"Apa kabar Adik Ipar tersayang, aku harap ... mulai hari ini kamu belajar untuk mulai membiasakan diri menghormati aku yang nantinya akan menjadi istri dari kakakmu."
Bella tersenyum sinis saat melihat sosok orang yang tadi berani membantah apa yang dia katakan."Jangan bermimpi terlalu tinggi, di tabrak pesawat kan nggak lucu?!" Naya menjawab sinis, setelah sebelumnya terlihat mencibir.Dari awal Bella berhubungan kasih dengan Faris, Naya adalah salah satu orang yang berani menampakkan sikap tidak sukanya pada Bella secara terang terangan, selain mamanya Faris."Sepertinya kamu salah orang, adik kecil, yang bermimpi itu dia! Bukan aku!" jawab Bella dengan tangan kiri menunjuk ke arah Ivana yang masih terlihat sangat tenang."Jangan sok akrab! Aku bukan adikmu!" balas Naya saat mendengar perempuan berbaju kurang bahan itu memanggilnya adik kecil."Faktanya sekarang adalah Ivana memang istri dari kakakku?! Jadi buat apa dia bermimpi, sedangkan kamu, siapa kamu?!" lanjut Naya dengan tatapan yang tak kalah tajamnya."Aku adalah perempuan yang sampai saat ini masih ada di dalam hati kakakmu! Bukan perempuan pengganti ini!"Dengan tangan kiri, dia kembali menunjuk wajah Ivana, Bella yang merasa berada di atas angin, menjawab pertanyaan Naya."Sungguh? Aku meragukan itu, apalagi kamu sudah pernah menyakiti hati kakakku!" Naya menjawab dengan senyum yang tak kalah sinisnya."Eh ... atau mungkin kamu lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan? Saat itu bukan hanya hati mas Faris yang kamu lukai, tapi juga hampir mencoreng keluarga besarku!" lanjut Naya, mengungkit kembali apa yang sudah Bella lakukan."Jangan menyerangku dengan masa lalu, adik kecil! Itu tak akan berhasil, karena kakakmu yang sangat mencintaiku itu tak mempermasalahkan!"Naya tersenyum sinis mendengar Bella menjawab apa yang dia ungkit."Mungkin kamu bisa berbangga hati karena kakakku yang saat ini mungkin sedang ling lung, mau menerimamu lagi, tapi ... bagaimana dengan Papa dan Mama?! Kamu yakin bakal di terima?" tanya Naya lagi, tak patah semangat menyerang Bella."Yang akan menjalani hidup rumah tangga ini hanya aku dan kakakmu, hanya kami berdua, selain itu tak penting, termasuk kamu—!""Apa maksudmu dengan Naya tak penting?! Dia adikku, tentu saja sangat penting?!"Mendengar ada seseorang yang yang menyela ucapan Bella, sontak ke tiga perempuan itu pun menolehkan kepala mereka, hampir bersamaan ke arah pintu masuk."Sayaang ... jangan salah paham, dari dulu adikmu memang tak pernah menyukaiku, dan tadi dia malah berani mengancam dan menyuruh untuk menjauh darimu," jawab Bella yang melangkah mendekati Faris, dan langsung memeluk lengan lelaki tampan itu, tanpa malu.Naya mencibir saat mendengar suara Bella yang dari awal lantang dan pedas, seketika berubah mendayu ketika berhadapan dengan kakak lelakinya."Naya ...." tegur Faris dengan mata menatap sang adik, tak suka.Sepertinya Faris melupakan hati Ivana yang berdiri dan hanya bisa terdiam dengan wajah tak lagi bisa di jelaskan, karena melihat kemesraan yang ditunjukkan oleh Bella di hadapannya."Apa!"Bukannya ikut naik darah melihat mata adiknya yang membulat sempurna dan menjawab ucapannya dengan nada tinggi, Faris