Share

06. Perhatian Penuh

"Kamu udah sarapan, 'kan?" Guntur bertanya sembari fokus menyetir mobil. 

Cewek di sampingnya menoleh lantas tersenyum manis, "Udah, dong. Aku mana mungkin pergi kerja tanpa sarapan? Bisa kena omel orang tua kalau sampai enggak makan pagi." 

"Bagus-bagus. Orang tua kamu memang patut diacungi jempol. Mereka paling bisa bikin kamu nurut." Dengan lihai Guntur memutar setir, berbelok arah menuju kafe. 

"Diacungi jempol? Mana ada! Aku juga nurut karena terpaksa." Erisca memalingkan wajah. Dia pikir Guntur belum paham bagaimana perasaannya ketika berhadapan dengan Fendi dan Sarah. 

"Mau gimana pun, mereka tetap orang tua yang harus kamu hormati. Jangan pernah buat hati mereka sakit gara-gara kelakuan sendiri." Guntur menasihati sang kekasih agar tidak terlalu kesal pada orang tuanya.

"Aku selalu hormati mereka, tapi mereka aja yang enggak pernah mau ngerti perasaan anaknya. Udah tau aku terkekang. Segala pergerakan serasa dibatasi banget. Tapi sayang, mereka emang keras kepala." Lagi-lagi mood Erisca turun drastis ketika mengingat orang tua. Dia paling tidak nyaman jika sudah membicarakan mereka berdua. 

"Tenang aja, masih ada aku yang selalu mengerti perasaan kamu." Guntur mengusap pipi Erisca dari samping. Ia tersenyum lembut guna menyalurkan energi pada gadisnya. 

"Makasih. Aku harap hubungan kita baik-baik terus sampai akhir hayat," tutur Erisca, memegang tangan besar Guntur sembari memejamkan mata. 

"Aamiin."

***

Duh ... kepala Erisca pusing sekali. Sedari jam satu siang sampai malam hari, dia tiada henti melayani pelanggan di kafe. Sepertinya para karyawan sengaja mengerjai Erisca agar cewek itu kecapekan dan sakit. 

Saat ini pun dia harus mengantarkan makanan ke meja nomor sebelas. Tapi kepalanya terasa berat dan pusing. Dia bukan tidak mau jalan sana-sini sembari membawa nampan. Hanya saja ini sudah di luar kesanggupannya. Lihatlah, beberapa karyawan cewek malah santai-santai saja membicarakan produk skincare, sedangkan Erisca mesti bekerja dua kali lebih banyak. 

Ada juga karyawan cowok yang tampak mengasihani Erisca, tetapi mereka tidak mau ambil resiko jika para pekerja cewek marah-marah nanti.

"Lo kalau disuruh kerja itu yang becus, dong! Jangan lembek kayak gini!" Salah satu karyawan cewek dengan nametag Susi itu berbisik sambil melotot. Ia mencengkeram lengan Erisca hingga terasa ngilu karena mengenai tulang. 

"T-tapi kepala aku pusing, Mbak. Boleh gak aku istirahat sebentar aja? Nanti dilanjut lagi, kok, kerjanya." Erisca memelas. Dia tidak pernah seperti ini, tetapi sekarang kondisi tubuhnya benar-benar tidak stabil. 

"Enak bener minta istirahat. Heh, lo itu karyawan baru di sini, jadi jangan harap gue bakal simpati!" Bahu Erisca di dorong cukup keras hingga nyaris terjatuh. Susi sudah mengepal tangannya, siap melayangkan pukulan jika saja bukan di tempat ramai seperti ini. 

Erisca diam. Dia memang anak baru di sini, tetapi apakah pantas bagi pekerja lama memperlakukan Erisca seperti itu? Robot pun sewaktu-waktu bisa rusak jikalau terus-menerus dipaksa bekerja, apalagi manusia biasa seperti Erisca. Di mana logika mereka sebenarnya?! 

"Tapi pak Guntur selalu kasih waktu istirahat buat karyawannya. Jadi mbak enggak berhak ngatur apa-apa karena kita sama-sama pekerja." Erisca membela diri dengan sisa tenaga yang masih terkumpul. Kalau sedang sehat, dia akan memilih menurut saja diperlakukan semena-mena daripada harus berdebat dengan orang lain. 

"Oh, sekarang udah berani ngelawan, ya? Mau gue tambah lagi kerjaannya supaya lo tepar di sini?" Susi semakin melotot. Gigi-gigi menggertak kuat pertanda amarah memuncak. "Ingat, jangan pernah sekali-kali lo ngadu sama pak Guntur. Kalau enggak, gue sikat sampe abis!" 

Alasan apalagi yang harus Erisca berikan? Kali ini dia benar-benar kehabisan cara untuk membela diri sendiri. Mau kabur ke belakang pun percuma karena Susi pasti akan mengejar. Lagi pula Guntur juga sedang tidak ada di kafe selama hampir satu hari full. Jadi Erisca tidak memiliki perlindungan apa pun. 

