Share

8. Blooming Day

“Tuan Herreros, informasi yang saya dapatkan dari Tyra belum banyak. Apa Tim Elite harus menginvestigasinya?””

“Tyra Edericka hanyalah kriminal biasa—seorang arsonist. Saya rasa, saya tidak perlu turun tangan,” jawab Herreros. “Lagi pula, sejak awal, misi ini adalah misi Tim Elite.”

Seth berdeham. Ia sedikit ragu untuk menanyakan soal ini. “Tuan, soal Tyra … dia sering sekali berlaku sesuka dirinya. Harusnya, interogasi dapat dilakukan secara menyeluruh dalam dua atau tiga kali pertemuan. Tetapi, setiap pertemuan hanya bisa mendapat sedikit informasi. Pada pertemuan pertama, saya yang pergi lebih dahulu. Tetapi pertemuan kedua, ia yang meninggalkan saya. Entah saya harus mengadakan berapa kali pertemuan.”

Herreros memandang wajah khawatir Seth. Ia tahu bahwa Seth sudah memberanikan diri untuk mengatakan itu semua. Seth bukanlah orang yang suka mengeluh dan mempermasalahkan sesuatu. Tetapi, tampaknya, lelaki itu sedang kebingungan.

“Apa kau tahu berapa kali Tyra diinterogasi waktu peristiwa kebakaran dulu?” tanya Herreros.

“Tidak, Tuan.”

“Empat belas kali, Seth, empat belas.” Herreros bangkit dari kursinya. Ia menyatukan kedua tangannya di punggung—berjalan hingga berhadapan dengan Seth. Kemudian, ia menepuk bahu Seth yang terlihat terkejut dengan jawabannya barusan.

“Empat belas?”

Herreros menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Benar. Selama empat belas kali itu, tidak ada informasi berguna yang didapatkan—hingga akhirnya ia berhasil kabur dari Soleclar. Itu benar-benar membuang waktu. Perempuan itu tidak pernah bicara dengan benar. Aku rasa, kewarasannya terganggu.”

“Ya, saya juga berpikir begitu.”

“Mau bagaimanapun, hanya dia yang tahu benar bagaimana peristiwa itu bisa terjadi. Jadi, kau harus sabar dan mendapatkan seluruh informasi darinya,” kata Herreros. “Jenderal Bosley Moon adalah pria yang berhati lemah. Ia tidak pernah memaksa pelaku untuk memberikan keterangan—apalagi menyiksanya. Selama dirinya yang menjabat sebagai jenderal utama, maka proses interogasi akan berlangsung seperti ini terus.”

“Baik, Tuan.”

Seth keluar dari kantor dengan wajah yang ditekuk. Investigasi adalah kegiatan yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Menyenangkan karena bisa mengungkap fakta yang belum ditemukan. Menyebalkan jika penyelidikannya mencapai jalan buntu. Jika mendapat banyak bukti, maka akan mudah. Jika tidak ada bukti yang jelas, maka tidak akan menemukan titik terang—seperti sekarang.

“Felix?” panggil Seth ragu ketika melihat kehadiran pemuda berambut kuning di lorong.

“Seth!” Felix kembali memanggil namanya. “Wah, kau mengingat namaku?”

“Tentu. Aku sudah mengingat semua anggota Eria,” jawab Seth dengan bangga.

“Kau hanya memanggilnya? Kau tidak memanggilku?” Arias yang ada di sebelah Felix terlihat kesal.

“Oh, ada Arias juga ternyata,” ucap Seth pura-pura tidak melihat temannya itu.

“Dapet misi baru dari Tuan Herreros?” tanya Arias.

“Ya, dibilang dapet misi juga nggak, sih.” Seth menggaruk tengkuknya. “Lebih tepatnya, diingatkan untuk menyelesaikan misi. Kalau kamu?”

Arias mengangkat sebuah gulungan kertas—memperlihatkannya pada Seth. “Aku datang untuk melaporkan ukuran baju dari masing-masing anggota. Sebentar lagi, Eria akan memiliki baju khusus perang. Bukan hanya Tim Elite saja yang bisa terlihat keren.”

Seth tertawa saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Arias. “Apa kau ada waktu besok?”

“Sepertinya ada.”

“Ayo kita berlima berkumpul,” ajak Seth.

“Hei, membuat janji di depan yang tidak diajak itu tidak sopan, lho,” tegur Felix.

Arias tertawa kecil. “Kau boleh ikut, Felix. Kau juga bisa bertemu dengan Eugene. Katanya, kamu ingin berguru padanya.”

Mata Felix berbinar ketika mendengar itu. Ucapan Arias benar juga.

Seth membulatkan matanya. “Kau ingin berguru pada Eugene? Apa tidak ada guru lain yang lebih kompeten?”

“Benar juga,” timpal Arias. “Bisa-bisa kamu ketular sifat anehnya Eugene.”

Felix ikut tertawa dengan guyonan dua orang yang bersahabat itu. Dirinya memang mudah sekali bergaul—apalagi jika dipertemukan dengan orang-orang yang ramah.

