"Eunghh... Aldrich." Lenguhan kecil terdengar dari bibir Tiana, gadis itu membuka kedua matanya pelan saat merasakan gerah di sekujur tubuhnya. Pelukan hangat dan erat melilit tubuh Tiana yang kini terasa sangat-sangat lelah. Ia merasakan pelukan Aldrich kian erat padanya, sebelum sebuah kecupan mendarat di wajah Tiana. "Terima kasih banyak, Sayang," bisik Aldrich tersenyum hangat. Tiana sudah berkali-kali mendengar kata terima kasih dari bibir suaminya sejak tadi. "Capek tahu, Aldrich..." Tiana cemberut dan menarik tinggi-tinggi selimutnya menutup tubuhnya yang polos. "Maaf Sayang." Aldrich tersenyum gemas. Masih terekam jelas di ingatannya begitu Tiana menangis memeluknya hingga semuanya berakhir dengan penuh cinta. Aldrich berbaring di sampingnya dengan tubuhnya dibalut kimono berwarna putih. Laki-laki itu menyangga kepala dan mengusap-usap pipi Tiana yang memerah. "Jam berapa ini?" tanya Tiana mengerjap. "Sembilan," jawab laki-laki itu tanpa membuang tatapannya dari waj
Tiana bangun tidur di sore hari, gadis itu berjalan perlahan keluar dari dalam kamar. Rumah sangat sepi saat ini dan Tiana bangun tanpa Aldrich di sampingnya. Langkah Tiana yang sangat lamban menuruni anak tangga. Di sana Tiana melihat suaminya yang duduk di sofa ruang tamu, Aldrich meluruskan kedua kakinya di atas meja, mendongakkan kepala menutup dengan lengan kanannya yang tertekuk di atas muka. "Dia pasti lelah," gumam Tiana mendekat. Gadis itu mengulurkan tangannya menyentuh kepala Aldrich dengan lembut hingga sukses membuat sang empu terkejut. "Astaga, Sayang..." Laki-laki itu membuka matanya. Tiana tersenyum manis, wajahnya kini sudah terlihat segar. Dia menundukkan kepalanya mengecup pipi Aldrich. "Capek ya? Tiana tidak bantu-bantu tadi," ujar Tiana memutar sofa dan berdiri di hadapan Aldrich. "Tidak papa. Tino baru saja pulang," balas Aldrich. "Kak Tino?!" "Heemmm, dia ke sini mengantarkan berkas yang dibawa Om Vir. Sejak tadi siang dia di sini mengerjakan dokumen Ba
"Aldrich besok mau ke kantor, ya? Tidak jadi libur satu minggu?" Pertanyaan itu terlontar dari Tiana yang sedang duduk di tepi ranjang menatap suaminya. Aldrich menoleh dan tersenyum tipis seraya menyunggar rambut cokelatnya di depan cermin. "Mungkin hanya meeting saja, setelah itu aku langsung pulang, Sayang. Kenapa memangnya?" tanya Aldrich berbalik berjalan mendekati Tiana. Tatapan mata Tiana yang sayu membuat telapak tangan Aldrich melekat menangkup satu pipi wanitanya. Aldrich mengelusnya dengan ibu jari secara lembut. "Tiana di rumah sendirian dong..." "Ikut saja bagaimana? Nanti diam di dalam ruanganku, pulangnya kita jalan-jalan, bagaimana?" tawar suaminya. "Semua orang nanti lihatin Tiana terus." Cemberut gadis itu. Aldrich terkekeh, ia membungkukkan badannya dan menarik lepas kaca mata yang Tiana pakai. Laki-laki itu semakin mendekatkan wajahnya hingga terasa hangat embusan napas yang menyapu kulit pipi Tiana. "Biar saja semua orang melihat, kau kan memang istriku.
