Share

Benih Satu Milyar
Benih Satu Milyar
Penulis: Ammi Poe YP

Job Besar

"Om, hape aku udah minta ganti, nih!" ujarku pada lelaki tua yang sudah hampir dua bulan menjadi sugar daddy-ku.

"Tenang, Nara sayang ... apapun yang kamu butuhkan, Om siap penuhi. Asal ...."

Dengan kerlingan mata nakal, lelaki yang seumuran ayahku itu memberi kode. Aku paham, mereka--para lelaki hidung belang--akan membayar berapa pun untuk daun muda sepertiku.

Aku Nara, gadis yang terenggut keperawanannya di usia delapan belas tahun. Mirisnya, ibuku sendiri yang menjualku pada seorang bandot tua. Apalagi kalau bukan karena hutang.

Ya, semua berawal karena keinginanku yang ingin mencari ibu ke kota. Sejak usia sepuluh tahun, dia meninggalkan aku di kampung. Tanpa kabar, bahkan tidak mengirimkan uang untuk biaya hidupku.

Ternyata takdir tidak memihakku. Pertemuanku dengan wanita itu, justru menjadi awal kerusakan masa depanku. Dan kini, tiga tahun sudah aku menjalani kehidupan sebagai sugar baby.

Sebenarnya ini bukanlah sebuah pilihan, tapi karena keadaan yang memaksaku. Setiap Minggu, ibu akan datang dan meminta jatah untuk menghidupi pasangan kumpul kebonya. Lima juta dalam satu minggu bukanlah uang kecil, butuh kerja ekstra untuk mendapatkannya.

Terkadang aku ingin tertawa, begitu miris dan menggelikan kehidupanku ini. Sosok malaikat bernama ibu, justru menjadi iblis yang menyesatkan anaknya sendiri. Baginya, aku adalah musibah dalam kehidupannya.

Inilah aku, seorang sugar baby dengan segala ceritaku.

***

"Nara, ntar malam lo ada job kaga?"

Aku menoleh saat Flora nyelonong masuk ke kamar, kemudian duduk di sebelahku. Tanpa sungkan, dia mengambil remote TV yang kupegang. Seperti biasa, dengan santai dia akan mengganti channel televisi ke acara yang dia sukai.

"Kebiasaan banget, sih, lo! Ijin dulu, kek, atau apa gitu!" gerutuku kesal.

Namun ekspresi Flora tetap saja tak berubah. Bahkan kini tangannya asik mencomot camilan yang sejak tadi ada di pangkuanku. Menyadari tatapan kesalku, gadis bukan perawan itu hanya nyengir.

"Ntar malam lo ada job kaga?" Kembali dia mengulang pertanyaan yang belum aku jawab.

"Capek, Flo. Berasa jadi sapi perah, pengen nyerah rasanya."

Aku sandarkan tubuh, kemudian menyelonjorkan kedua kaki. Dadaku kembali terasa sesak, ada bagian hati yang sangat sakit.

Huff ... beneran, rasanya capek sekali dengan kehidupan ini. Aku yang bekerja, tapi dua orang tak tahu malu itu yang menikmati.

Flora menatapku. Kali ini tatapannya tampak serius.

"Lo mau berhenti dari dunia tempat lo nyari rejeki?"

Kembali kuhembuskan napas berat. Rejeki? Mana ada rejeki hasil morotin laki orang? Ah, apa itu bisa disebut rejeki?

Seakan tahu apa yang menjadi beban pikiranku, Flora merengkuh bahuku. "Gue dukung lo, Ra. Semoga lo segera nemuin lelaki yang bisa bawa lo jauh dari kehidupan sekarang."

Mendengar doanya, hatiku begitu trenyuh. Dia tak jauh beda dariku. Nasibnya sama sepertiku, sama-sama dijual oleh keluarga sendiri. Hanya saja bedanya, dia dijual oleh ayah tirinya. Beruntungnya Flora, dia masih punya ibu yang sayang padanya. Meskipun ibunya sekarang kena gangguan mental akibat siksaan dari suami keduanya.

"Lo sendiri kaga pengen dapet cowok baik dan memulai kehidupan baru?" tanyaku sembari melempar senyum.

Bukannya menjawab, dia malah keluar kamar menuju balkon. Aku pun mengikutinya, turut menatap hiruk-pikuk kendaraan di jalanan.

"Lo enak, Ra. Om Hendra menghadiahkan apartemen ini untuk lo. Sedangkan gue, sampai sekarang belum berhasil porotin maksimal om om tajir," ungkapnya tanpa melihatku.

Mendengar celotehnya, aku hanya tersenyum. Lalu mencoba menikmati angin sore yang berhembus sepoi-sepoi, memainkan anak rambut hingga ke pipi.