***

Terdengar suara hantaman dua benda berbahan kayu. Feather reflek bergerak menuju arah yang berlawanan dari arah pedang kayu itu.

"Reflekmu bagus, Feather," ucap Fay, gurunya.

"Terima kasih, Guru," jawab Feather. Tepat setelah dirinya berbicara dan menatap lawan bicaranya, sebuah pedang berhasil mengenai lengannya.

"Aw!" teriakan Feather setelah lengannya terbentur pedang kayu cukup keras.

"Konsentrasimu, Feather. Meski berbicara, tetaplah bergerak," kata Fay.

Feather memegangi lengannya sambil meringis. "Maaf, Guru."

"Kamu harus bersyukur ini adalah pedang kayu. Jika pedang asli, tanganmu mungkin sudah putus," kata Fay sambil memberikan pedang kayu itu kepada Feather. "Berlatih lagi, Feather. Kau sangat berbakat. Andai saja kau bisa mengendalikan energi."

Memang banyak sekali yang memuji kepandaian Feather dalam penggunaan senjata. Tetapi, Feather juga merupakan orang biasa yang tidak mewarisi kekuatan apapun. Ia masih sering melakukan kesalahan.

“Latihan hari ini sampai di sini. Latihan selanjutnya akan menggunakan pedang sungguhan,” ucap Fay lalu meninggalkan tempat itu.

Feather menatap pedang kayunya sebentar lalu mulai mencoba menyerang angin yang ada di hadapannya. Ia mencoba semua teknik yang pernah diajarkan oleh gurunya.

Awalnya, ia tidak merasa ada yang aneh jika mendengar orang mengatakan bahwa ia tidak memiliki energi. Lama-kelamaan, emosinya menjadi campur aduk. Ia merasa kesal dan sedih di saat yang bersamaan.

Ingin sekali Feather berteriak: Aku juga ingin memiliki elemen! Aku juga ingin bisa mengendalikan energi! Tetapi, aku bisa apa?!

Namun, sebelum ia bisa mengutarakan itu, hatinya sudah lemah terlebih dahulu. Ia tidak kuat untuk mengatakannya. Memikirkan kalimat itu di kepalanya saja sudah membuatnya sakit. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ia mengeluarkan itu. Ditambah lagi, reaksi dari orang lain yang mendengarnya.

“Feather!”

Feather menurunkan pedang kayunya ketika mendengar itu. Tidak jauh darinya, terlihat Felix yang memamerkan deretan giginya. Entah kenapa, pikiran Feather yang awalnya berantakan pun kembali normal. Felix seperti memberikan energi positif padanya.

“Kenapa?” tanya Feather lalu duduk di selasar rumahnya. Ia memang dilatih secara privat di rumahnya sendiri.

“Apa orang tuamu ada di rumah? Tidak sopan jika aku tidak menyapa mereka,” ucap Felix lalu ikut duduk di sebelah Feather. Tangannya membawa sebuah tas yang cukup besar.

Feather menggeleng. “Mereka sedang pergi. Apa yang kau bawa?”

“Ini seragam untukmu.” Felix memberikan tas itu kepada Feather.

“Oh, aku baru ingat soal ini. Terima kasih, Felix. Kau dan Arias yang mengambilnya, kan?”

“Iya. Arias sedang mengantar seragam milik Klaus,” jawab Felix. “Kalian berdua sibuk, sih. Kamu sibuk latihan. Klaus bilang kalo dia ada urusan keluarga. Jadinya, hanya aku dan Arias yang ke kantor pusat.”

Feather meneguk air dari botol minumnya. “Maaf merepotkan.”

“Tidak masalah. Apa yang barusan itu gurumu?” tanya Felix. “Aku berpapasan dengannya. Wajahnya sangat jutek. Ia bahkan menatapku sinis. Aku kira dia mau membunuhku.”

Feather tertawa kecil. “Iya, dia guruku. Aku dilatih sejak kecil olehnya. Orang tuaku ingin aku menjadi petarung. Padahal, aku tidak bisa mengendalikan energi.”

“Hei! Bisa mengendalikan energi atau tidak itu bukan masalah besar!” seru Felix. “Kamu itu sudah sangat hebat. Aku bangga dengan kemampuanmu yang sekarang. Dibanding bersedih karena kekuranganmu, lebih baik kamu fokus dengan kelebihanmu.”

“Kelebihanku?”

“Kamu sangat pintar, Feather. Tanpamu, mungkin kita tidak akan menemukan persembunyian Tyra.”

Mata Feather membulat. Ia baru sadar tentang hal itu. Memang benar bahwa Klaus yang memberikan ide untuk pertama kali. Namun, dialah yang melengkapinya. Tanpanya, tidak akan ada yang tahu di mana Tyra. Ia tidak tahu seberapa besar kontribusinya dalam kelompok.

***

“Sudah lama sekali, kan? Sudah empat tahun?” tanya Nyridia sambil menghitung dengan jari.

