Share

7. Sebuah Kisah

Indah mengacungkan jari tengah ke Reynaldi membuat dirinya bingung. Reynaldi mengangkat alisnya sambil memegang pensil di tangan kanannya. Indah menutup buku Reynaldi sambil menyimpannya di atas meja.

“Bisa lo jelasin kenapa lo memberikan eskpresi itu ke gue?” tanya Reynaldi dan melihat Indah tersenyum mengerikan.

“Ternyata bener ya, realita selalu mengalahkan ekspektasi. Ya, jujur aja sih gue ga nyangka aja ternyata lo pinter,” kata Indah sambil menunjuk buku tulis milik Reynaldi.

“Ga juga sih, gue bodoh di pelajaran Matematika. Rumusnya sangat sulit seperti rumus kehidupan,”

Indah sedikit tertawa mendengar ungkapan Reynaldi, “Tapi lo pintar dari bahasa dan sejarah. Curiga gue lo bakal jadi orang sastra pas lulus sekolah,”

“Mungkin,”

Indah berhenti sejenak ketika melihat Reynaldi yang merespon ucapannya dengan acuh. Entah kenapa Indah ingin mempertanyakan hal yang sudah lama dia ingin dia ucapkan ke Reynaldi.

“Kalau boleh tahu, lo kenapa pindah ke sekolah gue?”

“Gue muak sama sekolah yang dulu,”

“Karena?”

“Ya, males aja. Lingkungannya, pertemanannya, meskipun mereka memiliki guru yang memiliki gelar terbaik pun, tetap saja mereka ga bisa bikin gue nyaman, sih,” kata Reynaldi sambil mengangkat bahunya acuh.

“Oh. Gue harap lo ga keluar mengingat kita kelas 3 jadi mustahil lo bakal keluar lagi,”

“Ga kok. Gue bakal tamatin sekolah. Ga usah khawatir,”

“Bagus deh. Jadi, keknya gue ajarin matematika aja ya? Lo sendiri ‘kan yang bilang lo bodoh di matematika,”

“Boleh,” kata Reynaldi sambil tersenyum miring. Dia melihat sekitar rumah Indah yang sederhana. Hal yang membuat dia bingung adalah dia tidak menemukan foto keluarga terpajang di ruang tamu maupun foto kedua orang tua Indah. Reynaldi sedikit terganggu akan hal itu dan berpikir apakah lebih baik dia bertanya atau tidak.

“Kenapa,  Rey?” pertanyaan Indah membuat Reynaldi sedikit terkejut. Dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Ga, gapapa,”

“Kenapa? Lo kek bingung ngeliat kondisi rumah gue,”

“Orang tua lo dua-duanya kerja?” Reynaldi secara spontan bertanya. Indah ber-‘oh’ ria sebelum menjawab pertanyaan Reynaldi.

“Lo bingung karena disini sepi kek ga ada tanda-tanda kehidupan, gitu?”

“Ya, ga juga sih. Cuman yang gue bikin gue bingung.. em...,” Reynaldi berdeham lalu mengambil gelas berisikan air minum dan meminumnya.

“Ga ada foto keluarga, gitu?” tanya Indah yang membuat Reynaldi hampir tersedak karena minumannya sendiri.

“Lebay lo. Gue dari tadi juga liat mata lo tuh lagi mencari sesuatu di dinding rumah. Padahal cuman asal nanya tapi reaksi lo membuktikan bahwa lo mau nanya itu ke gue,”

“Habis gue bingung juga mau nanya itu ke lo. Takutnya lo ga enak aja ditanya kek gitu.”

Indah tersenyum kecil mendengar perkataan Reynaldi, “Intinya, orang tua gue udah cerai. Nyokap gue bakar semua foto pernikahannya dulu dan dari sebelum cerai, kita ga pernah foto keluarga untungnya,”

“Oh, maaf,” kata Reynaldi dan mulai bersalah.