melepaskan tangan Bella di lengannya, dan malah mendekati Naya lalu memeluk serta mengecup keningnya, sesaat."Va ... bawa adikku ke dalam, ada yang ingin aku bicarakan dengan Bella, berdua saja, tolong!" pinta Faris, saat tangannya masih memeluk Naya.Ivana tak menjawab. Namun dia menarik tangan Naya yang tampaknya keberatan dengan perintah sang kakak."Aku mau di sini! Aku nggak mau ninggalin mas Faris hanya berdua saja dengan si Annabella, entar yang ada malah setannya pindah lagi!"Mata Ivana dan Bella sontak membeliak sempurna dengan ekspresi yang berbeda, saat Naya menyebut kekasih kakaknya itu dengan nama panggilan sebuah boneka."Apa maksudmu?! Kamu pikir aku boneka setan?! Kamu ...!" sentak Bella, kesal karena mendengar Naya memanggilnya dengan sebutan Annabelle_boneka setan yang terkenal dari luar negri."Baguslah kalau kamu sadar diri!" balas Naya tak mau kalah, sambil tersenyum lebar."Sayaang ....!" Bella kembali merajuk."Naya, masuk ke dalam!" titah Faris setelah mendengar panggilan Bella yang mampu membuat Naya mencibir."Sok imut, padahal di dalamnya ada setannya!" ujar Naya, lagi."NAYA!" sentak Faris."Tidak! Aku tidak mau, aku—""NAYA ....!!"Mendengar teriakan dari Faris, bukannya takut, Naya malah melotot ke arah sang kakak dengan wajah yang memerah."Kita lihat nanti, siapa yang akan tetap tinggal di sini!" ujar Naya yang tampaknya tak peduli dengan bentakan yang baru saja ia terima dari kakaknya."Aku pulang," ujar Naya yang kemudian masuk ke dalam untuk mengambil tasnya. Lalu kembali ke ruangan dengan wajah yang terlihat sangat kecewa.Entah apa yang ada di pikiran Naya yang tiba tiba berhenti melangkah saat kakinya sudah berada di ambang pintu.Naya membalikkan langkahnya hingga berada di hadapan sang kakak."Tak usah sok baik pada orang yang berusaha membuat nama baik keluarga kita hancur! Apalagi sampai berniat menjadikannya ratu di rumah ini karena aku yakin Papa dan Mama juga tak ingin Ivana yang keluar!" Terdengar penuh penekanan di setiap kata yang Naya ucapkan di depan Faris."Naya ... jangan keterlaluan, kamu—!""Mas yang keterlaluan! Mas yang nggak punya hati!" potong Naya dengan setengah menjerit, ada kilatan marah di matanya yang dapat dilihat jelas oleh Faris yang saat ini terhenyak karena jeritan sang adik."Aaargh!"Naya yang dengan sengaja membalikkan badannya, hingga saat berteriak berada tepat di depan wajah Bella, dan kembali melangkah ke pintu, tak peduli dengan makian Bella yang tak terima dengan sikap yang Naya tunjukkan tadi. Perempuan itu pergi tanpa pamitIvana terdiam saat melihat Faris yang seolah terpaku di tempatnya ketika melihat sikap yang adiknya tunjukkan, mungkin dia seperti sedang melihat Naya yang berbeda."Sayaang, aku kangen!"Ivana sontak membalikkan badan, jengah bila harus melihat untuk kesekian kalinya lagi sikap perempuan itu pada lelaki yang masih berstatus suaminya."Mmm ...."Ivana menarik napas panjang, membalikkan badan dalam diam dan melangkah menjauh menaiki tangga.