Share

4. Suatu Hari

Reynaldi terdiam setelah Indah menjelaskan mengenai dia akan menjadi tutor pribadi untuknya. Indah yang melihat Reynaldi membeku langsung menjentikkan jarinya. Suara jentikan jari Indah cukup keras mengingat kondisi kelas yang sepi dan hanya mereka berdua yang masih betah di dalam sana.

“Bangun, Rey,”

Reynaldi mengedipkan matanya berkali-kali dan mengusap kepalanya, “Eh, maaf,”

“Lo tuh kenapa? Kaget karena gue bakal jadi tutor lo atau karena lo lagi ngelamun?

“Gue denger yang lo bilang dan cukup kaget juga,”

Indah mengangkat alisnya bingung sambil memegang botol minuman miliknya, “Alasan lo kaget?”

“Lo jadi tutor gue,”

“Oh, oke,” Indah membuka botol minumnya lalu meneguk air minumnya. Dia masih tidak mengerti maksud dari ucapan Reynaldi. Reynaldi menggaruk kepalanya karena dia bingung kenapa dia memberi jawaban alasan dia kaget. Dia berusaha untuk mencairkan suasana canggung di hadapan Indah.

“Kalau gitu, kapan kita mulai belajar bareng?” tanya Reynaldi.

Indah berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Reynaldi. Dia melihat ke ponselnya untuk melihat hari apa dia bisa meluangkan waktu untuk menjadi tutor Reynaldi.

“Gue jadwal kosong di hari Rabu, soalnya di hari lain gue ada kerja sambilan. Hari Minggu sih bisa, cuman hari itu jadwal bersih-bersih di rumah gue sama nyokap,”

“Jadi hari Rabu lo free abis pulang sekolah. Hari Minggu tergantung situasi di rumah lo, gitu?”

“Iya, Rey,”

“Oke deh,”

Indah menggangukkan kepalanya, “Berarti kita mulai minggu depan, oke?”

“Siap, bu,” Reynaldi tersenyum datar dan Indah membalas senyumnya juga.

Bel masuk sekolah pun berbunyi, menandakan untuk masuk dan memulai pelajaran selanjutnya. Indah bergegas kembali ke bangkunya dan tak lama dia duduk, sudah ada beberapa teman sekelasnya masuk ke dalam kelas.

Reynaldi memperhatikan teman kelasnya lalu beralih pandangan ke Indah. Dia memperhatikan gadis itu dengan tatapan datar, tidak menyiratkan suatu hal yang di sembunyikan. Dia menggangguk kepalanya dan kembali melihat ke pintu masuk kelas dan mendapati seorang guru sudah masuk ke dalam kelas mereka.

****

“Akhirnya sampai rumah,” gumam Indah sambil berjalan menuju pintu rumahnya. Ketika dia akan membuka pintu, dia melihat sepasang sepatu seorang pria yang sangat dia kenal. Dia menghela napas sambil memijat keningnya meskipun dia tidak merasa sakit kepala.

‘Sial, ngapain dia ke sini?’

Dengan menahan amarah, dia membuka pintu rumahnya perlahan. Dia masuk dan melepas sepatu sekolahnya lalu dia simpan di atas rak sepatu. Setelah itu, dia berjalan menuju ruang tamu dan melihat sesosok pria yang sedang duduk di sofa sambil menonton TV, tak lupa dengan rokok di tangan kirinya.

“Maaf, dilarang merokok disini, Pak Angga,” kata Indah sambil menatap kesal ke ayahnya. Angga yang sebelumnya sedang menatap layar TV langsung berubah tatapan ke Indah. Angga berdecak pelan.

“Bener-bener ga punya etika kamu ya, Indah,” Angga menghisap rokoknya lalu dia hembuskan asap rokok itu dengan perlahan.

"Kenapa bisa masuk?"

“Bukan urusan kamu,”

“Mana mama?”

“Mana papa tahu. Kok nanya papa?”

Indah mulai khawatir karena setahunya baik dia maupun Ana tidak mungkin memberikan kunci rumah pada Angga.

“Dapat dari siapa kunci rumah ini?”

“Kamu bodoh atau tolol? Papa ‘kan punya kunci gandanya!”

Indah menelan ludah mengartikan dia mulai takut karena Angga meninggikan nada suaranya. ‘Sial, gue lupa.’

Angga berdecak sambil mematikan rokoknya di dalam asbak. Dia bangun dari duduknya lalu menghampiri Indah, “Dimana mama kamu nyimpen duit?”

Indah tersenyum miring ketika ayahnya mempertanyakan itu. Dia mengangkat bahunya acuh. Angga menahan amarahnya lalu kembali bertanya.

“Dimana mama kamu nyimpen duit?”

“Bukan urusan Anda,”

Indah menjerit ketika Angga menjambak rambutnya. Angga tidak melepas jambakan rambut dari Indah dan tidak mempedulikan kalau Indah merasa kesakitan karena atas perbuatannya.

"Hei, anak bodoh! Papa cuman minta duit sejuta aja susah amat. Udah ga sopan main matiin telepon, sekarang di tanyain dimana nyimpen duit masih aja nyusahin!” Angga melepas jambakan rambutnya lalu menampar Indah dengan keras. Indah terkejut dan merasakan pipinya memanas. Dia menatap Angga dengan tatapan hina.

