Share

Bekal Santet Dari Bibiku
Bekal Santet Dari Bibiku
Author: Imelda Sahara

BAB 1

"Argh... Sakit..." Suara pekikan itu mengagetkan aku yang sedang menutup jendela kamar karena hari sudah mulai senja.

"Nisa? Tolooooong!" Aku mencoba mendengar rongrongan itu dengan seksama.

"Itu kan suara Ibu... Ibu kenapa?"

Sontak saja suara rongrongan ibu membuat ku terperanjat. Aku yang berencana akan mengambil wudhu pun dengan cepat berlari menghampiri ibu.

"Ada apa dengan Ibu?" gumamku sembari terus berlari menghampiri Ibu.

Rasa cemas membuatku hilang arah dan tak tau mau berbuat apa lagi.

Dan sesampainya diruang tamu, aku melihat semua tubuh ibu yang sudah tampak kaku, dengan bibir yang begitu pucat, dan tatapannya kepadaku begitu tajam.

"Astagfirullah.... Ibu... Ibu kenapa? Ibu Istigfarlah!" Pinta ku sembari mendekatinya.

Saat aku hendak merangkul tubuh ibu tiba-tiba saja ibu mendorong tubuhku hingga terpental ke atas lantai hingga membuat sikutku sakit.

"Astaghfirullah ibu.. Istighfar," pintaku kembali pada ibu yang sedang mengamuk itu.

Air mataku mulai berderai. Ini kejadian yang aneh. Tidak biasanya ibu begini padaku. Aku masih bersikekeh untuk merangkul ibu tapi lagi dan lagi tubuhku di dorong dengan kasar olehnya.

"Ah... pergi sana. Enyah kau dari hadapanku!" Dengan suara yang begitu lantang Ibu mengusirku.

"Astaga ibu?" mataku seketika membulat kala mendengar ibu mengusir ku.

Suara itu bukan seperti suara Ibu lagi, Ibu biasanya berbicara dengan suara yang lemah lembut namun kini berubah seperti suara seorang laki-laki yang sedang marah.

"Apa yang terjadi padamu ibu? Kenapa kamu tiba-tiba kasar padaku?" aku merasakan kejanggalan pada tubuh ibuku.

Air mataku semakin deras membasahi pipiku. Hati ku teriris mendengar ucapan ibu. Aku tak tau harus berbuat apa lagi. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu. Pikiranku kacau, akhirnya ku teringat pada ayah yang sedang berada di kamar.

"Ayah?" Aku berusaha memanggil ayah dengan sekeras-kerasnya.

Dan untungnya ayah cepat muncul, ayahpun datang membawa sebuah Al-Qur'an di tangan kanannya. Sepertinya ayah baru saja selesai membaca Al-Qur'an di kamar.

Aku berlari menghampiri ayah.

"Ayah... Ibu kenapa berteriak begitu? Bahkan Ibu terus-menerus memukul dirinya sendiri?" tanyaku pada ayah.

Aku heran melihat ibu yang terus menerus memukul kepalanya dengan tangannya.

Ayah yang baru saja tiba di ruang tamu pun kaget melihat ibu. "Ibumu kenapa sa?" tanya ayah.

"Aku juga gak tau yah! Tadi aku dengar Ibu tiba-tiba berteriak histeris. Dan saat aku tiba disini aku sudah melihat Ibu begini!" gumam Nisa dengan raut wajah yang begitu cemas.

Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Ibu. Ayah membacakan ayat suci Alquran di dekat ibu. Mendengar itu, sontak saja ibu semakin memberontak. "Panas! Panas! Panas!" Ibu kepanasan mendengar ayat-ayat yang dibaca oleh ayah.

"Kasihan ibu... Ibu sebenarnya sakit apa yah?" Tangisku pecah dipelukan ayah.

"Ayah juga gak tau nak. Insha Allah, Ibu akan sembuh. Kita berdoa saja, agar ibu lekas sembuh."

"Amin... Yah, Aku sholat dulu ya. Aku ingin meminta kepada Allah agar penyakit yang di derita ibu segera diangkat," ujar ku sembari berlalu meninggalkan Ayah, ibu serta adikku yang berada di samping Ibuku.

Seusai shalat, akupun kembali menemui ayah, ibu dan adikku yang berada di ruang tamu. Kudapati ayahku yang sedang menggendong adikku. Kuarahkan pandanganku ke ibu yang masih duduk bersandar di dinding.

"Apa?" cetus ibu kepadaku tiba-tiba, matanya terbelalak kaarah ku. Entah apa salahku, aku tak tau.

"Hei... itu anakmu. Kenapa kamu memarahi nya?" ujar ayah.