"Sekarang lo antar makanan ini ke pelanggan! Jangan sampai mereka kecewa dan protes sama pak Guntur. Pergi sana!" 

Sekali lagi Erisca didorong kuat. Namun, sebisa mungkin dia mempertahankan keseimbangan tubuh agar tidak goyah. Mau tidak mau dia harus berjalan meski lutut mulai bergetar. Tapi dia sudah tidak kuat lagi hingga akhirnya terjatuh di tengah-tengah keramaian. 

Makanan di atas nampan pun tumpah berserakan ke lantai. Semua orang mulai menyorot Erisca tanpa ada satu pun yang mau membantu. Susi semakin geram. Ia melangkah lalu menggiring Erisca menuju dapur. 

"Udah gue bilang kerja yang becus! Lo jangan bikin reputasi kafe jadi buruk di mata orang-orang, dong!" Susi menjambak rambut Erisca hingga kulit kepala gadis itu perih. 

"Aw, sakit, Mbak!" jerit Erisca, tetapi dia malah mendapatkan tendangan keras di tulang kering kakinya. 

"Biar tau rasa! Lo emang pantes dapet perlakukan kasar dari semua orang!" Siksaan Susi kian menjadi, membuat Erisca terkulai lemas dan pasrah karena tak bisa melawan. 

"Tolong!" Suara Erisca melemah. Percuma saja dia minta pertolongan, tidak akan ada yang mendengar mengingat dia berada di ruangan kedap suara. 

"Ayo, teriak aja semau lo. Sampai pita suara lo putus pun, enggak akan ada orang yang bakal datang jadi superhero ke sini." Susi tertawa, Erisca tersiksa. Gadis itu heran, mengapa ada saja manusia yang dengki kepadanya? Padahal dia tidak pernah menyusahkan mereka barang satu kali pun. 

"Tolong!" Meski Erisca tahu suaranya pelan dan tak terdengar, tapi dia masih berusaha. 

"Keras kepala banget, sih, lo!" Beberapa kali pukulan maut Susi layangkan tepat di pipi Erisca. Gadis itu semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia nyaris pingsan jika saja tidak ada pria gagah yang datang menahan tangan sadis milik Susi. 

"Siapa kamu berani memukul Erisca? Apa kamu tidak tahu kalau Erisca adalah pacar saya?!" Guntur murka. Ia menghempas tangan Susi cukup keras hingga terdengar suara gerakkan tulang engsel.

Bagai dihantam benda berat, hati Guntur retak melihat Erisca diperlakukan seperti itu. Ia turut merasakan sakit yang Erisca rasakan. Kalau saja ia tidak pergi ke cabang kafe yang ada di Bekasi, mungkin saat ini Erisca akan aman bersamanya. 

"Apa alasan kamu memukul Erisca seperti tadi? Jawab!" teriak Guntur, memekakkan gendang telinga. 

"S-saya enggak bermaksud seperti itu, Pak." Susi menunduk, takut jika sudah berhadapan dengan atasannya yang satu ini. 

"Tidak bermaksud? Mana mungkin seperti itu, huh? Jelas-jelas saya melihat kamu mengasari Erisca atas dasar amarah! Apa yang Erisca lakukan sampai membuat kamu kesetanan?!" Guntur terus mendesak, ingin tahu alasan jelas atas sikap Susi sekian detik tadi. 

"K-kerjaan Erisca tidak profesional, Pak. Barusan dia jatuh di depan pelanggan yang sudah lama menunggu pesanan." Susi beralasan dengan kebohongan. Ia pandai sekali membalikkan fakta tentang kejadian sebenarnya. 

"Mau seburuk apa pun pekerjaan Erisca, kamu tetap tidak berhak memperlakukan dia dengan kasar! Jangan mentang-mentang kamu karyawan lama dan bisa seenaknya sama karyawan baru. Kalau saya sudah turun tangan, kamu bisa langsung dipecat!" Urat-urat merah dalam mata Guntur tampak jelas. Pria itu ingin menelan bulat-bulat karyawan di depan wajahnya ini. 

"M-maaf, Pak. Saya enggak mau dipecat. Cuma ini kerjaan yang saya punya, Pak. Saya mohon kasihanilah saya." Susi bersimpuh di bawah Guntur, mengepal tangan menjadi satu guna melengkapi sandiwara kali ini. 

"Oke, saya tidak akan pecat kamu. Tapi jika terdengar atau terlihat lagi menyakiti Erisca, siap-siap saja hengkang dari kafe saya!" Guntur mendesis kejam. Ia segera membopong Erisca yang sudah terkulai lemas tak berdaya. 

"Kita ke rumah sakit, sayang. Kamu yang kuat, ya?" Guntur tak kuasa melihat kondisi Erisca saat ini. Gadis itu bahkan kesulitan mengucapkan sepatah kata. 

Buru-buru Guntur membuka pintu mobil lantas mendudukkan Erisca senyaman mungkin. Ia segera meluncur ke rumah sakit karena cemas dengan keadaan sang kekasih. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status