“Sungguh ayah tidak berguna. Kerjaannya minta uang terus, ngutang dimana-mana. Ga tahu malu ya Anda? Haha,”

Angga menampar Indah untuk kedua kalinya dan kembali menjambak rambut Indah, “Dimana kalian simpen uangnya?!” Lagi, Angga mempertanyakan hal yang sama.

Indah hanya tersenyum miring tidak menjawab pertanyaan Angga. Angga sudah tidak sanggup menahan amarahnya dan bersiap menonjok wajah Indah. Namun, ketika dia akan melakukan kekerasan pada anaknya sendiri, Ana yang baru saja tiba langsung memukulnya dengan payung.

"MAS ANGGA, BERHENTI!” cegah Ana sambil memukul Angga berkali-kali hingga Angga melepas Indah. Ana menutup tubuh Indah dengan badannya.

"DASAR IBLIS! INGAT INDAH ITU ANAK KAMU! MAU SAMPAI KAPAN KAMU NYIKSA ANAK KAMU SENDIRI?”

Angga menatap mereka berdua dengan tatapan marah, “Anak sama Ibu sama-sama tololnya, ya,” Angga mengambil sebatang rokok dari dalam saku lalu menyalakannya. Dia hisap rokok itu lalu dia hembuskan asapnya di hadapan wajah Ana.

“Kalau kalian kasih uang dari awal, mungkin ga akan terjadi seperti ini, ngerti? Bisa ngotak ga?” Angga menyundul kening Ana dengan kasar. Ana berusaha untuk tidak menangis dan berusaha untuk mengusir Angga.

“Pergi sebelum aku nelepon polisi,” Ana merogoh saku celananya bermaksud untuk mengambil ponselnya. Angga mendengus sebal.

“Silahkan, Nyonya. Saya tidak peduli,” Angga melihat tas Ana yang tergeletak di lantai dan dia melihat dompet merah di dalam tas itu. Dia mengambil dompet merah itu lalu melihat isi dompet tersebut.

Setelah dia melihat terdapat uang didalamnya dia langsung mengambil semuanya dan melempar dompet Ana kembali ke lantai.  Ana tidak berani mencegah Angga ketika mengambil uang tersebut begitu pula dengan Indah meskipun dia ingin merebut uang itu.

Angga menatap Ana dan Indah, "Papa pinjam ya, nanti dibalikin kok,” kata Angga dengan santai seolah-olah dia tidak melakukan suatu hal yang salah.

Indah menahan amarahnya ketika Angga berjalan pergi keluar dari rumahnya tanpa dosa begitu pula dengan Ana. Ketika Angga pergi dari rumah mereka, Ana duduk lemas di lantai dan akhirnya dia menangis. Indah hanya terdiam melihat ibunya yang menangis. Tubuhnya tidak bergerak untuk memeluk ibunya yang sedang menangis. Dia masih merasakan sakit di bagian kepala dan pipinya.

Sampai kapan kita akan seperti ini?

Ana melihat Indah yang tidak bergeming sedikit pun. Bahkan menangis pun tidak. Dengan segera dia bangun dari duduknya dan menatap Indah. Ana mengusap wajah anaknya dengan perlahan lalu memeluk anaknya.

“Maafin mama ya. Ini semua salah mama, bukan salah kamu,”

Indah menggelengkan kepalanya, “Bukan salah mama kok, ga usah nyalahin diri sendiri,”

“Tapi, gara-gara mama kamu jadi—“

“Udah ma, udah. Indah udah biasa kok,”

Ana menghela napas sambal mengajak Indah duduk di sofa. Keduanya pun duduk di atas sofa. Ana memeluk Indah sambil mengelus kepala anaknya bermaksud menenangkan Indah. Indah berusaha untuk tidak menangis di hadapan ibunya karena dia tidak ingin melihat ibunya khawatir lagi karena dirinya.

“Kenapa papa masih pegang kunci rumah ini, ma? Bukannya udah di ambil ya sama mama?”

“Udah, tapi kayaknya sebelum papa kasih ke mama dia udah gandain lagi kuncinya,”

Indah hanya menggaguk pelan, mengartikan dia menerima pendapat Ibunya, “Ya sudahlah, untungnya 2 hari lagi kita bakal pindah rumah. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati lagi ma,”

Ana menghela napas panjang. Dia melepas pelukannya lalu menatap Indah dengan serius, “Kamu benar. Jangan sampai papa kamu tahu rumah baru kita nanti,”

Indah menggangukkan kepalanya lalu bangun dari duduknya, “Ya udah, aku mau ke kamar dulu,” pamitnya lalu meninggalkan ibunya di ruang tamu.

Ketika Indah masuk ke dalam kamarnya, dia bersandar di pintu sambil menatap lantai kamarnya dengan tatapan sendu. Perlahan dia merasakan pandangannya mulai buram menandakan air mata jatuh dari kelopak matanya. Indah mengusap air matanya perlahan.

Bodoh,’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status