"Papa di mana, Ma?!" tanya Naya, saat dirinya yang baru datang dari rumah sahabatnya, hanya bertemu dengan Mama yang baru saja turun dari lantai dua.
"Di ruang kerjanya, memangnya ada apa? Kok tumben, baru masuk rumah sudah nanya Papa? Lagi pula kamu dari mana aja, Nay? Kenapa pulangnya malam begini?"Mama menjawab sekaligus bertanya pada anak perempuannya yang baru saja memeluk dan mencium ke dua pipi."Dari rumah Ivana, Ma," jawab Naya, yang melangkah ke arah kamar yang di jadikan sebagai kantor Papa kalau di rumah."Kamu sudah makan malam? Kalau belum, sini temani mama makan," ajak Mama penuh harap."Masih kenyang, Ma. Di rumah Ivana tadi, aku terlalu banyak makan gorengan."Naya menjawab tanpa menoleh."Oh iya, sekarang Ivana ulang tahun, ya? mama dan Papa tadinya juga mau ke sana, hanya saja tadi pagi ada insiden tidak mengenakkan sehingga membuat papamu terlupa tentang niatnya tadi."Langkah Naya tiba tiba terhenti, perempuan cantik itu membalikkan badannya kembali ke arah Mama."Insiden tidak mengenakkan, maksud Mama, apa?" tanya Naya dengan wajah penuh selidik menatap Mama.Naya semakin curiga saat Mama tak menjawab, hanya terdengar tarikan nafas panjang dengan sorot wajah kecewa"Ada apa sih, Ma?" Naya mengulang pertanyaan yang sama untuk yang ke dua kali.Naya bahkan membalikkan badan dan melangkah kembali mendekati Mama, dan duduk di kursi kosong tepat di samping perempuan yang telah melahirkannya itu."Perempuan yang sudah hampir membuat keluarga kita malu dulu, tadi pagi datang ke sini dan mengatakan permintaan maapnya kepada kita," ujar Mama dengan wajah yang tak bisa di artikan."Perempuan? Maksud Mama si Annabelle?" tanya Naya dengan kening mengkerut dan mata menyipit."Jadi perempuan set*n itu tadi ke sini?" tanya Naya terdengar bar bar, dengan wajah kembali memerah karena kesal, saat melihat Mama mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaannya."Benar benar tidak tahu malu!" desis Naya, setelah terdiam tadi."Bella tadi datang untuk mengatakan permintaan maapnya sekaligus meminta restu kepada mama dan papa karena sebentar lagi kakakmu harus menikahinya."Mama menceritakan apa yang di inginkan Bella, tanpa menunggu anak perempuannya bertanya."Lalu?"Naya tampak tak sabar saat Mamanya kembali menggantung cerita tentang si perempuan yang paling dia benci saat ini."Jangan bilang kalau Mama dan Papa merestui mereka?!" tuntut Naya dengan wajah penuh harap."Mama dan Papa tidak mempunyai sikap lain lagi, karena Bella sedang hamil saat ini dan anak itu adalah anak Faris."Mama berkata dengan wajah bingung, dan mata yang sudah berkaca kaca."Hamil ...? Apa Mama percaya dengan apa yang di ucapkan si Annabelle?""Mama harus bersikap seperti apa Naya? Apa yang dikatakan Bella dibenarkan oleh kakakmu, tidak mungkin untuk tidak memberikan restu karena aku juga mempunyai anak perempuan yang tak ingin bernasib sama seperti Bella."Seketika mata Naya membulat sempurna saat mendengar apa yang baru saja Mamanya katakan."Apa maksud Mama berkata seperti itu?! Ini berbeda, Ma! aku bukan Bella dan tak ada yang bisa membuatku bernasib sama seperti dia, karena aku tak pernah bersikap yang aneh aneh!"Mama terhenyak, tak pernah sebelumnya dia mendengar Naya bersuara tinggi seperti yang baru saja dia dengar."Tapi yang menghamilinya adalah kakakmu!" ujar Mama, dengan suara lebih landai, berharap Naya pun kembali sedikit mengurangi volume suaranya."Pantas saja dia tadi berani mengusir Ivana dan menghina aku, ternyata perempuan itu sudah mendapatkan restu dari sini! Kelewatan si Anabelle!""Apa maksudmu? Bella mengusir Ivana?! Kamu tidak sedang bercandakan, Nay?"Wajah Mama terlihat sangat kaget ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Naya."Harusnya