****Bunyi ketukan dari luar kamar membuat Ivana yang entah sudah berapa lama terlelap di balkon, terbangun dan bergegas menuju ke pintu kamar."Ada apa?!" tanya Ivana saat melihat ada mak Ijah yang sedang memegang sesuatu yang di bungkus kado."Saya menemukan ini di luar, dan kata Tuan ini milik Nyonya," ujar mak Ijah yang menyerahkan benda yang dia pegang ke Ivana yang terlihat bingung."Ini apa?"Mak Ijah tak menjawab, hanya menggelengkan kepala, dan bergegas pamit.Ivana membawa apa yang diberikan mak Ijah ke atas kasur, sambil terus memandanginya dengan heran."Va ...."Ivana seketika berdiri dari duduknya saat tiba tiba melihat pintu kamar yang tadinya dia tutup, kini terbuka dan membebaskan Faris melangkah mendekat."Ada apa?" tanya Ivana dengan wajah datar, sama seperti wajah lelaki yang ada di hadapannya saat ini."Selamat Ulangtahun."Ke dua alis Ivana terlihat naik bersamaan, saat mendengar apa yang Faris katakan, bersamaan dengan di berikannya sebuah kotak berukuran lumayan besar yang di bungkus kain beludru berwarna merah."Terima kasih, tapi ... Aku tak bisa menerima ini," tolak Ivana yang sepertinya sudah tahu apa isi dari kotak yang Faris berikan."Kenapa?" tanya Faris, wajahnya masih saja datar."Berhentilah bersikap manis di depanku, lebih baik kamu segerakan berkas perceraian kita, untuk aku tanda tangani.""Aku tak ingin berpisah, aku nyaman denganmu."Faris berkata sambil meletakkan apa yang dia pegang di dekat kotak berbungkus kertas kado.Dan, dengan santainya merebahkan badannya di kasur dengan dua kaki terjuntai ke lantai. Kasur yang selama sepekan dia tinggalkan."Tapi aku dan Bella sama sama tak ingin menjadi yang ke dua, Mas!"Faris tak menjawab, hanya terdengar desahan napas yang panjang dari lelaki yang kini menatap langit langit kamar."Mmm ... Bella benar, akulah pemimpi itu."Dengan wajah sedih, Ivana melihat ke atas tempat tidur, tempat tadi Faris tidur, sebelum dirinya ke kamar mandi, kini kosong. Hanya ada kotak berbungkus kertas kado dan kotak kain beludru warna merah. Ivana mengunci pintu kamar dan kembali ke ranjang, dengan perlahan dia membuka kotak kain beludru."Sudah aku duga," ujar Ivana, saat dia melihat di dalam kotak itu terdapat satu set perhiasan lengkap dengan surat suratnya. Kotak berisi perhiasan itu dia tutup kembali dan meletakkannya ke atas nakas di samping ranjang. "Terima kasih Naya."Dengan tersenyum, Ivana meletakkan kertas yang baru daja dia baca, lalu membuka bungkusan yang dia yakini telah dititipkan oleh sahabatnya, Naya. Kening Ivana tiba tiba mengerut, saat melihat isi di dalam kotak, ada sebuah jam tangan dan ... permen.Permen yang membuatnya bisa merasakan menjadi seorang istri yang utuh.Ivana teringat lima bulan yabg lalu, tepatnya seminggu setelah dirinya resmi menjadi is
"Papa di mana, Ma?!" tanya Naya, saat dirinya yang baru datang dari rumah sahabatnya, hanya bertemu dengan Mama yang baru saja turun dari lantai dua."Di ruang kerjanya, memangnya ada apa? Kok tumben, baru masuk rumah sudah nanya Papa? Lagi pula kamu dari mana aja, Nay? Kenapa pulangnya malam begini?"Mama menjawab sekaligus bertanya pada anak perempuannya yang baru saja memeluk dan mencium ke dua pipi."Dari rumah Ivana, Ma," jawab Naya, yang melangkah ke arah kamar yang di jadikan sebagai kantor Papa kalau di rumah. "Kamu sudah makan malam? Kalau belum, sini temani mama makan," ajak Mama penuh harap."Masih kenyang, Ma. Di rumah Ivana tadi, aku terlalu banyak makan gorengan." Naya menjawab tanpa menoleh. "Oh iya, sekarang Ivana ulang tahun, ya? mama dan Papa tadinya juga mau ke sana, hanya saja tadi pagi ada insiden tidak mengenakkan sehingga membuat papamu terlupa tentang niatnya tadi."Langkah Naya tiba tiba terhenti, perempuan cantik itu membalikkan badannya kembali ke arah M
