Share

Tiga Ratus Juta

Sepulang dari rumah sakit, aku dan Flora menjalankan rencana. Sebelum deal, kami ingin menemui istrinya Azlan. Alasan Flora masuk akal, itu sebabnya aku menerima sarannya.

Flora menginginkan keamanan diriku benar-benar terjamin, selain itu dia juga ingin aku mengandung benih melalui pernikahan resmi. Tentu saja demi si calon jabang bayi agar tidak berstatus anak di luar nikah.

Lucu, sih ... wanita seperti kami yang biasanya tak peduli dengan aturan agama, tetiba merasa perlu melibatkan Tuhan dalam langkah ini. Apakah ini merupakan jalan menuju ke hidayah?

Entahlah ....

Aku memang belum deal dengan Azlan, hanya saja aku meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagaimana pun, membayangkan mengandung selama sembilan bulan cukup membuatku bergidik.

Bayangan perutku akan mengembang, lalu setelah melahirkan akan bergelambir dan pasti akan banyak strech mark. Belum lagi keluarnya bayi pasti akan merobek asetku, meskipun bisa kembali tapi tetap saja akan berbeda bentuk karena jahitan. Misal melahirkan melalui operasi caesar, pasti akan meninggalkan bekas jahitan.

Argh!!!

Semua itu hanya akan merusak diriku. Tubuhku adalah aset berhargaku, selama ini aku bisa menghasilkan uang banyak. Bahkan untuk membayar hutang ibu yang puluhan juta itu pun dengan tubuh ini.

"Nara, ngapain lo di balkon dari tadi? Masuk gih, udah malem banget nih." Flora mengejutkan lamunanku.

Pikiranku memang kacau, hati berkecamuk tak jelas. Menyewakan rahim hanya demi harta yang melimpah, tidak pernah ada dalam list pilihan hidupku.

Aku hanya menoleh sebentar saat Flora menyusul ke balkon dan berdiri di sampingku. Pandanganku kembali ke langit gelap, seulas senyum miris tersungging di sudut bibirku.

"Lo masih mikirin tawaran itu? Kenapa, sih, berat amat kayaknya?"

Kuhela napas berat, lalu menatap Flora yang seakan belum juga paham alasan yang menjadi pertimbanganku.

"Flo, lo pernah hamil?"

"Ya belum lah, kan selama ini gue pakai pengaman dan kadang minum pil."

"Kalau misal lo hamil gimana?"

Flora terdiam mendengar pertanyaanku. Wajahnya menyiratkan kebingungan untuk menjawab.

"Lo nggak tau kan nasib lo kalau sampai hamil?"

"Ta tapi ini beda, Ra. Kehamilan lo itu dibayar. Lo bisa dapatin banyak keuntungan, tidak hanya duit tapi juga harta benda lainnya."

Kuhembuskan napas kuat-kuat. Benar, Flora memang tidak paham dengan apa yang aku pikirkan. Dia hanya berpikir secara materi, tidak lainnya.

"Nara, gue yakin Azlan dan bininya bakalan bersikap baik ke lo. Lo denger sendiri, kan, kalau mereka sudah menikah delapan tahun dan belum punya anak. Pasti bininya kaga mau tuh kehilangan harta bendanya Azlan, makanya rela suaminya tanam benih ke wanita lain."

Ingatanku kembali pada percakapanku dengan Azlan setelah dari rumah sakit. Dia sengaja menemuiku lagi di apartmen ketika Flora pergi menemui Om Andre.

Ya, dia sangat memohon agar aku bersedia meminjamkan rahim untuk benihnya. Semua demi istri yang sangat dia cintai. Bukan karena hal lain, lelaki itu bersedia memenuhi permintaan istrinya karena terpaksa.

Istrinya terkena penyakit miom yang telah merusak rahimnya, sehingga harus diangkat. Namun, semua kenyataan itu sengaja disembunyikan dari keluarga Azlan. Hal yang menjadi alasan adalah ibunya Azlan, wanita itu terus saja mendesak anaknya untuk bercerai jika istrinya Azlan tidak juga hamil.

"Nara, aku sangat mencintai istriku. Aku tidak bisa menceraikan dia. Tapi ... aku juga tidak mau ibuku kecewa karena garis keturunan Wijaya Pratama terputus. Aku anak tunggal, hanya aku yang menjadi harapan mereka."

Cukup lama aku terdiam, mencoba berpikir yang terbaik. Sisi kepedulianku tetiba saja mendesak, rasa kasihan pada wanita yang menjadi istrinya Azlan. Ah, padahal aku sendiri saja belum pernah dicintai seperti itu.

"Gue pengen ketemu bini lo dulu, gue harus pastikan dan denger sendiri pernyataan bini lo. Bisa aja, kan, lo ngarang cerita."

"Astaghfirullah ...." Dia mengusap wajahnya, ekspresi kesal terlihat dalam raut muka itu.

"Lagian, kenapa lo kaga nikah lagi, punya bini dua gitu."

