Share

BAB 2

Setelah berlari cukup jauh dari rumah, aku pun segera melepaskan genggamanku dari tangan temanku, Iren.

Iren merupakan teman sekelasku. Dialah temanku yang mau menerimaku sebagai temannya tanpa melihat kejelekan dan kekuranganku.

Selain Iren, aku tidak mempunyai teman lagi. Karena kata teman-teman sekelasku yang lain, aku itu tidak selevel dengan mereka. Mereka berasal dari keluarga yang berada sedangkan aku hanya anak seorang petani yang tak mempunyai sebongkah harta.

Iren sebenarnya juga termasuk orang yang berada. Ayahnya saja seorang kepala desa di kampungku. Tapi aku salut sama Iren yang mau berteman denganku meskipun berbeda kasta.

Huftttt...

Iren menghela napas panjang. Dia sepertinya kelelahan setelah berlari cukup jauh. Setelah merasa tenang, Iren pun bertanya kepadaku.

"Nis... Btw, tadi kamu kok berjalan mengendap-endap gitu sih? Seperti seorang perampok saja," ujar Iren seraya tertawa.

Ternyata Iren memperhatikan gerak-gerikku saat mengintip Bibi tapi untungnya dia tidak tahu kalau aku sedang mengintip Bibi.

"Iya... Aku mau merampok Ren. Merampok uang ayahku yang sekarung itu lho," balasku sembari tertawa terbahak-bahak.

"Bercandalah... Apa pulalah yang mau dirampok di rumahku ren? Uang gak ada, barang-barang berharga gak ada, emas pun gak ada, hanya jiwa dan raga yang ada pada kami kok Ren," Imbuhku lagi seraya tertawa.

"Terus kenapa kamu berjalan mengendap-endap?" tanya Iren yang masih penasaran.

"Ohhhh... I-itu tadi aku lagi mastiin adikku udah tertidur apa belum? Makanya aku berjalan mengendap-endap supaya gak mengganggu," untungnya aku bisa berkilah.

"Jadi karena itu? Aku kira kenapa? Sampai berlari-lari segala... " ucap Iren.

"Iya Ren, karena itu kok. Jangan berpikir aku mau ngerampok lagi ya," jawabku seraya bercanda.

"Hehe... Gak."

Kami pun tertawa terbahak-bahak sembari terus berjalan menuju sekolah.

Di saat kami sedang asyik bercengkrama tiba-tiba saja Arini diam-diam datang menghampiri kami dari belakang. Sontak saja membuat aku dan Iren terkejut.

"Heh... " ucapnya sembari menepuk pundak kami dengan kedua tangannya.

"Astaga... Arini?" Aku dan Iren berteriak serentak seraya menoleh ke arahnya.

"Heheh... Maaf. Aku gak bermaksud mengagetkan kalian kok," pungkas Arini seraya tertawa kecil.

"Gak pa-pa... Lain kali jangan begitu lagi ya," ucapku.

"I-iya deh..."

Kini, Kami bertiga berjalan beriringan. Sepanjang perjalanan aku tidak menemukan suatu kejanggalan apapun, semua terlihat baik-baik saja. Bahkan kami saling bercerita antara satu dengan yang lainnya. Namun saat akan memasuki kelas tiba-tiba saja kaki Arini menendang kaki sebelah kananku. Entah apa alasannya? Hingga tubuhku terjatuh bahkan wajahku tersungkur ke lantai.

Semua orang menertawakanku. Tanpa kusadari air mataku pun jatuh berderaian.

"Ya ampun... Kalau jalan itu pakai mata bukan pakai dengkul," ucap Arini sembari tertawa terbahak-bahak.

"Mungkin dia belum makan, maklumlah kan orangtuanya hanya bekerja serabutan, darimana dia mendapatkan nasi?" sambung Ola, teman Arini.

"Hehe... " mereka tertawa terbahak-bahak tanpa memiliki rasa iba sedikitpun terhadapku.

Aku tak kuasa mendengar bualan mereka. Tapi percuma jika aku ikut bicara, karena mereka tidak akan mau mendengar apalagi menghiraukanku.

Akhirnya aku mencoba untuk berdiri dan Irenpun yang berdiri di sampingku dengan cekatan menolongku.

"Terima kasih, Ren," ucapku.

"Sama-sama Nis, ayok kita duduk," ajak Irene seraya memberi sehelai tisu kepadaku.

Tak berselang lama, bel masukpun terdengar. Aku mengikuti pelajaran dengan baik. Karena aku ingin sekali menjadi orang pintar dan menjadi kebanggaan orangtuaku, kalau bukan aku siapa lagi?

Walaupun banyak yang menghinaku tapi aku akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan.

Kini, jam pulang sekolahpun telah tiba.