"Halo, ada apa Nay?" tanya Ivana, siang itu kepada orang yang sedang menelponnya.[Va, kamu nggak ke kampus?] terdengar suara Naya yang bukannya menjawab, malah balik bertanya."Aku sedang nggak enak badan, Nay." [Kamu kenapa? Sakit?]"Masuk angin mungkin, tadi malam ketiduran di balkon."[Jangan ke mana mana, ya. Setelah dari sini aku bakalan ke sana.]"Sungguh! Kalau bener mau ke sini, boleh nggak aku minta tolong kamu? Tolong ambilkan hasil pemeriksaan yang kemarin di rumah sakit."[Ke Dokter Agustien kan, ya?]"Iya ...."[Ok, aku bakalan ambil.]"Makasih ya, terus kalo udah dalam perjalanan ke sini. tolong belikan ice cream coklat ya, please."[Ok, siap!]"Makasih ya ... Nay," jawab Ivana sambil menutup ponselnya, sesaat setelah mendengar Naya menjawab salam dan menutup pembicaraan lebih dulu.Dari kemarin Ivana merasa kondisi badan tidak enak, Namun suhu badan tidak panas, hanya pusing dan lemas aja, dan ditambah selera makan yang turun drastis.Saat hendak menaruh phone ke temp
"Aku berhak bahagia, Nay. Mas Faris pun juga.""Tapi kondisi---""Aku bahagia, masih ada kamu, Umi. Ada Dimas dan Rizal," ujar Ivana di antara gemetar suaranya. Naya mendekati Ivana dan memeluknya, Namun terlihat raut amat sedih Naya, yang merasa bersalah. Perlakuan kakaknya telah membuat sahabatnya menderita."Aku akan menjagamu, Va. Percayalah.""Makasih, Nay. Kamu tetap adikku, mantan adik ipar, jangan songong loo." Ivana tersenyum mencoba keluar dari zona sedih. Tanpa mereka berdua sadari. Dari arah dapur, tampak Mak Ijah dan Pak No dan empat perempuan berseragam, saling bertatapan karena mendengar pembicaraan itu sejak awal, mereka terdiam sedih."Apakah, kau membawa apa yang aku pesan, Nay?" tanya Ivana."Oiya, ini hasil pemeriksaan yang kau minta, tapi hanya fotokopiannya saja, yang asli dipegang dr. Sinta." Naya memberikan map warna kuning ke Ivana untuk ke dua kalinya."Menurut, dokter Sinta. Laporan itu udah lengkap dengan diagnosa gejala awal, sampai beberapa stadium lan
Akhirnya Ivana mengangguk, lalu kembali duduk sambil memperhatikan Naya dan dr. Agustien yang sedang siap siap."Ada berapa korban, Sus?" tanya Dokter sambil menggunakan jas putih kehormatannya."Dua, Dok. Yang parah satu, korban laki-laki. Sedangkan yang satu lagi, perempuan, hanya luka biasa saja," terang perawat."Satu di antara kalian, ayo ikut!" Menunjuk ke arah Dimas dan Rizal."Siap, Dok!" ujar Dimas, berdiri dan segera melangkah keluar dari kamar pemeriksaan."Zal, kalau mau berangkat ke panti lebih dulu, tak apa, malah menurutku itu lebih baik. Aku dan Naya gampanglah, pulangnya bisa nanti," ujar Dimas sebelum benar benar keluar dari kamar."Aku nunggu Naya dan kamu selesai aja di sini, nggak lama kan?" Ivana menjawab pertanyaan Dimas ke Rizal."Ya udah, terserah." Dimas menjawab dan kemudian berbalik arah kembali keluar dari ruangan. Menyusul Naya dan Dokter Sinta."Kamu yakin mau menunggu Naya dan Dimas, nggak mau balik duluan, mending istirahat di Panti?" Rizal bertanya
