Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti
Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh
“Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya
"Va, aku ingin kita bercerai?!" ujar Faris, yang baru saja duduk di ruang makan.Ivana tertegun, gerakan tangannya yang sedang mengambil nasi untuk Faris tiba tiba terhenti.Dia pandangi wajah suaminya dengan tatapan kaget dan tak mengerti. "Ada apa, Mas? Bukannya hubungan kita lima bulan terakhir ini tidak ada pertengkaran?" tanya Ivana.Tatapan mata perempuan cantik itu terlihat tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar."Aku minta maaf Ivana, tapi Bella hamil, dan itu adalah anakku."Mata Ivana terbelalak kaget' saat mendengar apa yang suaminya katakan."Apa maksud kamu, Mas. Bukannya kamu sudah—?" Ivana tak sanggup melanjutkan ucapannya, seperti tak bertulang, badan perempuan cantik itu terduduk lemas di kursinya. "Jangan menduga apa pun, Ivana. Tolonglaah!" pinta Faris dengan wajah yang terlihat bingung, melihat Ivana menatap dirinya, nanar. "Kalau begitu, ceritakan padaku apa yang sudah terjadi di antara kalian, dan, sejak kapan ?" tanya Ivana, lirih. Setelah tadi ter
"Ini masih awal, Va. Kamu belum masuk rumah aja, Faris sudah mulai membatasimu," lirih suara Ivana yang tanpa sadar mengelus pelan dadanya sendiri."'Bisa bertahan dan sabarkah diriku?" bisik Ivana lagi pada hatinya sendiri."Kenapa .... Apa ada yang salah dari ucapanku?" tanya Faris, memandang curiga gerak-gerik Ivana."Tidak, Mas. Hanya saja perlakuanmu padaku tadi seolah aku adalah penyebab kamu gagal menikahi pacarmu," jawab Ivana tegas tapi santai dengan mata menatap penuh Faris."Jangan lupa, aku adalah korban dari keluargamu. Tolong perlakukan aku seperti sahabat, kalau Mas tidak bisa, setidaknya sebagai teman, karena aku bukan perebut calon suami orang!" tegas Ivana, sedikit sarkas. Mata wanita cantik itu memandang tajam pada lelaki yang berdiri di depannya, lelaki yang kini dia sebut sebagai 'suami' itu mulai menyakiti perasaan Ivana, dan dia tak ingin membiarkan itu terjadi di awal pernikahan."Maap ... aku tak bermaksud seperti itu, hanya saja aku masih belum bisa menerima
"Kami akan segera bercerai," ujar Ivana, dengan tangan kanan yang terus memainkan sedotan es teh."Kamu ngomong apa sih, nikah juga baru lima bulan sudah bahas cerai aja? Kayak selebartis deh!" Naya, perempuan cantik berambut lurus bagus, sebahu itu, tiba tiba mendelik, menunjukkan wajah tak suka dengan apa yang baru saja sahabatnya katakan."Aku serius, seharusnya selama kami bersama, kami tidak usah memakai perasaan, agar tidak ada kewajiban layaknya suami istri," lanjut Ivana, matanya menatap Naya."Jadi ... kamu terima apa saja yang kakakku katakan? Bantahlah sekali sekali, Va!" sungut Naya, sambil membalas tatapan Ivana dengan kecewa.."Ah ... Aku lupa kalau kamu pasti nggak bakalan mau ngebantah suami, pamali ya, kan?!"Naya menjawab sendiri pertanyaannya tadi. Pandanganya dia alihkan ke tempat lain, petanda dia tak suka pilihan Ivana.Ivana menanggapi Naya dengan senyuman, apa yang dilakukan perempuan yang duduk di hadapannya ini bukanlah yang pertama kali."Kamu inginkan aku
"Ke mana?" jawab Rizal, matanya menatap Dimas, tak mengerti."Kita nanya langsung aja ke mas Faris," jawab Dimas sambil berdiri dari kursi."Tapi mampir dulu ke rumah sebentar, aku mau ngasih pesanan nyokap tadi pagi, gimana?" sambung Dimas, lagi."Ayo .... Kamu ikut, nggak? Malah ngelamun," desak Dimas, tak sabar."Mmm ... iya deh, aku ikut ...." Rizal berdiri dan melangkah mengikuti arah Dimas berjalan.Dimas tersenyum mendengar keputusan Rizal, dan terus melangkah tanpa menoleh.****"Mau ke mana lagi, Dim? Baru nyampek rumah 'kok sudah mau pergi lagi." Bundanya Dimas mulai ngomel saat melihat gelagat anaknya yang berkemas hendak pergi lagi."Mau ke kantornya mas Faris, Bun." jawab Dimas, sambil terus berkemas."Ngapain ke sana, ada perlu apa?" tanya Bunda dengan kening mengernyit."Denger dari Naya, katanya Mas Faris baru saja nikah dengan —""Terus ... apa hubungannya denganmu?" potong Bunda dengan tatapan tajam ke arah Dimas, sambil duduk di sofa berhadapan dengan posisi duduk
"Apa kabar Adik Ipar tersayang, aku harap ... mulai hari ini kamu belajar untuk mulai membiasakan diri menghormati aku yang nantinya akan menjadi istri dari kakakmu."Bella tersenyum sinis saat melihat sosok orang yang tadi berani membantah apa yang dia katakan. "Jangan bermimpi terlalu tinggi, di tabrak pesawat kan nggak lucu?!" Naya menjawab sinis, setelah sebelumnya terlihat mencibir.Dari awal Bella berhubungan kasih dengan Faris, Naya adalah salah satu orang yang berani menampakkan sikap tidak sukanya pada Bella secara terang terangan, selain mamanya Faris. "Sepertinya kamu salah orang, adik kecil, yang bermimpi itu dia! Bukan aku!" jawab Bella dengan tangan kiri menunjuk ke arah Ivana yang masih terlihat sangat tenang."Jangan sok akrab! Aku bukan adikmu!" balas Naya saat mendengar perempuan berbaju kurang bahan itu memanggilnya adik kecil."Faktanya sekarang adalah Ivana memang istri dari kakakku?! Jadi buat apa dia bermimpi, sedangkan kamu, siapa kamu?!" lanjut Naya dengan