Share

Pria Bule

Aku heran denganmu, kamu yang memintaku tetapi sikapmu seolah aku yang merebut suamimu. Lagi pula, yang menentukan langsung bisa hamil atau tidak itu bukan aku, Nyonya Elina yang terhormat. Tuhan yang menentukan, bukan aku." Saking gemesnya, terlontar kalimat panjang lebar bernada sinis juga dari mulutku.

Wanita itu makin terisak, Azlan yang mengetahui istrinya menangis langsung keluar dan merengkuhnya. Kembali drama menyedihkan terjadi. Bikin muak melihat adegan semacam itu. Kurasa Elina memang sengaja membuat Azlan tak tega meninggalkan dia, meskipun hanya sejenak untuk memadu kasih bersamaku.

"Kalau memang belum siap, aku sarankan ditunda. Di sini aku bukan pelakor. Silahkan bawa kembali suami Anda, Nyonya Azlan." Sengaja aku beri penekanan pada kalimat akhir, lalu tersenyum smirk.

Kututup kembali pintu dan mengabaikan suara tangis yang masih terdengar. Kudengar pula Azlan yang berusaha menenangkan istrinya, seolah dia adalah wanita yang sedang berkabung kehilangan suami.

Antara kasihan tapi juga kesal. Situasi macam ini justru membuatku jengah. Kuputuskan untuk keluar, menikmati malam di tepi pantai. Siapa tahu rasa dongkol dan emosi yang meletup-letup di dada bisa mereda.

"Nara, mau ke mana?" tanya Azlan saat aku melewati mereka yang baru beberapa langkah meninggalkan kamarku.

"Urus dulu istri lo, jangan sampai dia makin takut gue bakalan ambil lo!" Kekesalan dalam hati membuatku lupa peraturan saat bicara.

Aku tak peduli lagi, dengan langkah cepat kuayun kaki menuruni tangga menuju lantai satu. Baru tiga anak tangga, tetiba seseorang menabrakku dari belakang. Hampir saja tubuhku terpelanting, beruntung tanganku segera berpegang pada pegangan tangga.

"So ... sorry, Miss. I tak sengaja."

Ternyata pria bule. Dalam kondisi hati yang sedang badmood, sudah pasti mendorong emosi untuk mengumpat.

"Emang hotel ini milik nenek moyang lo! Enak aja sorry sorry, lo pikir kalau sampai gue jatuh terus mati, lo mau tanggung jawab?" Mulutku terus saja merepet, membuat pria itu malah terbengong.

Mungkin saja dia heran dengan kecepatan omelanku. Atau ... atau dia tak paham dengan apa yang aku katakan? Tapi ... ah, tadi dia bisa ngomong bahasa Indonesia kok.

"Nona, kamu cerewet sekali!" ujarnya sembari tertawa dan dengan aksen khas bule.

Ah, aku sama sekali nggak mood bercanda apalagi dengan pria ceroboh seperti dia. Tanpa membalas ucapannya, aku kembali menuruni tangga. Mengabaikan panggilan pria bule yang masih mencoba mengajakku bicara.

"Nona, can you help me? I lost my phone and please help me to trace it."

Ayunan kakiku terhenti saat pria tersebut menghadang.

"Kenapa tidak minta pada sekuriti atau petugas hotel di sini?"

"Come on, Nona. Please, help me."

Pria itu terus memohon, sampai pada akhirnya aku tak tega. Kurasa dia sudah lama di Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan dia bicara dalam bahasa Indonesia. Walaupun masih bercampur dengan bahasa Inggris, tetapi dia sudah paham dengan apa yang kuucapkan.

Aku menyerahkan ponsel agar pria bule tersebut bisa menelepon ke ponselnya. Suara dering telepon terdengar begitu dekat. Sontak aku terkejut karena dering tersebut berasal dari tas yang dibawa olehnya.

Sialan! Ternyata dia hanya modus untuk mendapatkan kontakku. Parahnya, dengan sangat mudah aku dikibulin.

"Ternyata ponselku ada di tas. Terima kasih, Nona."

"Kamu ...." Aku menghentakkan kaki karena kesal, lalu memukul bahunya.

Pria bule itu justru tertawa, lalu mengulurkan tangan. "My name is Peter, from Australia."

Mulutku hanya terbengong. Sungguh cara berkenalan yang unik, tampaknya dia memang orang yang humoris.

***

Perkenalanku dengan Peter berlanjut ke W******p. Ternyata dia orang yang asyik dan mampu mencairkan suasana. Semalam, kuhabiskan waktu dengan bercengkrama dengannya. Meskipun bule, dia begitu sopan dan menghargai wanita.

Pagi ini kami punya janji untuk sarapan bersama. Sengaja kuajak Flora agar lebih seru lagi. Setelah aku pikir-pikir, mending aku coba menikmati keindahan alam di Bali. Ya, daripada mikirin honeymoon palsu yang gagal. Kurasa akan jauh lebih baik dengan sikapku yang cuek, tak ambil pusing lagi dengan sikap Elina.

