Sesuai arahan dari Klaus, Tim Eria menghampiri sudut yang dimaksud sebelumnya. Setelah melewati beberapa pohon dan semak, terlihat seorang pemuda yang berlutut di depan seorang anak kecil yang menangis. Pemuda itu memiliki rambut coklat tua dan kulitnya sedikit gelap dibandingkan orang asli Escalera. Pakaiannya agak longgar dan terlihat dapat memberi keleluasaan dalam bergerak. Dari sepatu yang dikenakan dan pedang yang ada di punggungnya, dapat menunjukkan bahwa dirinya merupakan petarung.Semakin Tim Eria berjalan, perbincangan dua orang asing itu semakin terdengar.“Tidak boleh .…” Anak kecil itu menjawabnya sambil menangis.“Kalau begitu, sini barangnya, Nora.” Pemuda itu menjulurkan tangannya. Sesuai perintahnya, anak kecil yang bernama Nora itu menyerahkan sebuah kantong kain kepadanya.“Apa yang kau lakukan pada anak kecil itu?” tanya Feather yang sudah maju lebih dulu. “Kau mengambil barang miliknya dan membuatnya menangis?”Pemuda itu langsung berdiri dan menoleh ke arah si
Ravi mengantar Tim Eria menuju sebuah tempat. Jalur yang mereka injak itu sudah pernah mereka lalui sebelumnya. Rasanya seperti kembali ke titik awal. Kali ini, Ravi tidak menggunakan kekuatan anginnya. Ia berjalan biasa seperti manusia normal lainnya. Tidak seperti rekan-rekannya, Arias terlihat gelisah. Kepalanya terus digerakkan ke semua arah—seperti mencari sesuatu. Klaus yang berjalan di paling belakang pun menyadari hal itu. Ia mempercepat langkahnya hingga bisa menyusul Arias. “Ada apa?” tanya Klaus. Arias terkejut dengan kehadiran Klaus. Kemudian, ia menjelaskan, “Aku merasa ada energi yang tidak asing di sini. Awalnya, aku kira itu karena energi Ravi. Namun, di tempat ini rasanya semakin kuat.” “Apa itu membuatmu tidak nyaman?” tanya Klaus. Arias menggeleng dengan cepat. “Justru kebalikannya. Energi itu membuatku sangat nyaman.” “Kalau begitu, tidak apa-apa. Aku kira kau merasa kesakitan atau semacamnya,” jawab Klaus. “Tenang aja.” Arias tersenyum. “Kamu masih curiga pa
“Kita mulai dari pemilik tempat makan ini aja gimana?” tanya Feather.Arias menyetujui ide Feather. “Memang harus dimulai dari yang paling dekat.”“Baiklah. Aku beraksi, ya,” ucap Feather lalu diberi semangat oleh rekan-rekannya dalam diam.Feather bangun dari kursinya lalu menghampiri ibu pemilik restoran di dekat pintu masuk.“Halo, siang, Bu. Ini untuk meja yang di sana.” Feather memberikan beberapa lembar uang kepada ibu tersebut dan menunjuk meja tempat dirinya dan rekan-rekannya makan.“Baik, terima kasih.”Selagi pemilik restoran itu menghitung uang, Feather pun mulai memancingnya. “Akhir-akhir ini situasinya seram ya, Bu? Saya dengar banyak warga yang barangnya dicuri.” “Iya, saya juga dengar itu. Kita memang harus waspada,” jawab ibu itu.“Apa barang ibu ada yang hilang juga? Tempat seperti restoran sepertinya rawan maling,” ucap Feather.“Belum ada, sih. Jangan sampai ada juga,” jawabnya lalu memberikan selembar uang kepada Feather. “Ini kembaliannya. Datang lagi, ya.”Sete
Saat pagi tiba, Tim Eria mengetuk kamar milik Ravi. Untungnya, sang pemilik kamar sudah bangun. Mereka pun berpamitan.Setelah Tim Eria meninggalkan penginapan, Ravi menggeser kaca jendela kamarnya dan menatap kepergian mereka. Ketika ia hendak menutup kembali kacanya, seekor burung merpati masuk melalui celah. Alih-alih mengusir, Ravi malah memberi senyuman kepada burung itu.Ravi menggerakkan telapak tangannya ke atas sehingga burung itu bertengger di jari telunjuknya. “Kau benar. Aku bisa bertemu dengannya.”“Bagaimana kamu bisa mengenalinya?” tanya burung merpati itu.“Colum,” panggilnya lalu tertawa kecil. “Kamu sudah berkali-kali menyebutkan ciri-ciri orang itu kepadaku. Aku bahkan sudah mengingatnya di luar kepala. Saat aku melihatnya, aku langsung tahu kalau itu orang yang kamu maksud.”Burung merpati yang bernama Colum itu mengepakkan sayapnya. “Aku tidak ingat bahwa aku sudah mengatakannya berkali-kali .…”“Seorang kesatria Escalera dengan rambut abu-abu gelap, tatapan mata