Ck, apaan sih? Minta maaf segala. Santuy sama gue mah. Lo gausah merasa bersalah karena udah nanya kayak gitu. Wajar aja kalau lo penasaran,”

“Iya deh,”

Indah menutup bukunya dan bangun dari duduknya. Dia memberikan isyarat ke Reynaldi untuk mengikutinya. Reynaldi ikut bangun dan mengikuti Indah. Dia terus mengikuti Indah hingga ke lantai 2 dan berjalan menuju balkon. Setelah keduanya di balkon, Indah menutup pintu masuk ke dalam lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya tidak lupa dengan pemantik apinya. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari dalam bungkus itu lalu menyodorkan bungkus rokok itu ke Reynaldi.

“Gue kira lo ga ngerokok,” kata Reynaldi sambil menerima bungkusan rokok itu. Dia mengambil sebatang rokok lalu dikembalikan ke Indah.

Dia menunggu Indah menyalakan rokok miliknya setelah itu Reynaldi meminjam pemantik Indah. Keduanya menghisap rokok tersebut hingga terasa panas di tenggorokkan mereka lalu di keluarkan kembali. Keduanya saling bertatapan dan saling melempar senyum tipis.

Keduanya melihat langit sore yang tak lama lagi akan berubah menjadi gelap. Indah menghisap rokoknya sambil melihat sekitar komplek yang sangat sepi itu. Reynaldi menghisap rokoknya lalu mengeluarkannya kembali. Dia melihat Indah  yang sedang melakukan hal yang sama seperti dirinya. Indah yang merasa diperhatikan melihat balik Reynaldi dengan tatapan bertanya. Reynaldi menggelengkan kepalanya.

“Sesuai dengan yang lo bilang, ekspektasi mengalahkan realita. Gue kira lo bukan cewek perokok,” kata Reynaldi.

“Hoo.., Jadi lo kira gue cewek baik-baik, gitu?” tanya Indah.

“Ga juga sih,”

“Terus?”

“Ya—gimana ya susah juga jelasinnya. Lagian juga belum kenal sama lo lama, jadi bingung juga mau nilai lo cewek baik atau bukan,”

Indah tersenyum kecil sambil menghisap rokoknya. Dia mengeluarkan asap itu perlahan, “Lo, baik-baik aja ‘kan?”

“Ha?”

“Gue agak bingung juga sih mau nanya gini, cuman gue juga penasaran. Lo itu keliatan sebenarnya orang yang rajin dan pintar, tapi lo bertingkah seolah-olah lo pemalas dan bodoh. Tidak lupa ketika awal-awal masuk sekolah lo mabal terus. Dan gue aneh juga sih kenapa Pa Taufik nyuruh buat bantu belajar lo pertamanya karena ga masuk akal. Ngapain juga, gitu,”

“Ya kalau lo gamau, kenapa ga di tolak dari awal?”

“Karena gue penasaran sama lo, makanya gue terima,” kata Indah sambil melihat Reynaldi yang sedang menatapnya juga.

“Dan lagi gue nyadar kalau setiap di sekolah, lo merhatiin gue. Seperti ingin mengetahui sesuatu namun karena kita ga deket, jadi lo ga berani nanya,” kata Indah membuat Reynaldi membuka matanya lebar-lebar.

“Ternyata, lo orangnya peka juga. Cih, gue merasa malu,” Reynaldi menyimpan rokok miliknya di atas asbak yang disimpan di atas meja kecil yang berhadapan dengannya dan Indah. Dia pun akhirnya memilih untuk duduk di kursi.

“Intinya, meskipun keluarga gue lengkap, bukan berarti gue sedang menikmati masa keluarga bahagia. Mungkin ketika gue, kakak gue dan adik gue masih bocah yang ga ngerti apa-apa menganggap semuanya baik-baik aja. Semakin dewasa, kita bertiga saling menyadari bahwa keluarga kita tidak baik-baik saja,” kata Reynaldi menatap langit sambil memutar kembali memori di dalam otaknya. Matanya seperti sedang memperlihatkan kisahnya bagi Indah secara tidak langsung.