Mama menolak! Apakah Mama tidak ingat bahwa di rumah yang di tempati oleh anak lelakimu saat ini, ada anak perempuan yang kau rayu untuk menjadi istrinya, dulu?!"Naya terduduk tak mampu berkata apa-apa lagi dia sangat kecewa mendengar apa yang dikatakan oleh Mama."Jangan berkata seperti itu. Mama ingat, kok! Maka dari itu sebelum Mas dan sahabatmu melangkah lebih jauh, ada baiknya diselesaikan sekarang!" jawab Mama, perlahan duduk di samping"Siapa yang Mama maksud dengan sesuatu yang diselesaikan sekarang? Sebenarnya ada niat apa lagi waktu mama merayu Ivana untuk menjadi pengganti dari si Annabelle? Benar benar untuk nikah, atau hanya sekedar agar nama baik keluarga tidak tercoreng?!""Dengar Naya, apa pun yang terjadi antara Ivana dan Faris, mereka adalah dua orang yang hanya disatukan karena terpaksa, jadi ... Mama dan Papa pikir, salah satu cara agar mereka tidak saling menyakiti, ada baiknya mereka cerai sekarang!""Aku setuju! Mas Faris dan Ivana bercerai, tapi tolong ..., kembalikan status sosial Ivana, karena perempuan dengan status janda sering dipandang rendah!" sentak Naya, dengan mata memerah dan basah."Saat Mama dan Papa setuju dan mendukung mas Faris untuk menceraikan Ivana, saat itu pula anak perempuanmu ini harus menyiapkan hatinya untuk diperlakukan seperti yang Ivana terima, ini definisi karma yang sebenarnya, Ma!"Tak menunggu jawaban dari Mamanya, Naya bangun dari duduknya dan melangkah menjauh, menaiki tangga menuju ke kamarnya."Bicara dengan siapa, Ma? Kenapa terdengar seperti sedang berdebat?" tanya Papanya Naya yang baru saja keluar dari ruang kerja dan mendapati Mama yang berdiri tercenung menatap Naya yang sudah tak terlihat di tangga."Dengan Naya—""Ada apa? Kenapa wajahnu jadi beraura beda?""Aku merasa telah melakukan hal yang jahat jika melakukan apa yang sudah kita sepakati tadi siang.""Ini tentang Faris?""Naya benar, apa yang kita lakukan itu yang akan menjadi karma untuk keluarga kita, bukan karena Bella. Dia yang salah, pergi sesuka hati dan datang dengan keinginan yang memaksa kita mengabulkannya," ujar Mama, setelah sebelumnya menganggukkan kepalanya.Hening sesaat ....Berulang kali mata kedua pasutri itu terlihat saling pandang dalam diam."Sudahlah, Ma. Tak usah kita pikirkan lagi, besok aku yang akan bicara dengan Faris. Bagaimana pun juga yang tahu tentang rumah tangga mereka adalah yang menjalani bukan?"Papa menghela nafas panjang, bangkit dari duduknya dan bergegas melangkah menaiki tangga, dengan dibuntuti mama dari belakang."Pa ... Apakah ini tidak bisa dibatalkan, Iva ulang tahun bulan ini, dan kita malah memberikannya hadiah perceraian. Bagaimana jika nanti Naya diperlakukan sama oleh mertuanya?!"Mama menghela napas panjang saat lelaki yang dia ajak bicara tak memberikan reaksi apa pun atas pertanyaannya tadi."Pa ... Aku merasa menjadi orang paling jahat saat ini, karena tadi Naya cerita kalau Bella sudah berani mengusir Ivana."Papa tiba tiba menghentikan langkah di tengah tangga, terlihat jelas betapa kaku sikap lelaki separuh baya itu setelah mendengar apa yang dikatakan oleh sang istri yang ada di balik punggungnya."Halo, ada apa Nay?" tanya Ivana, siang itu kepada orang yang sedang menelponnya.[Va, kamu nggak ke kampus?] terdengar suara Naya yang bukannya menjawab, malah balik bertanya."Aku sedang nggak enak badan, Nay." [Kamu kenapa? Sakit?]"Masuk angin mungkin, tadi malam ketiduran di balkon."[Jangan ke mana mana, ya. Setelah dari sini aku bakalan ke sana.]"Sungguh! Kalau bener mau ke sini, boleh nggak aku minta tolong kamu? Tolong ambilkan hasil pemeriksaan yang kemarin di rumah sakit."[Ke Dokter Agustien kan, ya?]"Iya ...."[Ok, aku bakalan ambil.]"Makasih ya, terus kalo udah dalam perjalanan ke sini. tolong belikan ice cream coklat ya, please."[Ok, siap!]"Makasih ya ... Nay," jawab Ivana sambil menutup ponselnya, sesaat setelah mendengar Naya menjawab salam dan menutup pembicaraan lebih dulu.Dari kemarin Ivana merasa kondisi badan tidak enak, Namun suhu badan tidak panas, hanya pusing dan lemas aja, dan ditambah selera makan yang turun drastis.Saat hendak menaruh phone ke temp
