Share

2

Aku berlari tunggang langgang dari rumah hanya untuk ngejar angkot terakhir menuju sekolah. Kampret, aku telat di hari Senin pagi. Haduh! Bisa-bisa aku kena hukuman nih, sama Bu Yuli. Guru biologi terkiller sejagat SMA Cinta Kasih Bunda.

Sumpah, nggak biasanya nih aku telat begini. Selama ini aku juga dikenal dengan sebutan murid teladan sepanjang sejarah. Aku tebak, satu catatan pelanggaran ini bisa bikin nama baikku tercoreng. Katakanlah aku ini Miss Perfect. Aku terlalu terobsesi dengan yang namanya “Kesempurnaan”. Nggak boleh ada cela sedikit pun walau sebiji zarah. Halah, apaan dah.

Degedegedeg..........double shit. Mogok?

“Haduh, si akang. Kenapa angkotnya mogok atuh?” Itu suara emak-emak di sampingku. Kayaknya dia nggak kalah keselnya daripada aku. Ya elah, aku musti gimana nih? Jalanan udah mulai sepi, lagi. Nggak ada pangkalan ojek pula di sekitar sini.

“Mang, saya berhenti si dini aja. Nih uangnya.” Terpaksa deh aku musti lari sampai sekolah. Hah, alamat kena hukum ‘pasal satu ayat satu’: Guru selalu benar, murid selalu salah.

Tin tiiiiiin.

Aduh, itu suara klakson mobil siapa, lagi?

Hah! Itu kan, mobilnya Om Barra. Ngapain dia berhenti tepat di sampingku?

“Mau ke sekolah, ya?” Kepalanya menyembul dari balik jendela bagian sebelah kemudi. Lah, ini Om-Om udah tahu aku mau berangkat ke sekolah. Malah ditanya pula. Fix, basa basi doang itu.

“I...iya, Om. Maaf, saya lagi buru-buru. Lain kali aja ya kalau mau ngobrol.”

“Saya anterin, ya. Kayaknya kamu juga udah telat. Kalau jalan kaki butuh waktu lebih banyak lagi. Lagian saya nggak ada niat ngajak kamu ngobrol. Saya cuma....”

Okay!” Aku langsung menyetujui ajakannya. Hanya butuh beberapa detik sampai aku akhirnya berhasil mendaratkan bokong bulatku di kursi sebelah kemudi. “Yuk, jalan.”

Dia terkekeh sebelum melajukan mobilnya.

“Om, makasih ya. Dua kali loh, Om nganter saya.” Basa basi lagi. Selagi masih di perjalanan. Dari pada diam, malah berasa awkward. Aku paling nggak suka keheningan. Rasanya aneh gitu.

“Sama-sama. Oh, ya. Kamu kelas berapa?”

“Kelas dua belas, Om. Jurusan IPA.”

“Kamu jawabnya kelebihan, loh.” Dia nyengir sambil tetap fokus menyetir.

“Biar Om-nya nggak nanya dua kali. Saya rasa nggak ada salahnya saya kasih tahu. Toh bukan informasi rahasia juga. Kecuali kalau saya kerja di FBI, otomatis nggak semua informasi bisa saya beberkan.” Ga-Je nggak sih? Si Om terkekeh geli mendengar ocehanku. Lalu memilih fokus menyetir mobilnya.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku langsung ngacir setelah mengucap “terima kasih” sama Om Barra.

Dia mengangguk. Namun, saat jarakku sama dia udah cukup jauh, kayaknya dia neriakin sesuatu deh, ke aku. Sayangnya aku nggak mendengarnya dengan jelas.

“Qarmita Alpha Cygni. Sejak kapan kamu mulai nggak disiplin begini?” Bu Yuli mulai mengintrogasi. Aku mah diem aja, sambil nyelesain tugas sit up yang dititahkan oleh beliau lima menit yang lalu.

“Sejak negara api menyerang, Bu.” Aku mendelik ke arah Michele yang barusan nyeletuk di sela nafasnya yang ngos-ngosan karena lagi push up. Manusia satu ini paling bikin kesel para warga sekolah. Langganan banget sama “Kudis”: “Kurang Disiplin”. Anak geng motor, sekaligus premannya sekolah. Suka ngejahilin Widya Wati, si anak rohis.

“Ibu nggak nanya kamu, Michele. Ibu nanya Qarmita.”

Plak, plak. Bug, bug.

Yes! Trus Bu. Timpukin aja tuh bocah pakai penggaris kayu Ibu.

“Maaf Bu, saya telat. No more comment. Murni kesalahan saya.” Ucapku.

“Saya nggak bisa kasih kamu sanksi selain sit up. Tapi, saya peringatkan dalam bentuk lisan. Lain kali jangan diulang lagi. Ini yang pertama dan terakhir.”

Bu Yuli emang killer di kalangan anak-anak badung. Tapi dapat mentolerir beberapa murid dalam keadaan tertentu. Beliau mungkin segan denganku. Karena emang aku nggak langganan sama yang namanya ‘Kudis’.

Kadang sikapku yang kelewat dewasa, bikin orang-orang segan untuk mengkritik. Kecuali Bu Yuli dan Pak Kepala Sekolah. Padahal aku kan, masih SMA. Nggak semua hal, benar aku lakukan.