“Empat tahun?!” Arias membulatkan matanya. “Waktu berjalan sangat cepat.”

“Apa kau pernah mendengar kalimat ini?” Eugene berdeham supaya suaranya lebih jernih. Namun, suaranya tidak terdengar berubah sama sekali. “Waktu itu bisa menyembuhkanmu sekaligus membunuhmu perlahan.”

“Iya,” jawab Pilav singkat. “Sebentar lagi waktumu akan habis.”

“Hey!” bentak Eugene tidak terima.

“Bagaimana Tyra? Apa sudah ada petunjuk?” tanya Nyridia pada Seth.

“Bagaimana menjelaskannya, ya? Kadang ia menjawab dengan jawaban yang normal. Kadang ia menjawab dengan jawaban yang gila. Pribadinya seperti berubah-ubah. Aku tidak mengerti,” jawab Seth.

“Apa Tyra memiliki masalah psikologis?” tanya Arias.

“Masalah psikologis?” tanya Pilav yang tertarik dengan topik yang dibawa Arias.

“Memiliki dua kepribadian. Yang satu adalah pribadi yang serius. Yang satu lagi agak gila,” kata Arias. “Aku rasa ini bukan masalah di emosi. Tetapi, pribadinya memang tidak konsisten. Ia bisa menjadi pribadi pertama ataupun kedua.”

“Wah, menarik,” gumam Nyridia. “Apa benar begitu, ya? Kau tahu dari mana, Arias?”

“Orang tuaku dulu adalah peneliti psikologi. Sehingga, banyak sekali jurnal ilmiah di rumahku. Kadang aku membacanya jika ada waktu luang,” jelas Arias. “Psikologi adalah ilmu yang menarik. Aku rasa, ilmu ini akan sangat berkembang di masa depan.”

“Boleh aku coba membaca jurnalnya?” tanya Pilav.

“Tentu saja. Aku tidak menyangka bahwa kau akan tertarik, Pilav,” jawab Arias.

“Sebenarnya, tidak,” kata Pilav. “Hanya saja, penjelasanmu barusan itu sangat menarik.”

“Benar. Aku jamin kau tidak akan bisa lepas,” jawab Arias.

“Oh! Aku baru ingat sesuatu.” Eugene tersenyum usil lalu bertanya, “Seth, apa kita sebentar lagi akan menghadiri pesta?”

“Pesta?” Seth mengerutkan dahinya—ia tidak mengerti pesta apa yang dimaksud Eugene. Ia mencoba mengingat berbagai macam festival yang biasanya diadakan di Escalera. Namun, tidak ada yang tanggalnya dekat dengan hari ini. “Pesta apa?”

“Kamu dilamar Tyra, kan?”

Seth menyemburkan minumnya ketika mendengar itu. Namun, air yang dikeluarkan dari mulutnya itu berhasil dikendalikan oleh Eugene ke tanah. Sehingga, tidak ada korban dari semburan yang suci itu.

Eugene tertawa sangat keras. Suaranya yang rendah membuatnya terdengar dua puluh tahun lebih tua dari umur aslinya. Ia merasa sangat puas karena mendapat bahan ledekan untuk ketua timnya itu.

Mata Seth langsung melirik Arias. Untuk saat ini, seharusnya hanya Arias yang tahu. Tetapi, temannya itu terus menggeleng—berusaha mengatakan bahwa bukan dirinya yang memberi tahu Eugene.

“Benarkah?!” seru Nyridia dengan mata berkaca-kaca. “Aku terharu, Seth. Aku tidak menyangka bahwa kau adalah orang pertama yang menikah di antara kita.”

“Hei! Nggak begitu!” Seth membela diri.

“Selera Seth sangat unik,” kata Pilav.

“Pilav, jangan cemburu,” jawab Eugene lalu melanjutkan tawanya.

Pilav memberikan senyum mematikan kepada Eugene. Ia memperlihatkan dua jarinya ke Eugene. “Aku bisa membuatmu terbang ke ujung Escalera.”

Eugene langsung merapatkan mulutnya ketika mendengar itu. Sejujurnya, ia sedikit takut dengan rekannya. Pilav pernah mengancamnya seperti itu sebelumnya. Nyatanya? Dia benar-benar dilempar oleh Pilav. Setelah itu, ia menjadi agak was-was terhadap Pilav—terutama jika mendapat ancaman darinya.

“Kau tahu dari mana?” tanya Seth pada Eugene.

“Jangan lupa bahwa ayahku adalah seorang jenderal utama. Tentu ia tahu situasi apa yang terjadi di penjara.” Eugene membentuk angka tujuh dengan jarinya lalu pura-pura menembak ke arah Seth.

Seth langsung menepuk dahinya. “Ah, benar .…”

“Yes!” seru Eugene dengan sangat bangga seperti baru saja memenangkan piala dunia. Eugene berdiri dari tempat duduknya—membuat keempat rekannya malu karena semeja dengannya. “Akhirnya aku mendapatkan bahan untuk meledek Seth!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status