Share

Benang-benang Cinta
Benang-benang Cinta
Author: Assifaniaa

01. Bos Baik

Pukul sebelas malam pengunjung kafe masih ramai memadati ruangan. Muda-mudi yang kerap kali berkumpul bersama menghabiskan waktu, bahkan orang kantoran pun lebih memilih merilekskan tubuh dengan secangkir kopi di sini. 

Kegaduhan di jalan raya sebentar lagi akan berangsur pudar, digantikan oleh kesunyian yang mengundang rasa kian mencekam. Erisca mengelap tumpahan minyak di atas meja kosong nomor sembilan. Mata gadis itu tak henti memandang sekeliling, menatap cowok remaja yang membuat dia kembali mengingat masa lalu kelam. 

"Kapan dia balik?" batin Erisca. Tapi selepas itu dia menggeleng lemah. Percuma saja diharapkan, seseorang itu sudah menyakitinya dan tidak mungkin kembali. 

Selesai membersihkan meja-meja kosong lainnya, Erisca beralih merapikan kursi karena sebentar lagi kafe akan tutup –menunggu pengunjung pulang. Jika tidak, mungkin orang-orang akan terus berdatangan sementara para pekerja di sini tentu perlu istirahat, termasuk Erisca. 

"Mbak, kenapa kursinya malah diberesin? Udah tahu saya mau duduk! Ga becus banget, sih, jadi pekerja!" Cewek berpakaian minim menatap Erisca tajam, seolah menyatakan permusuhan. 

Namun, Erisca bukan lawan sepadan. Cewek itu tidak bisa banyak tingkah di depan khalayak. 

"Maaf, Kak, tapi kafe akan tutup lima belas menit lagi. Jadi saya beresin kursi dan mejanya agar pengunjung tahu jika kami tidak lagi menerima mereka, kecuali esok hari." Erisca menjelaskan dengan ekspresi lembut. Memang sudah semestinya bersikap baik walau hati tergores senjata tak terlihat alias perkataan. 

"Wah ... wah ... wah .... Harusnya mbak bersyukur karena masih ada yang mau datang ke sini. Kalau enggak, mungkin kafenya udah bangkrut dan berdebu. Jadi, mbak mesti melayani saya karena pembeli adalah raja!" Cewek itu ngotot, bahkan ia tidak segan duduk sembari tumpang kaki layaknya juragan. 

Sebisa mungkin Erisca tetap bersabar. Bukan sekali dua kali dia diperlakukan seperti ini. Oke, konsekuensi menjadi pelayan adalah direndahkan! Tapi jika tidak begini, Erisca akan mati kelaparan. 

"Sekali lagi saya minta maaf, Kak. Memang sudah peraturannya seperti itu. Percuma saja kakak duduk di sini, karena kami benar-benar akan tutup. Kecuali kalau kakak pesan makanan dibungkus, mungkin kami bisa melayaninya." 

Tersenyum, tersenyum dan tersenyum. Mental lemah, hati rapuh, fisik lelah. Erisca dituntut untuk menjadi pribadi yang ramah, meski kenyataannya dia tidak terlalu pandai berekspresi. 

"Saya tetep mau makan di sini! Se-ka-rang!" perintah cewek itu, sarkastik. 

"Tapi, Kak, su–" 

Plak! 

"Jangan banyak omong! Cepetan bikinin saya makanan atau pukulan keras bakal melayang di pipi selanjutnya?!" Cewek itu mengancam, sementara Erisca hanya diam sambil menunduk.

Pengunjung yang hendak pulang pun sampai balik badan karena terkejut mendengar kegaduhan. Cewek itu ngos-ngosan, tangan mengepal kuat, keringat dingin bercucuran deras. Erisca mundur selangkah, menubruk tubuh seseorang. Sontak dia menoleh, mendapati pria tegap dengan rahang mengeras. 

"Bakal saya adukan ke atasannya!" Cewek tadi mendesis, celingak-celinguk mencari ruangan pemilik kafe ini. 

"Saya atasannya!" Pria berkemeja merah berjalan tiga langkah dari balik punggung Erisca. Urat-urat di tepian kening tampak keluar jelas. Ia marah, benar-benar marah! 

"Pak, harusnya pekerja seperti dia tidak pantas diterima kerja di sini. Ada pelanggan, kok, malah ngusir. Lebih baik bapak pecat saja dia!" perintah cewek itu –lagi– seolah kafe ini adalah miliknya. 

"Siapa kamu berani menunjuk saya?" Guntur berlagak sombong, memasukan satu tangan ke dalam saku celana. 