“Iya, Bu. Saya pastikan tidak akan terulang lagi.” Aku berdiri tegap di depan Ibu Yuli. Mengambil tas, lalu mencium punggung tangannya. Kemudian melangkah menuju kelas tercinta. Aku diminta langsung balik ke sana tanpa mengikuti upacara bendera. Aku rasa nggak ada gunanya masuk barisan. Toh, sebentar lagi selesai. Waktuku habis cuma buat diceramahi Bu Yuli. Sisanya ngerjain hukuman sit up tiga puluh kali. Lumayan lah, bikin badan sehat, pagi-pagi.

“Mimiiiii....!” Astaga dragon. Lama-lama aku musti periksa ke dokter THT nih, karena mengalami gangguan persepsi sensori: pendengaran gara-gara suara Toak-nya Ayi. Si cewek Larva. Kenapa aku bilang begitu? Karena dia mirip sama larva buah nangka. Suka gaduh sendiri. Gerak sana, gerak sini. Loncat sana, loncat sini. Teriak sana, teriak sini. Orangnya nggak bisa diem, kalem, melempem.

“Berisik!” Nah, langsung jinak. Aku paling suka liat mukanya yang ditekuk sehabis aku omelin. Setoak-toaknya Ayi, kalau suaraku udah lebih tinggi dari dia, aku jamin pita suaranya langsung tersegel.

Sorry!” Dia beringsut mendekat dan duduk di sampingku. Bergelayut manja macam kucing peliharaannya Bang Orion. Aku heran ya, kalau tiap kali liat kucing anggora milik Bang Orion. Setiap kali mereka berada di satu area, pasti itu kucing betina nggak mau jauh-jauh dari majikannya. Emang paling tahu kali dia, Abangku tuh cakepnya ngalahin aktor terkenal sekelas Reza Rahadian.

“Eh, apaan nih?”

“Sumpah, lo telat?” Nah, kembali ke mode ‘larva’.

“Nggak usah bawa-bawa sumpah. Aku ngeri dengernya.”

“Hehe...maksudku. Serius, lo telat? Murid anti Kudis kayak lo bisa telat? Gimana bisa?”

“Bisa aja, kalau Allah menghendaki.” Jawabku religius.

“Haduh! Maksud gue, kenapa lo bisa telat? Perasaan jarak dari rumah lo ke sekolah kan nggak lebih dari lima belas menit pakai mobil. Emangnya Bang Orion nggak nganter lo?”

“Boro-boro nganter aku. Dia sendiri juga telat bangun. Bahkan seisi rumah pada telat bangun.”

“Hah! Kok bisa?”

“Kita begadang nonton bola sampai jam dua subuh.”

“E...buset dah. Yang sekeluarga gila bola. Nggak heran deh gue. Padahal hari Senin loh, ini. Masa nggak bisa di-skip?”

“Nggak bisa. Soalnya itu tim andalan kita sekeluarga. Nggak ada skip-skip-an.” Aku mendelik nggak suka. Enak aja nyuruh aku nge-skip nonton pertandingan tim kesayanganku. Kalau disuruh milih nonton bola sama belajar, mending aku milih nonton bola. Biar kata besok ada ujian nasional. Hmmm...nggak bermaksud congkak, ya. Aku kan, juara umum se-SMA Cinta Kasih Bunda. Belum tahu sih, untuk tingkat nasionalnya gimana.

Menurut gue, belajar di malam sebelum hari H, itu justru bikin kepala mumet. Kata Papa, otak kita bisa konsentrasi total cuma selama tiga puluh menit pertama. Sisanya tinggal berdo’a dan tawaqal aja. Makanya kalau setiap ada ujian, gue paling anti belajar sistem kejar semalam. Minimal dua atau tiga hari sebelum ujian, gue udah belajar. Mengulang pelajaran yang penting. Itu pun hanya sebatas garis besarnya aja.

“Eh, by the way. Gue nggak liat muka Berry sejak tadi. Kalian tahu dia ke mana? Padahal dia udah janji traktir kita makan di kantin.” Sayup-sayup aku mendengar salah satu anggota gengnya Berry—Adul, sedang mengobrol di meja belakangku dan Ayi.

“Lo, nggak tau, ya? Kemaren dia ditolak sama Nona Q. Ada yang liat mereka ketemuan di Observatorium. Obrolannya cukup serius gitu. Gue nggak kaget lagi sih, kalau si cewek teladan nggak sudi nerima cintanya cowok badung.” Itu suara Septi, si Ratu Gosip.

Aku saling melirik dengan Ayi. Kayaknya gosip bakal menyebar cepat setara dengan kecepatan angin tornado.

“Hah! RIP Berry Bastun. Mudah-mudahan tuh anak nggak bunuh diri. Padahal dia beneran suka sama Nona Q. Filling gue sih, seandainya mereka jadian, gue yakin Berry bakal berubah. Secara, Nona Q tuh orangnya nggak mudah dipengaruhi. Yang ada malah dia yang mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.” Mereka pun saling bersahut-sahutan. Intinya, mereka menyayangkan kalau si Nona Q ini nggak mau ngasih kesempatan buat Berry.

Hah! Itu cuma pernyataan unfaedah mereka. Kalau mau berubah kan, berubah aja. Nggak usah lewat pacaran sama aku. Yang ada ntar niatnya nggak tulus. Aku cuma manusia biasa. Nggak menjamin bisa bikin dia berubah. Kalau tulus, berubah aja tanpa harus sama aku. Lagian, nggak perlu pakai harus pacaran segala kan. Kalau dia emang suka sama aku, kenapa dia nggak memilih untuk bermuhasabah diri dulu. Kalau udah yakin, langsung lamar aku ke orang tua. Kan lebih gentle. Ya kan? Bener nggak?

Ah, kepalaku kenapa jadi ikut puyeng gini mikirin cecunguk itu?

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status