"Aku berhak bahagia, Nay. Mas Faris pun juga.""Tapi kondisi---""Aku bahagia, masih ada kamu, Umi. Ada Dimas dan Rizal," ujar Ivana di antara gemetar suaranya. Naya mendekati Ivana dan memeluknya, Namun terlihat raut amat sedih Naya, yang merasa bersalah. Perlakuan kakaknya telah membuat sahabatnya menderita."Aku akan menjagamu, Va. Percayalah.""Makasih, Nay. Kamu tetap adikku, mantan adik ipar, jangan songong loo." Ivana tersenyum mencoba keluar dari zona sedih. Tanpa mereka berdua sadari. Dari arah dapur, tampak Mak Ijah dan Pak No dan empat perempuan berseragam, saling bertatapan karena mendengar pembicaraan itu sejak awal, mereka terdiam sedih."Apakah, kau membawa apa yang aku pesan, Nay?" tanya Ivana."Oiya, ini hasil pemeriksaan yang kau minta, tapi hanya fotokopiannya saja, yang asli dipegang dr. Sinta." Naya memberikan map warna kuning ke Ivana untuk ke dua kalinya."Menurut, dokter Sinta. Laporan itu udah lengkap dengan diagnosa gejala awal, sampai beberapa stadium lan
Akhirnya Ivana mengangguk, lalu kembali duduk sambil memperhatikan Naya dan dr. Agustien yang sedang siap siap."Ada berapa korban, Sus?" tanya Dokter sambil menggunakan jas putih kehormatannya."Dua, Dok. Yang parah satu, korban laki-laki. Sedangkan yang satu lagi, perempuan, hanya luka biasa saja," terang perawat."Satu di antara kalian, ayo ikut!" Menunjuk ke arah Dimas dan Rizal."Siap, Dok!" ujar Dimas, berdiri dan segera melangkah keluar dari kamar pemeriksaan."Zal, kalau mau berangkat ke panti lebih dulu, tak apa, malah menurutku itu lebih baik. Aku dan Naya gampanglah, pulangnya bisa nanti," ujar Dimas sebelum benar benar keluar dari kamar."Aku nunggu Naya dan kamu selesai aja di sini, nggak lama kan?" Ivana menjawab pertanyaan Dimas ke Rizal."Ya udah, terserah." Dimas menjawab dan kemudian berbalik arah kembali keluar dari ruangan. Menyusul Naya dan Dokter Sinta."Kamu yakin mau menunggu Naya dan Dimas, nggak mau balik duluan, mending istirahat di Panti?" Rizal bertanya
Langkah Rizal terhenti, saat menoleh ke belakang dan melihat wajah Ivana yang sudah mengembungkan ke dua pipinya, terlihat menggemaskan."Udah, nggak usah di ambil hati. Kayak anak kecil aja," rayu Rizal yang di balas dengan senyum bahagia Umi. Tak pernah di sangka sebelumnya oleh Rizal jika Ivana yang terlihat anggun, ternyata muncul manjanya jika di depan Umi."Ayo ... makan yang banyak. Biar gemuk!" Umi mengambil piring dan meletakkan nasi di atasnya untuk Ivana dan Rizal."Tak usah repot, Mi. Biar Aku aja yang melayani Rizal. Eh ... Umi nggak makan bareng kita?" tanya Ivana yang kemudian mengambil alih piring di tangan perempuan yang sudah dia anggap seperti ibu kandung."Nggak, tadi sebelum kalian datang aku sudah makan kok, bareng sama yang lain," jawab Umi dengan raut wajah yang masih kelihatan cantik di usia senjanya itu, kini tiba-tiba berubah sedih."Umi, maap ... aku hanya tak ingin merepotkan Umi, itu saja kok," sesal Ivana saat menyadari perubahan raut muka Umi.Perempua
