Setelah Raya dan Bu May pulang, Mas Ardi langsung masuk ke dalam kamar kami. Pasti dia akan sibuk bermain game. Seperti yang biasa ia lakukan. Sementara aku masih menemani anak-anak di lantai dua. Berkumpul bersama anak-anak untuk mengobrol dan menonton TV."Kira-kira berapa uang yang di kirim Ayah untuk Tante Raya ya Bu?" Tanya Salwa penasaran. Tanpa ada rasa cemburu yang terkandung dalam suaranya."Ibu juga nggak tahu. Mungkin saja Ayah mengirim uang yang banyak. Seperti yang selalu ia lakukan pada Sarah." Jawabku apa adanya. Walaupun itu hanya tebakan semata. Dari hp rahasia yang berhasil di bobol Wulan, aku jadi tahu berapa saja jumlah uang yang di kirimkan Mas Ardi untuk Raya. Minimal sepuluh juta. Kadang juga sampai lima puluh juta. Jumlahnya berkali-kali lipat dari uang yang di berikan oleh Mas Ardi padaku selama ini. Membuatku jadi bertanya-tanya, apakah gaji Mas Ardi memang sebesar itu? Apakah dia menyembunyikan penghasilannya dariku selama ini?Jika Raya mendapat kiriman y
Badanku menggeliat saat terbangun jam tiga pagi. Mataku perlahan terbuka. Melihat Mas Ardi yang sudah tidur sambil memunggungiku. Begitu aku duduk bersandar ke kepala tempat tidur, beberapa barang tampak berantakan. Tidak terletak pada tempatnya. Sudah pasti ini adalah ulah Mas Ardi. Bahkan tasku yang seharusnya ada di dalam lemari meja rias sudah berantakan di kursi. Ia mencari sampai menggeledah barang-barang pribadiku. Tidak akan ketemu.Karena hp rahasia itu memang sudah tidak ada lagi padaku. Melainkan berada di tangan Bu May. Dugaan Ratna memang benar. Orang pertama yang akan di curigai oleh Mas Ardi adalah aku. Karena itulah cepat atau lambat dia pasti akan bertanya padaku tentang keberdaan hp itu. Untung saja kemarin aku bertemu dengan para sahabatku sehingga bisa mendapat banyak saran untuk kelangsungan rencanaku ke depannya.Segera aku turun dari tempat tidur. Merapikan barang-barang yang berantakan dengan cepat. Baru masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil wudhu. Segera
POV RayaMas Ardi bisa di taklukan dengan mudah hanya dengan rayuan dan tidur bersama. Pada dasarnya dia memang suka dengan wanita cantik. Sikap Mbak Desi yang acuh memberiku peluang besar untuk semakin mendekati Mas Ardi yang kemudian membuatnya jatuh dalam perangkapku. Sepertinya rumah tangga mereka sudah di ujung tanduk. Karena bagiku Mas Ardi dan Bu Desi sudah seperti orang asing yang terpaksa tinggal di rumah yang sama. Yang membuatku heran adalah kenapa Mbak Desi tidak mengajukan gugatan cerai saja jika dia sudah tidak saling cinta dengan Mas Ardi. Anak-anak juga tidak nampak dekat dengan Ayah mereka. Sehingga tidak perlu berat untuk bercerai hanya karena urusan anak seperti Mbak Wulan.“Kamu sudah bayar hutang di bank dengan uang kiriman Ardi nduk?” Tanya Ibu yang baru pulang ke rumah setelah belanja di warung.Penampilan Ibu sangat modis karena baju yang di berikan Mbak Desi. Lebih tepatnya barang yang di temukan di dekat kotak sampah. Dengan tas branded dalam negeri yang harg
“Assalamualaikum.” Suara Mas Harun terdengar memasuki rumah saat jam sudah menunjukkan jam setengah enam pagi. Ibu mertua berjalan di belakangnya dengan wajah datar. Pasti mereka sudah sarapan dulu di rumah Mbak Wulan sebelum datang kesini. Terlihat dari rantang makanan yang ia serahkan padaku.“Waalaikumsalam.”Seperti biasa aku akan menyalami tangan Mas Harun dan Ibu. Walaupun hanya di sambut angin lalu karena Ibu segera masuk ke dalam kamar. Sekali lagi Ibuku terpaksa masuk ke dalam kamar kecil di dekat dapur selama suami dan Ibu mertuaku tinggal di rumah ini. Aku mengikuti Mas Harun masuk ke dalam kamar untuk meletakan kopernya. Meletakan sejenak rantang makanan di atas meja.“Aku langsung berangkat ke kantor dulu. Ada rapat sama pimpinan.” Ujar Mas Harun yang tetap acuh padaku. Sikap dinginnya yang tidak lagi melukai hatiku. Karena rasa cinta yang ada dalam dada sudah hilang.Pura-pura kupasang wajah sedih untuk menarik perhatiannya. “Apa kamu tidak mau sarapan dulu denganku mas