“Nyokap gue selama ini selalu mencari anak muda, ya gatel sama brondong lah intinya. Mau bilang kesalahan nyokap gue juga ga bisa juga, karena bokap gue yang gila kerja. Terlebih beliau adalah pemimpin perusahaan jadi kadang kalanya waktu bersama keluarga agak sulit. Jadi, ga heran sih nyokap gue kayak gitu. Cuman, ya permasalahannya sekarang mereka berdua tuh punya tiga anak, loh. Kenapa mereka lebih mementingkan kepuasan diri dibandingkan melihat ketiga anaknya yang menderita karena melihat kelakuan orangtuanya yang seperti itu?” Reynaldi tertawa kecil sambil mengambil rokoknya.

“Kakak gue, Raihan pergi keluar negeri buat lanjutin studi kuliah disana. Adik gue, Rendi menghabiskan waktunya di dunia malam. Gue, sebagai anak tengah cuman bisa berpikir cara untuk bertahan diri di keluarga besar Saputro,” Reynaldi menghisap rokoknya kembali sebelum melanjutkan bercerita.

“1 tahun lalu, lebih tepatnya waktu gue masih kelas 2 SMA, bokap gue mengalami kecelakaan mobil berat. Dia masih koma hingga sekarang dan gue pikir mungkin Tuhan menyuruh beliau untuk beristirahat. Selama bokap gue koma, nyokap gue semakin menjadi dan terus melakukan hal itu, dengan tidak peduli bagaimana keadaan anak-anaknya,” Reynaldi menatap Indah dengan tatapan datar.

“Jadi, sekarang lo tahu ‘kan keadaan gue sekarang?”

Indah menganggukkan kepalanya pertanda dia mengerti. Dia sedikit terkejut karena tidak menyangka bahwa Reynaldi akan menceritakan kisah keluarganya padanya begitu santai. Mengingat bahwa dia belum terlalu dekat dengan Reynaldi membuat dia sedikit canggung.

“Wow. Gue ga nyangka pertanyaan gue jadi merembet kemana-mana,”

“Lo juga terang-terangan ke gue tadi mengenai keluarga lo. Lo sendiri juga bilang kalau gue harus bersikap santuy ke lo,”

“Iya, sih,” Indah tertawa kecil mendengar ucapan Reynaldi, “Tapi, gue ga se-detail lo ketika gue cerita,”

“Ga masalah, kok. Gue ga akan minta lo ceritain kisah hidup lo secara detail. Simpen aja cerita terdalam lo,”

Indah menatap Reynaldi dengan tatapan terheran-heran. Dia menggelengkan kepalanya sambil duduk berhadapan dengan Reynaldi, “Berhati-hatilah dalam menceritakan kisah lo. Ga semua orang bisa menerima kisah lo begitu saja,”

“Dan gue percaya ke lo sebagai teman curhat,”

“Meskipun kita baru kenal? Lo ga canggung emang?”

Reynaldi menggelengkan kepala, “Baik gue dan lo memiliki kisah yang berbeda dan rasa sakit yang berbeda. Dan gue juga yakin lo ga bakal cerita ini kesiapapun. Lo tipe orang yang ahli menutup rahasia sekaligus orang yang malas menceritakan suatu hal,”

“Cih! Dasar orang pintar. Bisa nebak kepribadian lagi,” Indah terkekeh sambil menyimpan rokoknya di atas asbak. Dia menopang dagu di atas meja itu.

“Memang benar, setiap orang memiliki urusan sendiri dan kisah yang berbeda baik maupun buruk. Merasakan emosi yang berbeda-beda tergantung dari kondisi yang terjadi. Lo dan gue memiliki kisah buruk dan rasa sakit dengan level berbeda. Dan gue yakin kita dipertemukan bukan sekedar kebetulan,” kata Indah.

“Tentu saja. Kita tidak akan mungkin bertemu jika tidak ada sebuah alasan.” kata Reynaldi menyetujui perkataan Indah.