Sudah dua hari Dimas setia mendampingi keluarga Naya di rumah sakit, bergantian dengan Mama dan Papa, menjaga Mas Faris.Semua proses penyembuhan yang di sarankan tim dokter sudah di lakukan. Namun, Mas Faris masih belum sadar, dan masih dalam pengawasan ketat tim Dokter. tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kamar rawat mas Faris, sekali pun itu adalah keluarga. "Nay, kamu udah hubungi Ivana, belum? Mama kok nggak pernah ketemu selama kakakmu sakit dan di rawat di sini?" tanya Mama, perempuan yang telah melahirkan Naya dan Faris itu dengan nada sedih."Belum, Ma. Aku lupa." Naya berbohong tentang alasan kenapa tidak menghubungi Ivana, sejujurnya dia hanya tak ingin menambah beban untuk mantan kakak iparnya itu lagi. "Sudah ... tak usah di kabarin si Ivana. Aku tidak tahu harus menjawab apa kalau dia nanti bertanya macam macam tentang yang di alami Faris. Lagian udah jadi mantan istri si Faris kok. Jadi tak perlu lagi merepotkannya." Papa nyeletuk tanpa basa basi, saat mereka
"Aku belum minta maaf atas salahku dulu, Pa. Dan sekarang anak kita jahat pada anaknya. Bagaimana aku bisa bertemu dengannya kelak, Pa?" ratap Mama yang masih menatap langit langit kamar. Pelukan Papa sudah terurai, Namun, tangan Mama masih senantiasa di genggam erat Papa, yang memberikan isyarat agar Naya membiarkan dulu Mama untuk tenang, tanpa perlu mendengar ada pertanyaan."Aku tak menyangka, yang kita cari-cari selama ini, ternyata sudah berada sangat dekaaat ... sekali dengan kita. Namun, tanpa kita sadari, kita telah menyakitinya," ujar Mama yang lembali meraung lagi, dengan mata terpejam seolah tak tahan melihat masalah yang sedang dia hadapi saat ini."Sudahlaaah, Ma. Kita hanya bisa melakukan yang terbaik. Semuanya sudah di gariskan oleh-Nya. Kita hanya bisa mendo'akan, semoga Ana tenang di sisi Tuhan." Tangan Papa membersihkan air mata di pipi Mama dengan tisu yang tersedia di meja kecil sebelah kiri brankar.Dimas yang melihat polemik keluarga Naya, serta merta menggen
"Iya, bayi. Bukankah perempuan yang bersama anak saya dalam kondisi berbadan dua?"Papa menjawab sekaligus bertanya setelah menganggukkan kepalanya cepat, saat Dokter mengulang pertanyaan Papa tadi."Tidak Pak! Perempuan yang bersama anak anda tidak dalam keadaan hamil."Raut wajah Papa seketika terlihat tak biasa, seolah yang baru saja disampaikan Dokter bukanlah informasi yang dia harapkan."Kalau sudah tidak ada yang mau anda tanyakan lagi, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak, kami akan mengupayakan yang terbaik untuk kesehatan anak anda!" Dokter Hendra berucap sambil berdiri dari kursinya, sesaat setelah suasana hening di antara keduanya."Terima kasih, Dokter." Papa pun berucap sambil berdiri dari kursinya. Kemudian mereka saling berjabat tangan."Sama-sama, Pak. Jangan sungkan untuk mendiskusikan tentang kondisi pasien, karena ini sudah tanggung jawab kami," balas Dokter Hendra membalas ucapan Papa, dengan senyum yang hampir tak terlihat. Papa mengangguk, kemu
"Udah siap, Va?" tanya Rizal, yang mendapat tugas dari Naya langsung untuk menjemput sahabat dan Umi di panti."Sudah, Nak Rizal. Apa nggak kelihatan ya kalau kami berdua sudah cantik begini?!" jawab Umi sambil tersenyum menggoda ke arah Ivana yang melebarkan ke dua matanya ke arah Umi."Kelihatan kok, Umi. Jelas sekali malahan," balas Rizal dengan senyum menggoda ke arah Ivana.Kelihatannya Umi sudah mengetahui kalau lelaki yang menjemputnya hari ini, mempunyai perasaan yang berbeda pada anak angkatnya itu.Begitu pun dengan Ivana yang merasa Umi sedang bekerja sama dengan Rizal untuk menggodanya, hanya bisa menarik napas panjang."Silahkan masuk Umi dan Ivana," ujar Rizal dengan tangan kanan membukakan pintu belakang mobil. Umi yang masuk lebih dahulu dengan segera menutup pintu tanpa memberi kesempatan Ivana untuk mengikutinya dari belakang."Umi ...?!" Melongo Ivana melihat apa yang dilakukan Umi Dina.Umi menurunkan kaca mobil dan tersenyum, kemudian berkata, "kau duduk di depa