Aku mengarahkan langkahku menuju pintu masuk apartemen yang telah menjadi rumahku selama beberapa tahun terakhir. Setiap langkah terasa seperti beban yang semakin berat, membawa ingatan tentang segala momen manis dan pahit yang telah aku lewati di tempat ini.Ketika aku tiba di depan pintu, aku berhenti sejenak untuk menghirup udara. Udara sejuk malam menyentuh wajahku, mengingatkanku pada betapa jauhnya perjalanan hidupku sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di apartemen ini.Aku menghela napas berat saat membuka pintu. Ruangan apartemen itu terbentang di hadapanku, tampak begitu sepi dan sunyi. Setiap sudutnya mengandung kenangan yang tak terlupakan bagiku.Aku melangkah masuk ke dalam apartemen, menghirup aroma familiar dari ruang tamu yang pernah menjadi tempat kami berkumpul sebagai keluarga. Aku memandang sekeliling dengan tatapan penuh nostalgia, mengingat setiap momen indah yang pernah aku alami di sini.Namun, kali ini, suasana yang dulu hangat dan menyenangkan itu terasa
“Ara, kamu sedang apa?” tanya Sissi tiba-tiba saat ia muncul di sampingku.Aku tersenyum melihat ke arahnya, fokus kembali pada kerajinan tangan yang sedang kutamatkan. “Aku sedang merajut kain,” jawabku sambil terus melanjutkan pekerjaanku.Sissi mengernyitkan keningnya. “Kamu akan membuat apa?”“Aku membuat topi untuk bayi,” jawabku singkat.“Topi untuk bayi?” ulang Sissi dengan ekspresi heran.Aku mengangguk. “Ya, topi untuk bayi.”Namun, ekspresi heran Sissi tidak berubah. “Tapi siapa yang memiliki bayi?” tanyanya dengan rasa penasaran.Aku tersenyum lalu berkata, “Dulu … ketika aku sedang mengandung Kenzie dan suasana hatiku sedang sedih, aku selalu merajut seperti ini.” Aku mengingat kembali masa-masa sulit ketika aku mengandung Kenzie membuatku terdiam sejenak, membiarkan ingatanku membawaku kembali ke masa lalu.Ketika aku mengetahui bahwa aku hamil, awalnya aku merasa sedih dan kecewa. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan bahwa aku akan menjadi ibu. Meskipun aku tahu bahwa
“Aku sengaja ingin memberimu kejutan,” kata Jordi sambil menyerahkan bunga yang ia bawa kepadaku.“Sungguh?” tanyaku terkejut sambil menerima bunga tersebut. “Darimana kamu tahu kalau aku ada di sini?” tanyaku lagi ingin tahu.“Tante yang memberitahu aku,” jawab Jordi sambil tersenyum.“Kamu pasti begitu lelah habis perjalanan jauh,” ucapku sambil memperhatikan mata Jordi yang lelah.“Lelahku sudah hilang saat melihatmu,” kata Jordi sambil tersenyum.Aku hanya bisa tersenyum bahagia menerima kejutan dari Jordi.“Apa mau jalan?” ajak Jordi tiba-tiba.Aku mengangguk setuju. Lalu aku melihat ke arah Sissi. “Apa kamu mau ikut?” tanyaku.Sissi menggeleng. “Tidak, aku pulang saja. Kalian bersenang-senanglah,” tolaknya sambil berjalan menuju mobilnya.Setelah melihat kepergian Sissi, Jordi mengajakku berjalan-jalan di taman yang indah. Kami berdua berjalan beriringan, sambil sesekali tertawa dan berbicara tentang berbagai hal. Cahaya rembulan yang terang dan segarnya udara membuat perjalanan
Di tengah keramaian pelelangan yang mewah, Jordi menatapku dengan tatapan yang mencari jawaban. “Apakah kita seharusnya menyapa mereka?” bisiknya, sambil menunjuk ke arah Keenan dan ibunya, Tante Belinda, yang ada di seberang tempat kami berada.Aku menelan ludah, merasakan detak jantungku yang berpacu. Keenan, mantan kekasihku yang namanya saja sudah cukup untuk membawa gumpalan kesedihan ke dalam hatiku. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya di sini, di acara yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan.“Sebenarnya, aku tidak tahu Keenan akan datang,” jawabku pelan. “Kalau saja aku tahu, mungkin aku akan memilih untuk tidak hadir.”Jordi menggenggam tanganku, memberikan dukungan tanpa kata. Aku tahu dia mengerti, dia selalu mengerti. Kami berdua berdiri di sana, terpaku, sementara Keenan dan Tante Belinda mulai berbaur dengan tamu lainnya.Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian. “Mungkin kita harus menyapa mereka. Itu yang sopan, bukan?” ujarku, meski da