"Dia jahat... dia sudah jahat kepadaku..." Ibu menangis seraya menunjuk-nunjuk ke arahku.

Aku tak kuasa melihat ibu menunjuk-nunjuk ke arahku. Ibu melihatku seperti seorang musuh baginya. Aku mencoba menghampiri ibu. Secara perlahan kurangkul tubuh ibu. Sontak saja, ibu berupaya melepaskan rangkulanku.

"Ibu... Aku sangat menyayangimu," bisikku di tepi kupingnya.

Ibu hanya terdiam. Tak menggubris ucapanku apalagi membalasnya. Kini, tak ada perlawanan yang kurasakan lagi. Tubuh ibu mulai melemah. Kupeluk ibu dengan begitu erat agar tidak jatuh. Kulayangkan ciuman di keningnya. Tubuhnya mulai terasa berat, secara perlahan kubaringkan ibu di atas kasur. Kutatap kembali wajahnya yang pucat seperti tak ada berdarah itu. Air matanya nampak mengalir dari pelupuk matanya. Ku lihat ada kesedihan di mata ibu.

"Ibu harus kuat... aku, Ayah dan Adik sangat menyayangi ibu," ujarku sembari menyeka air matanya.

Ayah masih menggendong adik sembari mendekati aku dan ibu yang tengah berbaring.

"Nak... besok ayah mau bekerja di kampung sebelah. Ayah nitip ibu dan adik ya," ujar ayah sembari membelai rambut ikalku.

"Iya yah. Ayah baik-baik bekerjanya," pesanku. Aku pun merangkul ayah karena aku melihat mata ayah telah berkaca-kaca menatap ke arahku.

"Iya nak," balasnya yang berusaha tersenyum dan seakan-akan tengah berusaha menepis kesedihannya.

Nampak jelas ada kesedihan yang terpancar dari raut wajahnya. Ayah sepertinya tidak tega meninggalkan kami tapi ayah harus tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup kami. Ayahku bernama Harbi Pramono. Dia bekerja sebagai buruh tani. Setiap hari dia harus berangkat ke ladang meski Ibu tengah sakit.

Hari semakin larut. Kulihat Ibu sudah tertidur lelap begitu juga dengan Ayah dan Adikku. Rasa kantukpun mulai terasa. Akupun memutuskan kembali ke kamar untuk tidur.

Di pagi hari.

Pagi sekali kulihat Ibu telah terbangun.

Ayahpun tengah menimang Adikku.

"Ayah belum berangkat ke ladang?" tanyaku.

"Iya. Sebentar lagi Ayah akan berangkat. Maaf Ayah merepotkanmu. Nanti saat kamu pergi sekolah, ada Bibi yang akan menggantikanmu untuk menjaga Ibu dan Adik," ujar Ayah.

"Iya yah. Tidak apa-apa. Sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga Ibu dan Adik," jawabku sembari melayangkan senyuman kepada Ayah.

Aku berusaha memberi support kepada Ayah. Aku bangga mempunyai Ayah yang bertanggung jawab kepada keluarganya.

Ayah pergi dengan membawa sedikit bekal.

Sembari menunggu Bibi, aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Namaku Nisa Al Fariza. Aku duduk di bangku kelas sebelas SMA. Menulis menjadi bagian dari hobiku.

Tok... tok...

Terdengar suara ketukan dari luar. Sepertinya itu Bibi? Aku bergegas melangkah menuju pintu dan membukanya.

"Bibi sudah datang?" Bibi sepertinya sedang memegang sebuah kotak di tangan kanannya.

"Sudah... Kamu berangkatlah sekarang, nanti terlambat," ujarnya kepadaku.

"Baik Bi, aku titip Ibu dan Adik ya Bi," ucapku sembari menyalami Bibi.

Kulangkahkan kakiku perlahan. Bibi pun mulai memasuki rumahku. Langkah kakiku seketika terhenti karena penasaran dengan kotak yang ada di tangan Bibi. Mataku tertuju kepada kotak itu. "Setiap hari dia selalu membawanya ke sini. Sebenarnya apa isi kotak itu," pikirku yang begitu penasaran. Aku mencoba mencari tahunya dengan cara membuntuti Bibi dari belakang. Aku berjalan mengendap-endap agar tidak ketahuan olehnya. Kulihat Bibi tengah membukanya namun belum sempat aku melihat isinya, temanku tiba-tiba datang menghampiriku.

"Hei... Nisa. Kamu ngapain?" Suaranya mengejutkanku dan Bibi pun nampak menoleh.

"Tidak. Aku tidak ngapa-ngapain." Dengan segera kutarik tangan temanku menjauh dari sana agar tidak ketahuan oleh Bibi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status