Share

Bayi Untuk Suamiku
Bayi Untuk Suamiku
Author: Lahbu Juni

1 - Pil KB Siapa Ini?

"Ini pil apa, Lan? Siapa yang minum ini? Kamu?" Daffa bertanya pada istrinya dengan urat wajah yang menegang dan wajah merah padam.

Bulan yang tertangkap basah mengkonsumsi pil KB tanpa sepengetahuan suaminya jadi salah tingkah. Ia pura-pura sibuk melipat pakaian. Pura-pura tidak mendengar pertanyaan suaminya. 

"Aku ngomong sama kamu, Lan, bukan sama tembok!"

"Itu vitamin, Daf. Akhir-akhir ini kesehatanku terganggu, jadinya ya aku konsumsi vitamin," jawab Bulan tanpa berani menatap wajah suaminya.

"Aku ini apoteker lho, apa kamu lupa?! Apa kamu kira aku nggak tau kalau ini pil KB?!" tanyanya dengan suara yang mulai meninggi.

"Ak ...."

"Apa?! Kamu mau alasan apa?!" Tanpa sadar, Daffa bicara dengan nada tinggi. "Shit!" Ia melempar lampu belajar ke lantai.

Bulan terperanjat karena tidak menyangka suaminya akan berbuat kasar seperti ini. Ia pikir, Daffa adalah pria tenang yang tidak mudah tersulut emosi. 

Perempuan tiga puluh dua tahun itu meraup pakaian yang belum selesai ia lipat, lalu menaruhnya asal ke keranjang pakaian. Ia hendak kabur keluar kamar. Tapi sebelum itu terjadi, Daffa sudah menarik tangannya dengan kasar.

"Mau ke mana kamu?! Jangan kabur! Jelaskan dulu ke aku apa maksud dari semua ini? Apa kamu menganggap pernikahan ini cuma mainan, Bulan?!" bentak Daffa dengan penuh emosi.

Daffa memang memiliki kesulitan dalam mengendalikan emosi. Selama ini, ia dan Bulan hanya berteman biasa, bukan teman dekat apalagi sahabat, sehingga mereka belum pernah terlibat konflik seperti sekarang ini. Selama ini hubungan mereka damai, tanpa konflik sama sekali. Sehingga selama mereka dekat, Daffa belum pernah menunjukkan sisi dirinya yang sesungguhnya. Ya, watak asli seseorang baru akan terlihat setelah ia mengalami masalah, bukan?

"Jawab, Bulan! Jangan cuma nangis!" Daffa menyentak tangan mungil Bulan yang ada di genggamannya. "Kasih aku penjelasan yang paling masuk akal! Apa maksud kamu minum pil KB?! Apa, Bulan?! Apa?!"

Bulan yang semakin ketakutan, hanya bisa menunduk dalam-dalam. Tangannya dipegang erat oleh Daffa, sehingga ia tidak bisa kabur.

"Apa kamu lupa kalau aku selalu ngomong pengin segera punya anak?! Apa kamu lupa itu, Bulan?!"

"Daffa, tolong jangan teriak-teriak. Aku takut," lirih Bulan dengan diiringi isak tangis. Ia benar-benar takut. 

"Apa kamu sengaja melakukan ini karena memang sejak awal kamu nggak cinta sama aku? Kamu mau nikah dengan aku karena terpaksa? Kamu bingung mau nyari jodoh di mana karena terlalu sibuk kerja, akhirnya saat aku datang, kamu langsung iyain aja tanpa pikir panjang? Atau karena faktor usia yang sudah nggak lagi muda dan mulai bosan diteror pertanyaan kapan nikah akhirnya membuat kamu mau menerima lamaranku? Iya, Bulan?" Daffa mulai menurunkan sedikit volume suaranya. Bukan kasihan dengan wajah Bulan yang ketakutan, tapi karena malu jika didengar tetangga.

"Aku ... aku nggak seburuk yang kamu kira, Daf. Aku nggak kayak gitu. Aku benar-benar mencintai kamu. Daffa!" Bulan teriak keras saat Daffa menggenggam tangannya dengan sangat erat.

"Cinta kamu bilang, eh?! Cinta apa ini, Bulan?! Kalau kamu benar-benar cinta aku, kamu nggak akan KB tanpa persetujuan aku! Kamu nggak akan KB saat usia pernikahan kita masih dalam hitungan hari! Kita baru nikah lima hari, Bulan! Lima hari!" Daffa kembali bicara dengan nada tinggi.

