, ia memanggil Daniar yang ada didalam mobil untuk mengajak masuk kedalam, Damar juga menggendong Amora yang kelihatan sangat senang digendong oleh lelaki yang ia panggil Papi itu.

Danira masuk kerumah Almira, ia mengedarkan pandangannya, sebelum duduk Daniar juga mengambil tisu yang ada didalam tasnya untuk mengelap bangku. Melihat itu Bapak Gandi sangat emosi.

"Hei orang kaya, walaupun rumah saya ini jelek tapi Istri saya setiap pagi membersihkannya, jadi jangan menghina seperti itu kamu." Bapak Gandi sangat tersinggung.

"Kakek jangan marah-marah sama mami, nanti mami sedih." Amora menatap Bapak, Bapak menjadi tidak enak dan meminta Istrinya untuk membawa Amora bermain, karena bagaimanapun juga Amora masih sangat kecil untuk mendengar obrolan orang dewasa itu.

Setelah Amora pergi, Bapak langsung mengintrogasi Danira dan Damar.

"Jawab jujur ya orang kaya, ada hubungan apa kamu dengan anak menantu saya ini, kamu kan orang kaya bisa mencari teman yang sepadan dengan kamu, apa sih yang kamu lihat dari menantu saya ini, dia cuma orang miskin untuk makan saja terkadang masih memnita dari saya." Bapak dan Ibu memang sering mengirimkan sejumlah uang untuk Damar walaupun pernikahannya masih seumur jagung tetapi Damar tidak segan sering mengeluh dengan keadaan ekonomi nya yang pas-pasan.

"Amora sangat dekat dengan Mas Damar, apa pun yang membuat Amora bahagia aku rela melakukannya, termasuk mendapat hinaan dari orang-orang karena dianggap janda yang suka mengganggu rumah tangga orang lain, lagian aku yakin Mas Damar bahagia saat bersama kami, aku harap Almira bisa ikhlas membiarkan Mas Damar bahagia bersama kami."

Damar melotot, dan kelihatan sangat panik.

"Danira, apa-apaan kamu, jangan memperkeruh suasana, aku sangat menyayangi Almira." Damar mendengus kesal kearah Danira.

"Biarkan ini menjadi jelas Damar, kalau perempuan ini sudah terang-terangan mengatakan bahwa dia mempunyai tujuan lain dengan kamu, semua sekarang tergantung sama kamu Damar, sebagai seorang lelaki kamu harus mengambil keputusan, ingin bertahan dengan perempuan miskin yang sedang mengandung anak kamu, atau kamu malah lebih memilih wanita kaya ini." Bapak memberikan dua pilihan yang membuat Damar sangat pusing, Damar bukan pusing karena harus memilih siapa tetapi Damar bingung mau membayar hutang pakai apa dengan Danira.

Damar menghela nafas sangat panjang.

"Damar hanya menganggap Danira teman Pak, Amora sudah Damar anggap sebagai anak sendiri karena memang dari kecil sering bertemu Damar, Bapak harus yakin kalau Damar tidak akan berbuat macam-macam, kalau Danira mempunyai perasaan lain itu tentu haknya Danira, jadi biarkan Damar membawa Almira pulang Pak."

Almira keluar dari kamar.

"Aku tidak mau ikut pulang dengan kamu Mas, kamu bilang tadi punya hutang banyak sama perempuan ini Mas? berapa hutang kamu Mas."

Danira tersenyum mengejek.

"Kalian pasti tidak bisa membayar hutang-hutang Mas Damar, sudah lebih baik tinggalkan Mas Damar biarkan dia bahagia bersamaku."

"Aku bukan barang yang bisa kamu beli dengan uang Danira, beri aku waktu untuk melunasi hutang-hutangku." Danira mendekati Damar, dan mengelus punggung tangan Damar, Almira melihat itu sangat jijik.

"Kamu sebutkan saja berapa hutang Mas Damar."

Daniar mengeluarkan buku yang ternyata buku catatan hutang Damar kepadanya.

"Tiga puluh tujuh juta punya uang kamu? aku yakin rumah ini dijual saja belum tentu bisa untuk membayar hutang Mas Damar."

Almira mengambil barang dari sakunya.

"Ini ada emas, kalau kamu jual nilainya bisa jadi lebih dari hutangnya Mas Damar, mulai sekarang jangan ganggu keluarga kecil kami, sekarang juga kamu pergi."

Semua orang terpaku, tidak menyangka Almira memiliki simpanan sebanyak itu.

"Mas kalau besok-besok masih butuh datang kerumah ya, rumahku belum pindah kok." Danira mengedipakan matanya kearah Damar, lalu pergi meninggalkan rumah Almira dengan menggendong Amora yang ia rebut dari tangan Ibu endang.

BERSAMBUNG....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status