Keduanya saling bertatapan dengan penuh tanya. Di dalam benak mereka begitu banyak prasangka dan pertanyaan. Ingin sekali mereka melanjutkan pembicaraan mereka yang terdengar seperti antara teman yang sudah cukup lama kenal. Namun, mereka menyimpan semuanya dan akan menanyakannya di saat yang tepat.

****

Waktu menunjukkan jam 7 malam. Reynaldi baru saja tiba di rumahnya. Seharusnya, dia sudah pulang setelah mereka mengobrol. Namun, Ana pulang ke rumah dan dia mengajak Reynaldi untuk makan malam bersama. Entah mengapa, Reynaldi merasa sedih ketika dia sedang makan malam bersama Indah dan Ana.

‘Mungkin karena udah lama jarang makan malam bersama lagi. Cih!’

Reynaldi masuk ke dalam rumahnya dan ketika dia masuk, sayup-sayup dia mendengar dua orang sedang berbicara. Dia mendekati sumber suara hingga melihat ibunya yang sedang bermanja-manja dengan seorang pria yang Reynaldi tidak kenal. Reynaldi menggertakan gigi dan berjalan sambil berteriak dengan keras.

“KALAU MAU BERBUAT MESUM MENDING PERGI KE LOVE HOTEL AJA SEKALIAN GA USAH DI RUMAH INI!”

Ibu Reynaldi, Anisa tersentak begitu pula dengan pria tersebut. Anisa merasakan jantungnya hampir keluar dari tubuhnya. Dia melihat wajah Reynaldi memerah. Anisa dengan gugup merespon Reynaldi.

“Eh, Aldi. Udah pulang anak mama,”

“Berisik.” Reynaldi menatap tajam pria tersebut. 

“Kalau ‘burung’ lo mau selamat, keluar dari sini,”

“Aldi, ga boleh gitu. Ini tamu—“

“Mama juga keluar dari sini. Sana nginep di hotel. Bareng tuh sama dia sekalian juga ga masalah. Besoknya, barang-barang mama di luar semua,”

“Ga sopan kamu ke mama! Mama yang udah ngelahirin kamu, ngasih makan, ngurusin popok kamu, dan ngajarin kamu jalan sampai bisa jalan sendiri! Dosa kamu!”

“Keluar,” Reynaldi memegang kepalanya yang terasa berat.

“Aldi—“

“KELUAR!” Reynaldi menghancurkan sebuah pot bunga membuat Anisa dan pria itu terbangun dari duduknya.

“BAIK! MAMA KELUAR! MAMA GA AKAN BALIK LAGI KE SINI! BESOK MAMA BAWA BARANG-BARANG MAMA TERUS PERGI DARI SINI! AYO, PERGI!”

Anisa dan pria itu pun keluar dari rumah. Ketika mereka keluar, Reynaldi berteriak meluapkan emosinya hingga menghasilkan gema. Sesaat Reynaldi teriak, seseorang menghampirinya dan berusaha untuk menenangkan Reynaldi.

“Aduh, De Aldi. Udah, udah. Ini salah Bi Iyem juga malah di buka pintunya," kata Bi Iyem.

Reynaldi melihat ke Bi Iyem sambil menggelengkan kepalanya, “Udahlah bi. Udah kejadian ini. Lagipula, mama bisa tetep masuk meskipun Bi Iyem ga buka pintu,"

“Aduh, maaf ya. Aduh, yang sabar ya. Bibi ga bisa bantu De Aldi,  maaf ya,”

“Udah, bi. Gapapa. Sekarang Aldi mau langsung istirahat ya. Jangan lupa kunci pintu rapat-rapat,”

Setelah berpamitan dengan Bi Iyem, Reynaldi pergi ke kamarnya. Setelah melepaskan seragam sekolahnya dia langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Dia menenggelamkan wajahnya ke bantal dan di balik bantal itu, Reynaldi menitikkan air mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status