Aku berjalan sendirian melewati panas teriknya matahari. Irene tidak seiring denganku lagi. Ia sudah di jemput oleh Ayahnya menggunakan mobil mewah. Sempat ditawar oleh Iren untuk pulang bersamanya tapi aku menolaknya. Rasanya aku tidak pantas untuk naik mobil seorang pejabat.

Di depan rumah.

Setelah cukup jauh kuberjalan, kini akhirnya aku tiba jua di rumah.

"Assalamualaikum," ucapku sembari mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam..." jawab Bibi dan Ibu serentak.

Kulihat wajah Ibu. Ada kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya melihat kedatanganku.

Aku berjalan mendekati Ibu. Kucium keningnya.

"Ibu..." sapaku.

Ibu pun menyeringai senyum indah di bibirnya.

"Ibu sudah makan?" tanyaku.

"Sudah, tadi Bibi sudah memberikan Ibumu dan Adikmu makan," sambung Bibi yang sedang menimang Adikku.

"Ohh... Terima kasih Bi," ucapku.

Bibi hanya manggut-manggut.

Bibi bersiap-siap ingin pulang. Bibi setiap hari selalu datang berkunjung ke sini. Baik itu untuk melihat keadaan Ibu atau untuk menjaga Ibu ketika aku sedang sekolah.

Bibiku bernama Heri. Dia adalah Adik dari Ibuku. Dia juga sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan yang bernama Arini. Arini merupakan sepupuku. Namun meski begitu, Arini sepertinya tidak menyukaiku. Entah apa alasannya? Entah karena aku miskin, aku tak tahu. Kalau dibilang karena miskin, dia juga tak jauh berbeda denganku cuma dia bergaya bak orang kaya jadi orang mengira dia berasal dari keluarga yang berada. Padahal Ayahnya hanya bekerja sebagai seorang dukun di kampungku tapi dia mengaku-ngaku sebagai anak pengusaha yang kaya raya.

"Nis... Bibi pulang dulu ya, kamu jaga Ibu dan Adikmu ya," ujar Bibi.

Aku memanggut-manggutkan kepalaku.

"Oh iya Nis, nanti kalau Ayahmu sudah pulang, tolong bilang kalau Bibi meminta uang Bibi yang kemarin dipinjam oleh Ayahmu ya," pesan Bibi padaku.

"Baik Bi," jawabku sembari memanggut-manggutkan kepalaku.

Bibi melangkah menuju pintu, sebuah kotak yang masih menjadi tanda tanya di kepalaku masih nampak di jinjing oleh Bibi.

Akupun memberanikan diri untuk bertanya.

"Bi... Apa sih isi kotak itu Bi?" tanyaku tanpa berpikir panjang.

Langkah kaki Bibi seketika terhenti, Perlahan ia menoleh kembali ke arahku.

Belum sempat Bibi menjawabnya tiba-tiba saja Ibu menyahut dari tempat tidurnya.

"Itu isinya nasi buat Ibu nak, tapi sekarang kotaknya sudah kosong karena nasinya sudah habis Ibu makan," cetus Ibu tiba-tiba.

Bibi hanya terdiam sembari menatap sinis ke arahku.

"Oh... Terima kasih Bi, Maaf sudah merepotkan Bibi," ucapku merasa bersalah.

Bibi tidak berkata apa-apa. Dia berlalu pergi menjauh meninggalkan kami.

Hari sudah hampir senja namun ayah tak jua kunjung pulang. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan ayah. Takutnya ayah kenapa-kenapa di ladang atau di jalan.

Aku mulai resah. Aku berjalan menuju jendela. Satu persatu jendela telah ku tutup. Namun saat aku ingin menutup jendela terakhir, aku tidak sengaja melihat seorang laki-laki yang menggunakan hodie berwarna hitam sedang menggali tanah di bawah pohon pisang yang ada di dekat jendela.

Aku sangat penasaran dengan apa yang dilakukan orang tersebut namun aku tak ingin gegabah. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Dan setelah selesai menanam sesuatu ke dalam tanah tersebut, ia pun berlari seperti orang ketakutan.

Setelah melihat kepergian orang tersebut, aku pun menutup jendela dengan cepat. Dengan bergegas kulangkah kaki menuju pintu utama.

"Mau kemana?" terdengar suara ayah dari balik pintu saat aku membuka pintunya, aku dikejutkan oleh ayah yang tiba-tiba muncul.

"Mau ke-ke?" Aku menunjuk ke arah pohon pisang namun ayah melarangku.

"Udah... Hari sudah senja. Nanti kamu kenapa-kenapa. Ayuk kita masuk! Kasihan ibu sendirian." Ayah bergegas mengajakku masuk untuk ke dalam rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status