Saat berpapasan dengan Azlan dan Elina, sengaja mata ini berpura-pura tak melihat. Malas rasanya berhadapan dengan mereka. Namun, baru saja hendak melalui mereka tetiba kurasakan tanganku ditahan.

Kutatap nyalang mata Elina, pandangannya menyiratkan rasa seolah tidak suka. "Apa-apaan kamu, Ra?"

"Apanya?" tanyaku balik dengan begitu cuek.

"Lihat pakaianmu!" perintahnya dengan mata terus memandangi penampilanku, bahkan pegangan tangannya semakin mencengkeram lenganku.

Merasa sakit, segera kutepis tangan wanita plin-plan itu. "Ooh ... ini baju gue pinjem punya Flora." Aku sengaja pura-pura tak paham dengan ucapannya, dengan santai aku memutar badan untuk menunjukkan betapa indahnya tubuhku.

"Apa kamu lupa perjanjian kita?" Pertanyaan yang menggelikan bagiku, apalagi tatapan Elina yang begitu tajam.

"Apa lo lupa kalau lo belum siap?" Sengaja kubalas ucapannya dengan mengungkit sikapnya semalam.

"Selama lo belum siap, gue nggak bakalan bisa segera menyelesaikan pekerjaan yang kita sepakati," lanjutku.

Tampak wajah wanita cantik nan elegan itu berubah pias. Memang betul, bukan? Jika dia masih bersikap cemburu dan marah-marah, lalu bagaimana aku dan suaminya bisa indehoy? Terus kapan aku akan cepat hamil? Memangnya ada keajaiban yang bisa bikin aku hamil tanpa disentuh? Aneh, kan?

Dasar payah wanita plin plan itu!

"Di sini, yang butuh bantuan bukan gue tapi kalian. Pikirkan itu, karena gue nggak punya waktu banyak. Uang lima ratus juta yang kalian transfer sebagai Dp, itu bukan uang besar. Tak cukup untuk menjamin hidup gue selama tiga bulan. Jadi, gue kaga mau sia-siakan waktu hanya menunggu kesiapan lo!"

Panjang lebar aku meluapkan emosi. Memang benar adanya, uang ratusan juta selama ini cepat raib, selama masih ada seorang ibu yang tega terhadap anaknya. Aku menerima tawaran Azlan pun karena ada tujuan, yaitu mendapatkan bekal untuk pergi sejauh mungkin dari negara ini.

Apalagi wanita pengeretan itu juga sudah terus-terusan menelpon, apalagi kalau bukan untuk minta tiga ratus juta yang jadi permintaannya. Miris sekali hidupku, kan? Gila aja, rela jadi budak nafsu hanya demi bisa setor ke wanita yang tak pantas disebut ibu.

Dan sekarang, aku harus mengorbankan aset tubuhku hanya demi bisa lari dari wanita iblis itu. Sayangnya, sekarang pun jalanku tak mudah. Wanita yang menarikku ke dalam kehidupan rumah tangganya, justru ingin bermain-main. Sungguh membuang waktu.

"Denger ya, Nara. Di sini, aku yang bayar kamu! Bebas aku mau kapan siapnya. Kamu pikir mudah menyerahkan suami pada wanita lain?" ucap Elina dengan nada angkuh, bahkan jari telunjuknya berani menunjuk ke arah wajahku.

Terdengar deru napas kasar, aku bisa merasakan saat ini hatinya masih hancur. Ada amarah yang sebenarnya dia tahan, terlihat dari sorot mata dan raut wajahnya.

Di tengah ketegangan, Peter menghampiri dan menyapa, "Good morning, Miss Nara. Bagaimana dengan tidurmu semalam? Bermimpi ketemu pria setampan aku?" godanya dengan ekspresi lucu.

Kedatangan Peter membuat Elina menghentikan aksi marahnya, Azlan dengan penuh kasih menarik bahu Elina dan merengkuhnya. Ah, sungguh makin menyebalkan melihat drama mereka.

Segera kuubah ekspresi kesalku. Wajah yang semula menyiratkan api emosi membara, kini telah beralih dengan wajah ceria dan senyum terulas di bibir, lalu membalas sapaannya. "Of course, Mr. Peter ... hahaha ...."

Tanpa canggung, kutarik tangan Peter menuju ke meja yang tak jauh dari tempat aku dan Elina bersiteru tadi.

"Oh ya, kenalin ... ini Flora, teman aku."

Pandangan Peter beralih ke Flora, lalu mereka saling berjabat tangan dan menyebutkan nama.

"Lets go, kita sarapan bersama. Bay the way, kita sarapan di resto yang sebelah sana saja." Peter mengajak kami untuk masuk ke resto yang dikhususkan untuk western food.