"Maaf, Daf," sesal Bulan. Ia mengelus tangannya yang tadi diremas Daffa dan akhirnya dilepaskan dengan kasar. 

Sekarang ia sudah bebas dari Daffa. Jika ia ingin kabur, itu bisa saja dilakukan. Tapi ia berubah pikiran. Ia ingin menyelesaikan masalah ini dan tidak ingin lari dari masalah.

"Kamu pikir maaf bisa menyelesaikan semua ini, Bulan? Kamu pikir maaf bisa mengobati sakit hati aku? Aku nyesal nikah dengan kamu, Bulan! Kamu nggak bisa ngerti aku, kamu pembohong, kamu mengecewakan!”

Daffa mulai frustrasi. Ia duduk di lantai sambil bersandar pada dinding. Hatinya benar-benar sakit dengan ini semua. Bulan---istri tercintanya tega melakukan ini. Padahal sebelumnya, ia sudah sangat sering mengatakan pada Bulan kalau dirinya sudah tidak sabar ingin memiliki anak. 

Usia mereka berdua sudah tidak lagi muda. Mereka sudah berusia tiga puluh dua tahun. Sudah saatnya mereka memiliki anak, bukan?

"Aku belum siap punya anak, Daf. Maaf. Maaf banget kalau pernyataan aku ini buat kamu kecewa. Maaf, Daf," sesal Bulan seraya bersimpuh di kaki suaminya. 

"Kenapa, Bulan?! Kenapa baru ngomong sekarang?! Apa kamu kira pernikahan ini hanya main-main?! Apa kamu nggak pernah serius dengan pernikahan kita?!" bentak Daffa sambil menendang Bulan yang memegangi kakinya. 

Bulan yang tidak siap mendapat perlakuan kasar seperti itu, terdorong ke belakang hingga kepalanya membentur kaki meja. Ia meringis kesakitan sambil menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Ia sungguh benar-benar tidak menyangka Daffa tega melakukan kekerasan seperti ini.

Daffa melakukan itu secara refleks, tidak sengaja. Ia menyesal telah menendang Bulan, tapi gengsi untuk meminta maaf. Sehingga yang bisa ia lakukan hanya diam saja dan tidak bereaksi apapun. 

Padahal sebenarnya, Bulan ingin Daffa meminta maaf dan mengelus kepalanya. Nyatanya Daffa hanya diam saja seperti patung.

Bulan benar-benar marah pada Daffa. Ia mengambil tas jinjing, dan lalu memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalamnya. Setelah itu, ia keluar kamar dengan langkah lebar.

Lagi-lagi, Bulan ingin dikejar oleh Daffa, tapi nyatanya Daffa tidak melakukan itu. Daffa malah diam saja di dalam kamar. Bulan benar-benar kecewa pada Daffa.

“Aku punya trauma masa lalu, Daf. Aku takut punya anak,” ujar Bulan dalam hati. Ia berjalan sambil terus menerus menyeka air mata yang mengalir tiada henti.

Bulan berjalan ke luar gang untuk mencari angkutan umum. Ia akan pulang ke rumah orangtuanya di Kecamatan Tembesi. Saat ini dirinya tinggal di Kecamatan Muara Bulian, di rumah mertuanya. Rumah mereka berada di satu kabupaten yang sama, Kabupaten Batang Hari, Jambi. Mereka hanya beda kecamatan saja.

Saking kacaunya Bulan, ia bahkan tidak sempat pamitan pada mertuanya. Entahlah, ia pasrah saja jika nanti dicap buruk oleh mertuanya. Ia benar-benar kecewa pada Daffa yang tega menendangnya, sehingga nekat kabur seperti sekarang ini.

Sementara itu di rumah, Daffa ditegur oleh ibunya karena teriak-teriak. "Rumah tangga itu memang nggak mungkin tanpa masalah, tapi apa ya kamu harus teriak-teriak gitu? Malu didengar tetangga, Daf. Kirain nikah sudah tua bikin kamu bersikap dewasa, nyatanya usia nggak ngaruh apapun ke kamu."

Daffa yang sedang kecewa pada Bulan, tidak bisa mendengar nasihat ibunya. Ia malah mengusir ibunya. Ia ingin menenangkan diri. Ingin sendirian di dalam kamar.

"Mama, keluar! Aku lagi nggak mau diganggu!" 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status