Malam ini, setelah gema pelelangan mereda, aku dan Jordi melangkah keluar dari ruangan yang penuh dengan cerita. Kami berjalan di depan gedung pelelangan, di bawah langit yang terhampar indah dengan bintang-bintang yang berkelipan. Angin malam yang sejuk menyapa, dan Jordi, dengan kelembutan yang selalu membuatku merasa terlindungi, melepaskan jasnya dan mengenakannya di tubuhku.“Kamu pasti dingin,” ujarnya, suaranya lembut di tengah hembusan angin.Aku tersenyum, merasakan kehangatan yang tidak hanya berasal dari jas yang kini melindungi tubuhku. “Terima kasih,” kataku, suaraku nyaris tertelan oleh keheningan malam.Jordi menatapku, matanya seperti mencari jawaban atas pertanyaan yang telah lama menggantung di antara kami. “Apa kamu akan tetap tinggal di Indonesia?” tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang tidak terucap.Aku menghela napas sambil merenung. “Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Aku masih ingat betul dulu aku kembali ke Indonesia karena ingin mengurus butik yang
Pov. KeenanDi tengah hiruk-pikuk kantor yang sibuk, pintu ruang kerjaku tiba-tiba ada yang mengetuk. “Keenan!” seru Bagas dengan suara yang membawa urgensi. “Masuklah,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari monitor.Bagas melangkah masuk, tangannya menggenggam erat sebuah koper. “Apa itu?” tanyaku, rasa penasaran menggantikan fokusku pada pekerjaan.“Kiara mengembalikan uang yang sudah kamu berikan kepadanya,” kata Bagas, suaranya datar, seolah membawa kabar yang sudah diduga.Aku tersenyum sinis, mencoba menyembunyikan rasa penasaran yang muncul. “Kenapa? Apa uang itu belum cukup baginya?” ucapku dengan nada mencemooh.Bagas menggeleng, matanya menatapku dengan kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. “Keenan, Kamu sudah terlalu jauh pada Kiara. Kamu tidak seharusnya seperti itu,” katanya dengan nada suara yang meninggi.“Lalu aku harus seperti apa? Haruskah aku bersikap baik kepadanya?” Aku berdesis, tak tahu bagaimana jalan pikiran Bagas. “Dia sudah membuat hatiku terluka. Dia
Waktu telah menunjukkan pukul 11 siang saat aku melirik arloji yang ada di tangan kiriku. Pikiranku tertuju pada Kenzie, yang seharusnya sudah pulang sekolah. Beberapa saat kemudian, aku melihat beberapa anak-anak mulai keluar dari gedung sekolah dengan senyum tersungging di wajah mereka. Senyumku pun tak terelakkan ketika aku melihat Kenzie yang juga sudah keluar dari sana. Aku segera membuka pintu mobil untuk keluar dan mendekatinya."Kenzie, kamu sudah pulang?" tanyaku sambil tersenyum.Kenzie mengangkat pandangannya ke arahku dengan mata yang berbinar. "Paman, kenapa Paman ada di sini?" tanyanya heran."Aku sangat merindukanmu, sudah lama kita tak jumpa. Apa kau tak merindukanku?" godaku sambil memperhatikan wajahnya.Kenzie tersenyum manis. "Aku juga sangat merindukan Paman," jawabnya.Aku menyambut rindu itu dengan membungkukkan tubuhku untuk meraih tubuhnya yang mungil. "Kalau begitu, ayo peluklah aku," pintaku.Kenzie pun menuruti perkataanku dan langsung memelukku erat. Rasany
Aku benar-benar bahagia. Ini adalah hadiah terindah yang pernah Tuhan berikan untukku: memiliki anak seperti Kenzie membuatku sangat beruntung. Pasalnya, aku tidak pernah menyangka bahwa perbuatan bejatku dulu telah melahirkan anak setampan dan juga lucu seperti Kenzie. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya, terlebih selama ini Kiara selalu menyembunyikan kebenaran tentang Kenzie.Selama enam tahun, Kiara telah pergi dari hidupku, meninggalkanku tanpa penjelasan apa pun. Namun, dia tiba-tiba kembali dengan membawa Kenzie. Awalnya, aku tidak tahu mengapa Kiara bisa berbuat seperti itu, menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya. Namun, ketika Kiara mengklaim bahwa Kenzie bukanlah anakku, hatiku hancur.Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Aku bersikeras untuk melakukan tes DNA sekali lagi, karena aku yakin bahwa Kenzie adalah darah dagingku sendiri. Dan hasilnya, ketika tes DNA dilakukan untuk kedua kalinya, memastikan bahwa Kenzie adalah anak