"No! Love is only for one heart, not shared!" Dengan tegas Azlan menampik ideku.

Gila! Auto tertampar hati aku. Cinta, satu kata yang telah lama aku lupakan. Duniaku seketika berubah saat dihancurkan oleh ibuku sendiri. Tak ada cinta dalam diriku, semua hanya rasa hambar nan penuh kepalsuan. Cinta yang aku tunjukkan, semua hanya demi uang.

***

Baru saja aku hendak pergi, ketika bel pintu berbunyi. Bola manikku memutar malas saat mengetahui siapa yang datang.

"Udah cantik aja, Ra? Emang hari Minggu ada kencan?"

Pertanyaan yang terdengar sebagai basa-basi memuakkan.

Tanpa menjawab, aku langsung masuk ke kamar dan mengambil sebuah amplop coklat. Uang dua puluh juta yang diminta oleh ibuku, tiga hari sebelumnya dia sudah menelpon dan meminta agar aku menyiapkan uang tersebut.

Parah memang, aku hanyalah mesin uang baginya.

Kuletakkan uang di meja, tepat di hadapan wanita itu. Dengan senyum menyeringai, dia mengambil amplop coklat, lalu mengecek isinya.

Melihat sikapnya itu sungguh membuatku muak semuak-muaknya. Namun, aku hanya bisa melipat tangan ke dada dan membuang pandangan, entah sudah berapa kali kuhela napas agar dada ini tak terasa sesak.

"Mantap kali kamu, Nara. Kamu memang anak yang bisa diandalkan!" pujinya sembari tertawa kecil.

Pujian busuk!

"Nara, duduklah sini. Ibu ingin bicara serius."

Dahiku seketika mengernyit. Kesambet setan apa sampai wanita berhati iblis itu tetiba berkata lemah lembut begitu. Jangan-jangan dia merencanakan sesuatu yang lebih gila lagi.

"Duduklah ... Ibu hanya minta waktumu lima menit saja. Setelah itu kamu bisa pergi."

Terpaksa aku menurut, dengan malas aku duduk dan menyandarkan kepala. Namun pandanganku tak berubah, tetap malas menatapnya.

"Nara, Ibu sudah mulai lelah hidup seperti ini. Ibu ingin berubah."

Sontak aku menegakkan badan dan menatap wajah itu, wajah yang masih tetap cantik meskipun usianya sudah kepala empat. Sorot mata sendu terpancar, baru kali ini aku melihat ada genangan bening di pelupuk matanya.

Apakah dia sedang bersandiwara? Apakah dia ingin mengelabuhi aku agar rencana dia berhasil? Huff ... prasangka buruk terus saja muncul.

"Nara, Ibu minta maaf sudah menyeretmu ke dunia yang tak seharusnya. Ibu bukanlah ibu yang baik untukmu. Mungkin sudah telat untuk menyadari itu semua, namun aku tetap berharap jika kita bisa keluar dari dunia kelam ini."

What?! Tak salah dengarkah aku?

"Ibu ingin memulai hidup baru, membuka sebuah usaha untuk menopang kehidupan kita setelah berhenti dari kerjaan ini."

Membuka usaha?

Haish ... feeling aku sudah nggak enak. Pasti ujung-ujungnya duit. Seketika aku mendelik, lalu membuang pandangan dan berdiri.

"Aku harus pergi, Bu. Flora sudah menungguku." Sengaja aku berbohong karena sebenarnya Azlan sudah menunggu di parkiran apartemen.

"Aku butuh tiga ratus juta," ucapnya dengan cepat.

Sumpah, mendengar ucapan wanita itu membuatku terkesiap tak percaya.

"Lelaki mana lagi yang sedang memanfaatkan Ibu? Masih berondong ya, sampai Ibu nurut banget diminta uang ratusan juta."

Plak!

"Jaga ucapan kamu, Nara! Aku ini ibu kamu! Jangan kurang ajar!"

Pipi kananku perih, tapi hati aku lebih sakit. Namun, senyum sinis tersungging dari bibirku. Sungguh, pada akhirnya aku hanya tertawa karena mendengar ucapan wanita di hadapanku.

"Ha ... hahaha ... sejak kapan Ibu menyadari kalau aku ini anakmu? Hah?! Sejak kapan, Bu? Hahaha ...."

"Terserah apa katamu! Pastikan minggu depan sudah ada tiga ratus juta untuk kamu berikan pada ibumu ini!" ucapnya penuh penekanan dengan telunjuk menghadap ke wajahku.

Setelah mengultimatum, wanita iblis itu pun berlalu pergi.

Deg!

Tatapanku terpaku pada sosok pria yang hendak menyewa rahimku. Azlan, dia sudah berdiri di ambang pintu. Entah sejak kapan dia ada di sana. Ah, jangan-jangan dia mendengar semua percakapan aku dan ibu.

Apakah dia akan memanfaatkan situasi ini?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
black heart
tinggalin aja ibu nya buay dia menyesall
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status