Mau dibilang lebih beruntung, tapi nyatanya hidupku tak lebih dari parasit. Mau dibilang kurang beruntung, nyatanya aku punya apartemen dan mobil mewah. Semua dari hasil menjadi simpanan para lelaki yang sedang puber kedua.

"Gue mau jenguk nyokap, lo mau nemenin gue?" tanya Flora, kali ini disertai senyum yang mengembang.

"Mau lah, masa kaga? Kan, kaga mungkin gue biarin lo pergi sendirian."

"Makasih ya." Kembali Flora memelukku, selalu saja moment seperti ini yang kadang membuatku makin trenyuh.

"Ntar malam kita berangkat jam delapan, gue pengen beberapa hari di sana."

"Lo mau nginep di rumah sakit jiwa?"

"Ya kaga lah, Dodol ... masa iya gue nginep di rumah sakit."

"And then?"

"Kita nginep di hotel, sekalian ntar di sana kita refreshing."

Aku pun memberi tanda oke seraya mengedipkan satu mata. Sejenak melupakan seluruh problema, melepas penat yang setiap saat menghimpit.

***

"Pak, apa kaga ada jalan pintas?" tanya Flora pada sopir taksi yang akan mengantar kami ke terminal.

"Kita sudah terjebak macet begini, Mbak. Mana bisa puter balik cari jalan pintas."

Suasana jalanan yang padat semakin riuh karena suara klakson yang saling bersahutan. Tampak Flora tidak tenang, pasalnya bus yang dia pesan adalah bus terakhir.

"Lo sih, nolak pakai mobil gue."

"Bukannya nolak, Ra. Cuman masalahnya, perjalanan kita tuh jauh. Gue kaga mau bikin lo capek."

"Bener juga, sih. Terus gimana kalau ntar ternyata sampai terminal, busnya sudah kaga ada?"

Flora terdiam, sepertinya sedang mencari cara. Baru saja dia hendak membuka mulut, tetiba ponselnya berdering. Dia mendengkus kesal, lalu dengan kasar menjawab panggilan tersebut.

"Ada apa, Om?"

"...."

"Tapi sekarang nggak bisa, Om. Ini masih terjebak macet."

"...."

"Huff ... bisnis apa lagi?"

"Apa??!" Ekspresi Flora membuatku turut terkejut.

Sepertinya ada suatu hal bikin dia syok. Tapi entah apa karena dia menggunakan earphone.

Selanjutnya, Flora hanya mengangguk dan mendengarkan ucapan orang dari seberang panggilan. Setelah panggilan berakhir, dia bersorak sorai kegirangan.

"Ada job besar, Nara. Duitnya satu em," ujarnya dengan sorot mata penuh binar.

Auto bola manikku turut membulat. Om om sultan nih kayaknya yang akan memakai jasa layanan Flora. Wajar aja, sih, kalau dia sebahagia itu.

"Emang jobnya apa?" tanyaku penasaran.

Yang ditanya bukannya jawab, tetapi malah garuk-garuk kepala. Sikap Flora membuatku semakin kepo.

"Mau mulai main rahasia rahasiaan sekarang?"

"Bukan gitu, Nara ... tapi ...."

"Tapi kenapa? Melayani bandot tua yang kelainan? Atau ...."

"Bukan. Tapi ... itu, jobnya ngasih anak."

"Maksudnya?" Dahiku mengernyit, makin tak mengerti dengan ucapan Flora yang kebingungan untuk menjelaskan.

"Ya .... ya kita hamil, terus anaknya dikasih ke keluarga itu."

Mataku seketika mendelik, bahkan sopir taksi yang mendengar percakapan kami pun menoleh dan membelalakkan mata. Aku mencoba memberi kode pada Flora untuk menghentikan percakapan, tentu saja merasa aneh jika membicarakan hal tabu di depan orang lain.

"Kita turun sini aja, Pak. Ini ambil aja kembaliannya," ucap Flora sembari mengulurkan uang seratus ribu.

Pak sopir yang sempat mendengar pembicaraan kami pun menepikan mobil. Dengan cepat Flora membuka pintu dan menarikku untuk keluar dari mobil.

Aku yang masih syok dengan cerita gila dia, hanya menurut saja. Bahkan tanpa bertanya saat dia mengajakku menyeberang jalan. Pada akhirnya kami membatalkan rencana pergi, Flora lebih memilih uang satu milyar dibanding pergi mengunjungi ibunya.

Mau heran, tapi itulah kami. Kalah dengan limpahan materi, uang ratusan juta mampu mengalihkan dunia orang seperti kami. Termasuk pilihan Flora yang mau menerima resiko kehamilan, semua demi uang.

Pilihan yang tak pernah terlintas dalam pikiranku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status