Cewek yang hendak mengeluarkan perkataan pedas itu pun hanya bisa bungkam. Gigi atas dan bawahnya saling beradu dengan tekanan kuat. Ia juga sama-sama marah. 

"Lebih baik anda pergi sebelum saya bertindak jauh." Guntur mendesis, tatapan tajamnya membuat siapa pun merasa waswas. 

"Kalian sama-sama gak profesional! Saya nyesel datang ke sini!" Cewek itu pergi dengan hati dongkol. Sepanjang jalan sampai keluar dari kafe, ia menghentakkan kakinya karena kesal. 

"Kamu baik-baik aja?" Guntur membalikkan tubuh Erisca dengan gerakan gesit sampai cewek itu terkejut. 

"Saya enggak apa-apa, kok, Pak," balas Erisca, hendak berlalu, tapi Guntur malah meraih tangannya. 

"Tapi pipi kamu merah." Perlahan Guntur mengelus pipi kanan Erisca penuh kasih sayang. 

Erisca mematung, tidak percaya jika Guntur akan memperlakukannya seperti itu. Sudah lama hati tak tersentuh getaran ajaib. Tapi kali ini dia merasakannya lagi. 

"Kita obati." Tanpa permisi Guntur menarik pelan Erisca menuju ruangan khusus yang ada di belakang kafe. 

Guntur memang baik serta pandai. Ia sengaja menyiapkan dua ruangan luas dan bersih untuk para pekerja. Di sana juga disediakan lemari sebagai wadah pakaian, alat solat, atau obat-obatan. 

"Sebentar, saya ambil dulu air hangat." Guntur berlalu keluar sementara Erisca sudah duduk manis di atas sofa empuk. 

Sepeninggal pria itu, Erisca memegang pipinya. Kenapa Guntur sangat baik? Padahal dia tidak terluka parah. Aneh bin heran, Guntur berwatak tegas kepada siapa saja. Tapi mengapa hanya Erisca yang diperhatikan? 

"Jangan banyak bergerak, biar saya kompres dulu lukanya supaya cepat pulih." Guntur mengusap pipi Erisca menggunakan handuk super halus. Dalam wajah tersirat kekhawatiran yang begitu kentara. 

Erisca dibuat bertanya-tanya oleh tingkah pria itu. Apakah ia menyukainya? Atau hanya kasihan saja? 

"Lain kali kalau ada pelanggan sewot kayak tadi, kamu pergi dan temui saya. Jangan diladeni karena kamu juga yang bakalan sakit." Guntur sangat fokus mengobati pipi Erisca. Meski tak ada luka berat, tetapi tampak memerah bagai pewarna wajah. 

Dulu kala, ada satu orang yang selalu bisa memulihkan kesakitan. Orang itu adalah penolong di saat kesusahan berkunjung ke dalam jiwa dan raga. Baik Erisca mau pun Guntur saling melempar pandang. Mereka kembali mengingat masa lalu. 

Dari atas sampai bawah, tubuh Erisca bagai disengat listrik saat tiba-tiba Guntur memajukan wajahnya. Jika ada yang mendorong, mungkin mereka sudah menyatu. Tapi untung saja Erisca lebih cepat menghindar hingga kejadian terlarang tidak terlaksana. 

"Em ... maaf, saya gak bermaksud seperti itu. Tadi saya hanya–" 

"Gak apa-apa, Pak. Lebih baik saya ke depan lagi, soalnya ada beberapa meja yang belum diberesin." Erisca mengelak. Dia berjalan keluar ruangan, tapi Guntur menghentikannya. 

"Kamu marah?" tanya Guntur, khawatir jika Erisca akan berubah drastis karena kejadian tadi. 

"Oh, enggak, kok. Saya cuma kaget aja." Menunduk malu, menggigit bibir bawah karena dia mendadak grogi. 

"Oke, sekali lagi saya minta maaf. Sekarang kamu boleh ke depan buat beresin kafe. Nanti setelah itu kita pulang bareng." Tanpa menunggu persetujuan, Guntur kembali memasuki ruangan lantas menutup pintu. 

Erisca semakin bingung. Tapi akhirnya dia tersadar saat salah satu cewek imut menepuk pundak, "Ayo, kerja! Malah ngelamun." Erisca terkekeh pelan. Mereka berjalan bersamaan ke depan untuk bergabung dengan yang lain. 

Sementara itu, ada jantung yang berdetak hebat akibat tatapan lembut seorang karyawan. Guntur memukuli kepalanya sendiri, berusaha menghilangkan getaran dalam dada agar bisa bersikap normal. 

Setelah pudar kegelisahannya, Guntur dapat bernapas lega. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status