Setelah berpamitan dengan Sofi, Indah langsung pulang ke rumah. setibanya di rumah, Indah menghampiri Ibunya yang baru saja tiba juga di rumah dan menceritakan kejadian yang terjadi antara dirinya dan Ayahnya. Ana yang mendengar cerita dari Anaknya, terkejut dengan memberikan tatapan tidak percaya.
“Kamu ga apa-apa ‘kan pas ketemu Papa kamu?” tanya Ana sambil memperhatikan apakah anaknya mendapat pukulan baru di bagian tubuhnya,
“Ga, Ma, untungnya. Hampir sih, tapi untungnya ada Naufal jadi Papa ga ngelakuin aneh-aneh,” jawab Indah.
Ana menghela napas lega, “Syukurlah, Mama udah takut kamu di apa-apain lagi sama Papa kamu,”
“Ga, Ma...,” Indah tersenyum kecil ke Ana, “Tenang aja,” lanjutnya.
“Ya sudah, Mama mau ganti baju, terus masak buat makan malam,” ucap Ana.
“Iya,”
Indah pun masuk ke dalam kamar dan membuka baju seragam sekolahnya. Ketika dia
“Lepasin gue!” Naufal berusaha lepas dari rangkulan Bagas. “Jangan merusak momen dong,” ucap Bagas. “Momen maksud lo?! Tuh orang berani amat meluk Indah, di tambah di buat nangis lagi!” “Jangan main nyamperin, kita aja ga tahu menahu mereka lagi ngobrol apaan,” Naufal melepas rangkulan Bagas kesal, menatap Michael dan Indah dari jarak yang memang cukup jauh dan mustahil mendengar obrolan mereka. Sebuah kebetulan bagi Naufal bertemu dengan mereka di sini, karena baik dirinya maupun Bagas tidak pernah membuat rencana untuk mengikuti Indah. Terlebih Bagas yang sama sekali tidak tahu mengenai Michael dan Indah. “Kenapa lo mau-maunya sih ngobrol lagi sama Mike, Indah? Gue ga ngerti sama dia!” Bagas tidak peduli dengan ocehan Naufal sambil memakan es krim yang hampir meleleh, “Ya udah sih, emang ada yang harus di obrolin kali. Ga mungkin lah Michael bersikukuh tanpa ada alasan buat ketemu Indah,” ujarnya yang masih melanjutkan memakan es kri
“Indah, nyontek MTK dong,”Indah mengerjapkan matanya berkali-kali setelah mendengar permintaan Reyaldi yang tak terduga. Dia masih menatap keheranan ke Reynaldi hingga membuat sosok yang di tatap ikut kebingungan dengan Indah.“Lo pura-pura tuli atau gimana sih?”“Ya gimana gue ga heran secara lo tuh ga pernah bolos ngerjain PR,”“Kali-kali malas, ga salah kan,” ucapnya sambil menunggu Indah memberikan buku cacatan miliknya padanya.Indah langsung memberikan buku catatannya dan di terima dengan baik oleh Reynaldi, “Sesekali gue juga mau nyontek dong ke lo,”“Ngapain? Lo udah cukup pintar ngapain capek-capek nyatet jawaban yang salah dari buku orang?”Indah tersenyum, lebih tepatnya tersenyum menyindir, “Ngaca!”Reynaldi mengacuhkan Indah dan langsung kembali ke meja miliknya, lalu langsung mencatat ulang di bukunya. Indah menatap dari kejauhan
Pagi itu, lebih tepatnya di salah satu SMA yang berada di Jakarta, ada seorang gadis yang bersekolah disana. Dia bukan gadis populer maupun siswi yang mendapat beasiswa untuk masuk ke sekolah tersebut. Dia hanya gadis biasa namun memiliki suatu hal yang dapat membuat seseorang tertarik padanya. Mungkin saja karena dia memiliki mata hitam tajam, tubuh tinggi-langsing, rambut coklat panjang, dan memiliki sabuk hitam. Tak lupa wajah cantiknya yang dapat memikat para siswa yang ada di sekolah itu dan senyuman yang dia miliki, sebuah senyuman yang manis.Dan sekarang, dia sedang berjalan di koridor menuju kelasnya, XII-MIA. Seperti biasa dia mendapat sapaan ceria dari teman-teman kelasnya. Dia hanya membalas sapaan mereka dengan senyuman. Dia berjalan menuju mejanya lalu menyimpan tasnya di atas meja. Setelah dia duduk, seseorang merangkulnya sambil tersenyum jahil. Gadis itu hanya menatap dia dengan ekspresi malas."Ada apa Sofi?" tanya gadis itu ke sahabatnya, Sofi.