Ibu sudah meloncat-loncat di kamar seperti anak kecil.. Girang melihat uang sebanyak ini ada di dalam koper. Aku segera menahan tangan Ibu agar Bu Desi tidak mendengar keributan di kamar ini. Paham dengan maksudku, Ibu kembali duduk di tepi tempat tidur. Dengan senyum yang masih merekah dari bibirnya. Begitu juga denganku. Berusaha menekan kegembiraan agar tidak berteriak seperti orang gila."Uang ini cukup untuk bayar semua hutang di bank Ray. Mudah-mudahan juga sisa banyak untuk melunasi hutang Ibu. Membeli rumah sederhana dulu agar bisa membawa kedua adikmu tinggal bersama kita. Lalu,""Bu." Segera kuhentikan agar Ibu tidak bicara lagi. Kami perlu menenangkan diri sejenak agar tidak terlalu kentara saat keluar dan di lihat oleh Bu Desi dan anak-anaknya nanti. “Sssttt. Jangan bicara keras-keras Bu. Kita hitung dulu uangnya sejumlah hutangku di bank. Kalau cukup akan langsung aku bayar hari ini juga. Mumpung bank belum tutup. Kalau waktu kita habis, akan aku bawa koper ini pulang ke
Tidak sulit untuk memberikan kepuasan pada Mas Ardi. Baginya kepuasan di bagian bawah adalah hal yang terpenting. Hanya satu saja syarat darinya yang harus kupenuhi yaitu menjalani pemeriksaan kesehatan untuk memastikan jika kami tidak terkena penyakit kelamin. Syarat yang mudah bagiku. Tidak masalah karena aku memang tidak pernah berhubungan dengan sembarang laki-laki. Satu-satunya pria yang pernah berhubunyan denganku sebelum Mas Ardi, hanyalah Mas Harun. Itu saja setelah kami mengincarnya agar bisa merebut harta Mbak Wulan. Walaupun harus berakhir dengan kegagalan.Di kota kecil tempat kami tinggal tidak ada lokalisasi yang membuat para pria beristri hanya menyalurkam hasrat pada selingkuhan. Seperti yang di lakukan Mas Ardi. Di sisi lain aku juga yakin jika Mas Ardi bukan tipe pria yang suka jajan sembarangan dengan tidur bersama banyak wanita. Kadena dia tipe pria yang sangat menjaga kesehatan dengan rutin melakukan medical check up secara berkala di rumah sakit langganannya.“Ba
POV Desi“Bu May aku boleh tanya sesuatu nggak?” Tanyaku pada wanita paruh baya itu saat dia sedang menyapu lantai dapur. Kepalanya menoleh dengan wajah cemas mendengar pertanyaanku barusan. Padahal aku belum bertanya pada pertanyaan inti yang akan aku sampaikan.Sepertinya Bu May sudah tahu tentang keberadaan hp Mas Ardi yang aku masukan ke dalam tasnya. Hanya saja sampai hari ini dia memang tidak pernah memberikan hp itu padaku atau pada Mas Ardi. Mungkin saja karena Bu May dan Raya penasaran dengan isi handphone itu yang jelas-jelas menampilkan wajah Mas Ardi dan Sarah. Entah apa yang membat Raya dan Bu May tetap menyimpan hp itu. Padahal mereka tidak akan bisa membuka apalagi membajak isinya seperti yang sudah di lakukan oleh Wulan. Bukankah mengembalikan hp itu lebih cepat akan jadi lebih baik?“Boleh Bu. Mau tanya apa?” Tanya Bu May setelah kegugupannya reda. Meski begitu Bu May tidak berani menatap wajahku. Pandangannya terus tertuju pada lantai yang masih kotor karena belum se
Jarum jam sudah menunjukkan jam setengah delapan malam saat bel rumah berdenting beberapa kali. Aku yang memang sedang menunggu di ruang tengah lantai satu segera beranjak menuju ke pintu depan. Begitu pintu terbuka sudah terlihat sosok Ratna yang menunggu. Aku akam menitipkan barang-barangku padanya untuk di bawa lebih dulu ke rumah kontrakan. "Dua kopermu yang mau di bawa ke Yogyakarta sudah siap Des?" Tanya Ratna lalu masuk mengikuti menuju ruang tengah. Dimana dua koper itu berada. "Sudah. Untuk koper terakhir baru akan aku bawa besok ke rumah Wulan." Kataku lalu mengajaknya keluar. Aku tidak ingin terlalu lama menahan Ratna agar tidak menghambat perjalanan sahabatku dan keluarganya malam ini. Mereka memang berangkat pada malam hari dengan alasan agar bisa nyaman berkendara karena jalanan yang lebih sepi. Kami berdua membawa masing-masing satu koper untuk di tangan untuk di masukan dalam bagasi mobil Ratna. Aku menyapa suami Ratna sejenak untuk minta maaf dan terima kasih karena