Setelah menunggu beberapa menit bersama Misora di dalam ruangan, Tiana kini mengajak teman barunya itu keluar sebentar. "Saya tidak berani keluar dari sini, nanti Pak Tiano akan marah Nyonya Tiana," ujar Sora, dia mencekal pergelangan tangan Tiana. "Tidak akan, tenang saja... Ayolah, kita makan siang di kantin yuk! Kalau menunggu mereka selesai meeting, kita bisa mati kelaparan, Sora!" seru Tiana menarik lengan Sora. Mau tidak mau Sora pun langsung ikut dengan Tiana. Mereka berdua berjalan keluar dari dalam ruangan tersebut dan menuju ke lantai dasar. Tiana kelaparan kalau harus makan siang menunggu Aldrich yang tidak kunjung kembali. Aldrich dan Tiano, mereka pasti kalau meeting sampai ke akar-akarnya akan dibahas. "Sora, kau benar-benar dari Jepang, ya?" tanya Tiana kini berjalan berdampingan dengan gadis itu. "Betul Nyonya, Mama dan Papa saya asli orang Jepang, lalu Papa meninggal dan Mama menikah lagi, kita pindah ke Inggris saat saya berusia lima tahun, tapi saat saya sekol
"Al, kenapa dari tadi Oma telepon tidak dijawab-jawab! Dari mana saja kau ini, hah?!" Suara Karen terdengar memarahi Cucu laki-lakinya. Aldrich mendengkus pelan mendengar omelan sang Nenek. "Aku baru saja mengajak Tiana jalan-jalan, ada apa sih Oma?" Aldrich melepaskan tuxedo hitamnya dan ia duduk di sofa kamar. "Jalan-jalan? Bukannya pagi tadi waktu Oma telpon katanya kau meeting..." "Iya pagi siang tadi, sorenya kan sudah selesai." Aldrich menoleh ke pintu kamar mandi, Tiana berjalan keluar dengan pakaiannya yang sudah diganti dan tubuh segarnya. Gadis itu menatap Aldrich yang tengah bertelepon dengan Neneknya. "Setelah pulang kerja itu ya pulang ke rumah! Istirahat, bukannya malah pergi. Itu hanya menambah lelahmu saja!" omel Karen, dia kadang menyebalkan sama seperti Roghan. "Ck! Sudahlah Oma..." "Jangan terlalu memanjakan Tiana! Kalau kau tidak melatihnya, kapan dia akan dewasa?! Kau akan lelah sendiri diakali terus oleh gadis yang kekanakan. Oma tahu dia gadis yang sang
Tiana di rumah sendiri hari ini, ia harus membiasakan diri dan berani sendirian di rumah. Aldrich mengajarkan padanya untuk menganggap rumah besar itu sebagai miliknya agar dia tidak takut.Dan kini Tiana membersihkan beberapa ruangan-ruangan megah dan besar di lantai satu. Sampai dia menemukan ruangan berdiri penuh dengan foto-foto keluarga yang dipajang di sepanjang dinding. "Wahhh, ini keluarga besar Aldrich? Dari Nenek, Kakeknya ya?" gumam Tiana menatap semuanya satu persatu. "Emm, ini kan Aldrich, dengan siapa?" gumam lirih Tiana melihat foto Aldrich saat masih remaja dulu bersama seorang gadis yang memeluk lengannya dan tersenyum manis. Tiana mendekat, menyamakan wajah gadis itu dengan keluarga yang lainnya, tidak ada yang sama. Bahkan rambut gadis itu berwarna pirang, keluarga Hubert keturunan asli dari Belanda, tidak memiliki keturunan berambut pirang. "Siapa ya? Kenapa Aldrich tidak pernah bercerita padaku?" Tiana kembali merapikan ruangan tersebut, ia membersihkan lemar
Malam sudah larut, Tiana duduk di teras depan menunggu suami dan Papanya pulang. Aldrich dan Sebastian belum juga kembali. Tiana menyergah napasnya panjang dan menyandarkan punggungnya. Bukannya mobil Papinya yang datang, melainkan sebuah mobil berwarna merah milik Tino. "Kak Tino," gumam gadis itu. Laki-laki dengan balutan kemeja putih tersebut turun dari dalam mobil dan menatapnya dengan tatapan tak biasa. "Kenapa di sini? Suamimu mana?" tanya Tino menaiki anak tangga teras dan berdiri di hadapan Tiana. "Aldrich sedang pergi dengan Papi, ada urusan penting dan belum kembali." "Astaga... Mungkin ke luar kota, sudah ayo masuk! Nanti mereka juga pulang, tenang saja! Aman dengan Papi suamimu itu tidak akan selingkuh!" seru Tino memasang wajah yakin. Tino mengulurkan tangannya dan Tiana pun ikut masuk bersama kembarannya tersebut. Wajah murung Tiana membuat Tino merangkul pundak gadis itu. "Kenapa? Ribut sama Lalat Buah?" tanya Tino mendekatkan wajahnya pada Tiana. "Tiana diben
Keesokan paginya Tiana dan Aldrich langsung pulang dari kediaman orang tua Tiana. Mereka berdua ingin menghabiskan hari libur di rumah.Tiana berjalan masuk ke dalam kamarnya dan ia melepaskan jaket tebalnya. Sementara Aldrich berjalan di belakangnya seraya bersenandung kecil. "Hari ini ada ide ingin menghabiskan hari dengan hal menyenangkan apa, Sayangku?" Laki-laki itu mendekati Tiana dan memeluknya dari belakang. "Mau bersih-bersih rumah," jawab gadis itu. "Oh ayolah, kau hanya membuat tubuhmu lelah saja. Lebih baik kita habiskan waktu berdua di kamar dan kita bisa bercin-""Itu juga membuatku jauh lebih lelah, dua kali lipat sangat-sangat lelah!" sela Tiana menjawabnya telak. Aldrich tertawa pelan dan ia menjatuhkan keningnya di pundak Tiana."Ayolah Sayang, kita melakukan apapun... Yang menyenangkan!" Laki-laki keras kepala ini terus merengek seperti anak kecil. "Semua ruangan di rumah ini rata-rata kosong dan kotor. Harus dibersihkan, salah siapa punya rumah besar tapi pen