"Dasar wanita jalang! Berani sekali kamu membangkang ke suami kamu!""Wajar saja aku membangkang karena kamu sebagai suami tidak ada gunanya! Kerjaan cuman tidur aja dirumah, ga ada keinginan cari kerja apa?! Yang ada istri yang nafkahi suaminya! Sungguh keterlaluan!""Berani kamu ya!"Suara tamparan itu begitu keras dan membuat sang ibu terkejut. Dia memegang pipi kirinya yang berubah menjadi merah dan terasa panas."Kamu kurang ajar mas! Kamu nampar aku!""Kamu sendiri mancing-mancing emosi suami!""CUKUP! Aku minta cerai!""Bagus! Itu lebih baik!"Dia tak dapat bergerak sedikit pun selain menatap kedua orang tuanya yang saling melontarkan argumen dan dia semakin terkejut ketika ayahnya menampar ibunya. Gadis kecil itu menutup mulutnya karena takut mengeluarkan suara dan hal yang membuat dirinya ketakutan adalah ketika langkah kaki ayahnya mendekat ke
Setelah rekan kerjanya keluar dari ruangan yang pintunya di gantungi oleh sebuah tulisan ‘Manajer’, Indah memasuki ruangan itu sambil berkata, “Permisi.“ dan ketika masuk, dia mencium aroma khas yang berasal dari pengharum ruangan tersebut. Bunga melati adalah aroma yang di sukai oleh manajernya bernama Deni. Indah mendapat senyuman datar yang khas dari pria berumur 40 tahun itu.“Selamat malam, Pak.”“Malam Indah. Maaf ya, karena sekretaris saya tidak masuk jadi kamu dan yang lain harus mengambil gajinya ke saya dan harus masuk ke ruangan saya satu persatu.”“Ga apa-apa, pak. Saya mengerti.”Deni menganggukkan kepalanya dan mengeluarkan amplop dari laci meja kerjanya dan di sisi kanannya bertuliskan nama Indah. Dia menyimpan amplop di atas meja dan mendorongnya dengan jari telunjuk kanannya.“Ini gaji kamu bulan ini.”Indah menggangukkan kepalanya dan menerima amplop te
Reynaldi terdiam setelah Indah menjelaskan mengenai dia akan menjadi tutor pribadi untuknya. Indah yang melihat Reynaldi membeku langsung menjentikkan jarinya. Suara jentikan jari Indah cukup keras mengingat kondisi kelas yang sepi dan hanya mereka berdua yang masih betah di dalam sana.“Bangun, Rey,”Reynaldi mengedipkan matanya berkali-kali dan mengusap kepalanya, “Eh, maaf,”“Lo tuh kenapa? Kaget karena gue bakal jadi tutor lo atau karena lo lagi ngelamun?“Gue denger yang lo bilang dan cukup kaget juga,”Indah mengangkat alisnya bingung sambil memegang botol minuman miliknya, “Alasan lo kaget?”“Lo jadi tutor gue,”“Oh, oke,” Indah membuka botol minumnya lalu meneguk air minumnya. Dia masih tidak mengerti maksud dari ucapan Reynaldi. Reynaldi menggaruk kepalanya karena dia bingung kenapa dia memberi jawaban alasan dia kaget. Dia berusaha untuk mencairkan
Esok pagi, ketika Sofi menyadari bahwa Indah belum masuk sekolah, dia berpikir bahwa sesuatu terjadi padanya. Ketika dia mengirimkan pesan pada Indah menanyakan apa dia akan masuk atau tidak, gadis itu tidak membalasnya. Sofi berpikir mungkin dia akan menunggu hingga bel masuk berbunyi. Namun, ketika bel masuk berbunyi, Indah tidak muncul dan orang yang terakhir masuk ke dalam kelas hanya Reynaldi. Sofi mulai gelisah karena Indah sama sekali tidak ada kabar. Sofi mengambil ponselnya lalu mengirim pesan lagi ke Indah. Ketika dia mengirim pesan ke Indah, seorang guru masuk ke dalam kelas dan mereka memulai pelajaran pertama.Ketika jam pelajaran pertama selesai, Sofi memeriksa ponsel nya untuk memeriksa apa Indah sudah membalas pesannya atau tidak. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Gadis itu keluar kelas dan berdiri di sebelah pintu masuk kelas bermaksud untuk menelpon Indah. Dia mendekatkan ponselnya ke arah telinga kanannya dan dia mendengar suara dari ponsel tersebut.
Setelah dia selesai mengurusi barang-barang di kamarnya, Indah duduk di pinggiran kasur sambil menatap kamar barunya. Matanya sedang mengenali kondisi kamarnya mulai dari ukuran kamar yang tidak sama dengan ukuran kamarnya dulu, letak dimana dia menyimpan barang-barangnya di kamar seperti lemari, meja belajar, dan warna cat kamar yang berwarna kuning. Tak lupa posisi jendela kamar yang menghadap timur memperlihatkan kondisi langit yang perlahan berubah menjadi jingga hingga letak pintu kamar yang berada di sebelah kiri pojok kamarnya. Dia mengehela napas sambil bangun dari duduknya. Indah perlahan sambil berjalan menuju jendela kamarnya lalu berdiam di sana menatap kondisi di luar rumahnya. Dia melihat kondisi rumahnya yang cukup tenang di sore itu. Bagi Indah hal ini tidak familiar baginya mengingat bahwa lingkungan sekitar di rumahnya dulu para tetangga akan berdiam di luar dan menikmati udara di sore hari. Biasanya Indah selalu melihat tetangganya, Bapak Didi di depan rum