Kami berjalan mengikuti Peter. Sekilas kulihat tatapan Elina yang masih kesal denganku. Ah, bodo amat!

Setelah kami masuk ke resto dengan sajian khas makanan bule, justru aku dan Flora sedikit bingung.

"Ra, gue mana kenyang makan makanan begini?" protes Flora.

"Udah, lo ambil aja berbagai macam makanan. Lo ambil sepuluh macam, ntar juga kenyang. Ntuh, ada steak ma kentang goreng, terus ambil juga pasta atau spagheti, sandwich isi daging dengan lumeran keju juga tuh. Ambil banyak biar kenyang," saranku seraya menunjuk ke berbagai makanan yang tersaji.

"Hadeeh ... dasar lo, Ra. Jaga image dikit napa? Masa di depan cowok cakep, makannya mau rakus? Tuh lihat, si Peter aja cuman ambil sandwich dan salad buah doank."

"Lo jaim, lo laper! Terserah lo dah, lo atur idup lo!" Tanpa peduli dengan Flora yang masih mikir mau makan apa, tanganku segera mengambil tiga jenis makanan langsung.

Lagian porsi yang disuguhkan juga porsi kecil bagiku, mana bisa kenyang kalau sedikit. Beda dengan nasi padang yang dapat seabrek.

Setelah mengambil makanan untuk sarapan, pilihan duduk adalah di sisi jendela. Sarapan sembari menikmati indahnya pemandangan pantai di pagi hari.

"Siapa mereka tadi, Ra?" tanya Peter, sepertinya dia menyadari kalau aku dan Elina bersitegang.

Aku menghentikan suapan, pandanganku justru ke Flora yang ternyata juga menatapku. Dia menggeleng, memberi isyarat untuk tidak menceritakan apapun.

"Mereka hanya pengunjung yang semalam tabrakan dengan gue, jadi mereka masih kesel aja."

Peter hanya manggut-manggut. Pria bule itu kembali menikmati makanannya yang menurut dia, itu adalah sarapan paling nikmat.

Bola manikku memutar malas saat pandangan tepat ke arah pasangan itu. Azlan tampak begitu memanjakan Elina, dia menarikkan kursi untuk istrinya. Bahkan menu sarapan saja, dia yang mengambilkan.

Kuakui, sebagai seorang suami memang patut diacungi jempol. Azlan adalah lelaki luar biasa. Dia menjadikan istrinya sebagai seorang ratu. Jujur, terkadang ada rasa iri tebersit. Aku merasa kehidupan ini tak adil. Apa karena aku bukan wanita baik-baik seperti Elina?

Perasaan membandingkan diri dengan Elina, justru semakin membuatku minder. Wanita itu sangat berkelas, sedangkan aku? Aku hanyalah peliharaan sugar daddy.

Elina adalah wanita yang cantik dan elegan, sedangkan aku? Dandananku tak lebih hanya untuk menarik para pria pemilik harta.Elina mendapatkan cinta dan harta, sedangkan aku hanyalah sebagai pemuas nafsu semata.

Sungguh ironis, bukan?

Mungkin juga termasuk pendidikan, pastinya Elina mengenyam pendidikan tinggi. Sedangkan aku, hanyalah lulusan SMA.

Jika dibandingkan, apalah aku ini. Tak ada seujung kuku dengan wanita itu. Pantas saja jika dia mendapatkan begitu banyak hal baik dalam hidupnya.

"Ra, makan." Flora menggoyangkan tanganku, sepertinya dia mengerti dengan apa yang kurasakan.

Semalam, setelah mengobrol banyak dengan Peter ... aku menyusul Flora ke kamarnya. Dan tadi pagi sebelum turun, kuceritakan semua pada Flora. Sebagai seorang sahabat, dia menguatkan agar aku bisa mengendalikan emosi.

"Kalian punya rencana apa untuk hari ini?" tanya Peter memecahkan lamunan.

"Belum tahu."

"Bagaimana kalau kita trip bareng?"

Aku dan Flora berpandangan, lalu mengangguk bersama.

Setelah selesai sarapan, kami sepakat untuk bertemu lagi di lobi hotel. Aku dan Flora berjalan bergandengan tangan, menghiasi bibir dengan canda dan tawa.

Kuabaikan tatapan Elina saat melalui mereka. Kurasa, dia tidak mau menghampiriku karena pakaian yang kukenakan terlalu berani.

Baru saja kaki ini keluar dari resto, ponselku berbunyi tanda notifikasi pesan masuk.

'Nanti malam jalankan tugasmu, maaf atas sikapku. Aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.'

Kubaca pesan tersebut dalamhati, pandanganku kembali ke wanita yang masih duduk di tempatnya semula. Diamenyunggingkan senyum, mungkin Elina sedang berusaha agar aku tidak bertingkahsemakin konyol.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status