Sebuah api unggun menyala di tengah hutan. Dengan pohon rindang yang berada di belakang punggungnya, Arias menatap langit malam yang kosong. Tidak ada bintang sama sekali.“Arias.”Pilav datang dari arah Arias sebelumnya masuk. Meski sudah empat tahun berlalu, mereka berdua masih mengingat lokasi favorit mereka. Hutan ini berada tidak jauh dari pusat. Biasanya tempat ini digunakan untuk latihan bertarung dan memburu hewan. Pertama kali mereka menemukan tempat ini adalah ketika latihan bertarung bersama temannya yang lain. Di saat yang lainnya pulang, mereka berdua memutuskan untuk menetap dan memasang api unggun.Arias menoleh ke arah si pemanggil. Ia menepuk bangku kayu yang ada di sebelahnya—menyuruh untuk duduk. Mengikuti perintah Arias, perempuan berambut hitam itu pun duduk di sampingnya.Malam itu dingin sekali. Jika tidak ada api unggun, maka mereka berdua bisa membeku.“Sudah lama kita tidak duduk di depan api unggun,” ucap Pilav.“Aku rasa ini waktu yang tepat untuk itu.”“M
Saat matahari belum terbit, Pilav membuka matanya. Ia tidak menyangka bahwa dirinya tertidur di tempat terbuka. Di depannya masih ada api unggun yang terus menyala. Jauh di depannya, ada Arias yang sedang melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahnya. Pria itu sedang berjalan mendekatinya. Pilav pun refleks membalas senyumannya.Tiba-tiba, kobaran api yang awalnya terkurung oleh kayu itu mulai menyebar ke tanah—membakar rumput. Pilav terkejut ketika menyadari hal itu. Ia hendak bangun untuk mematikan apinya. Namun, badannya tidak bisa digerakkan sama sekali.Pilav menatap ke arah Arias yang masih berjalan ke arahnya. Pria itu berjalan seperti biasa, seperti tidak melihat ada api yang menyebar. Mata Pilav membulat. Ia ingin meneriaki nama Arias, namun tidak ada suara yang keluar.Lama-kelamaan, situasi semakin kacau. Api itu mulai menjalar ke pepohonan. Pilav masih tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menggerakkan matanya. Di depannya, Arias masih tersenyum menatapnya.“ARIAS!” teriak
“Tyra akan dibebaskan hari ini,” ucap Seth.“Tyra sudah dinyatakan tidak bersalah?” tanya Pilav. Suasana di markas sedikit berbeda. Biasanya, Pilav adalah yang paling jarang bicara. Namun kali ini, hanya dirinya yang bereaksi.Di sana, hanya Pilav yang tidak mengetahui hal itu. Nyridia mengetahuinya karena ia sedang berada di jadwal menjaga kantor pusat sebagai pengawal tambahan. Banyak orang kantor yang membicarakan soal Tyra. Sehingga, Nyridia mendengarnya di mana-mana. Kalau Eugene, ia mengetahuinya dari ayahnya sendiri yang memberi keputusan tersebut.Sudah beberapa hari ini Tim Elite tidak berkumpul. Mereka semua sibuk melakukan kegiatan masing-masing. Ini membuat mereka tidak bisa saling memberi informasi secara langsung.“Tyra memiliki bukti kuat untuk alibinya di saat kejadian ledakan dulu,” jelas Seth. “Dia yang memberikan buktinya kepadaku. Aku juga sudah melaporkannya kepada Tuan Herreros.”“Apa buktinya?” tanya Pilav.“Leon’s Crystal, sebuah perangkat dari Alba yang bisa
Alkisah di sebuah kerajaan megah bernama Alba, terdapat tiga bersaudara: Lovia, Lalia, dan Leon. Mereka bertiga awalnya sangat dekat—sangat menjunjung tinggi persaudaraan. Namun, ketika ayahnya sakit keras, sifat asli mereka terbongkar. Mereka bertiga memperdebatkan siapa yang akan menjadi penerusnya. Lovia sebagai anak sulung, tentu adalah orang yang paling mungkin untuk menjadi penerus kerajaan. Tetapi, di balik itu, ia memanfaatkan senioritas ini dengan menginjak-injak kedua adiknya. Tingkahnya ini tidak membuat sang ayah semakin membaik dari penyakitnya.Lalia adalah anak tengah. Dirinya sering sakit. Sejak lahir, kondisi tubuhnya memang tidak sepenuhnya sehat. Karena itu, ia sering dijumpai di kamarnya dengan berbagai perawat yang mengawasi keadaannya. Dengan situasinya yang tidak mendukung itu, ia tetap ingin duduk di singgasana. Leon, anak bungsu sekaligus satu-satunya anak laki-laki, membanggakan dirinya. Karena secara hukum, seharusnya laki-laki lah yang meneruskan kerajaan