Langkah Rizal terhenti, saat menoleh ke belakang dan melihat wajah Ivana yang sudah mengembungkan ke dua pipinya, terlihat menggemaskan."Udah, nggak usah di ambil hati. Kayak anak kecil aja," rayu Rizal yang di balas dengan senyum bahagia Umi. Tak pernah di sangka sebelumnya oleh Rizal jika Ivana yang terlihat anggun, ternyata muncul manjanya jika di depan Umi."Ayo ... makan yang banyak. Biar gemuk!" Umi mengambil piring dan meletakkan nasi di atasnya untuk Ivana dan Rizal."Tak usah repot, Mi. Biar Aku aja yang melayani Rizal. Eh ... Umi nggak makan bareng kita?" tanya Ivana yang kemudian mengambil alih piring di tangan perempuan yang sudah dia anggap seperti ibu kandung."Nggak, tadi sebelum kalian datang aku sudah makan kok, bareng sama yang lain," jawab Umi dengan raut wajah yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu, kini tiba-tiba berubah sedih."Umi, maap ... aku hanya tak ingin merepotkan Umi, itu saja kok," sesal Ivana saat menyadari perubahan raut muka Umi.Perempua
Sudah dua hari Dimas setia mendampingi keluarga Naya di rumah sakit, bergantian dengan Mama dan Papa, menjaga Mas Faris.Semua proses penyembuhan yang di sarankan tim dokter sudah di lakukan. Namun, Mas Faris masih belum sadar, dan masih dalam pengawasan ketat tim Dokter. tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kamar rawat mas Faris, sekali pun itu adalah keluarga. "Nay, kamu udah hubungi Ivana, belum? Mama kok nggak pernah ketemu selama kakakmu sakit dan di rawat di sini?" tanya Mama, perempuan yang telah melahirkan Naya dan Faris itu dengan nada sedih."Belum, Ma. Aku lupa." Naya berbohong tentang alasan kenapa tidak menghubungi Ivana, sejujurnya dia hanya tak ingin menambah beban untuk mantan kakak iparnya itu lagi. "Sudah ... tak usah di kabarin si Ivana. Aku tidak tahu harus menjawab apa kalau dia nanti bertanya macam macam tentang yang di alami Faris. Lagian udah jadi mantan istri si Faris kok. Jadi tak perlu lagi merepotkannya." Papa nyeletuk tanpa basa basi, saat mereka
"Aku belum minta maaf atas salahku dulu, Pa. Dan sekarang anak kita jahat pada anaknya. Bagaimana aku bisa bertemu dengannya kelak, Pa?" ratap Mama yang masih menatap langit langit kamar. Pelukan Papa sudah terurai, Namun, tangan Mama masih senantiasa di genggam erat Papa, yang memberikan isyarat agar Naya membiarkan dulu Mama untuk tenang, tanpa perlu mendengar ada pertanyaan."Aku tak menyangka, yang kita cari-cari selama ini, ternyata sudah berada sangat dekaaat ... sekali dengan kita. Namun, tanpa kita sadari, kita telah menyakitinya," ujar Mama yang lembali meraung lagi, dengan mata terpejam seolah tak tahan melihat masalah yang sedang dia hadapi saat ini."Sudahlaaah, Ma. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik. Semuanya sudah di gariskan oleh-Nya. Kita hanya bisa mendo'akan, semoga Ana tenang di sisi Tuhan." Tangan Papa membersihkan air mata di pipi Mama dengan tisu yang tersedia di meja kecil sebelah kiri brankar.Dimas yang melihat polemik keluarga Naya, serta merta menggen