POV : Dimas Beban hidup terasa semakin berat serang. Ekonomi belum stabil ditambah harus menuruti kemauan Ayu yang terkadang kelewat batas. Dia semakin menjadi sejak berpisah dengan mantan suaminya itu. Kesakitan karen pengkhianatan yang dilakukan suaminya, seolah dia lampiaskan padaku yang tak tahu apa-apa. Harusnya aku tak perlu menghidupinya, tapi Adam tetaplah anak kandungku. Bagaimana mungkin aku tega melihat dia kedinginan dan kelaparan bersama ibunya, sementara aku bisa tidur lelap dengan perut kenyang sekalipun banyak beban pikiran. Mau tak mau aku mengontrakkan Ayu dan Adam tak jauh dari kontrakanku. Di sana Ayu bekerja sebagai tukang cuci gosok, cukup buat makan sehari-hari sementara uang kontrakan tetaplah aku yang membayarnya. Awalnya Nila menolak, tapi mau tak mau dia harus mengiyakannya sebab nggak mungkin juga meminta Ayu dan Adam untuk tinggal satu atap di sini. Kasihan juga dia kalau nggak kucarikan kontrakan. Ayu sudah tak memiliki rumah di kampung dan ta
POV : Dimas Aku tak tahu siapa yang harus kucurigai perihal foto menjijikkan itu kecuali Brama. Namun sepertinya dugaan Nila ada benarnya. Ayu bukan tipe perempuan yang mudah menyerah, dia bahkan tipe perempuan ambisius yang menghalalkan segala cara demi impiannya. Ketiga istriku, hanya dia yang memiliki sifat paling berbeda. Dia terlalu kasar sementara istriku yang lain cenderung lembut dan lebih sopan. Setidaknya, mereka masih lebih menghargai statusku sebagai suami dan tak semena-mena. Kebetulan hari ini ada interview di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Aku berharap kali ini lamaranku diterima, sebab telah puluhan email kukirimkan ke sana-sini tapi sia-sia. Sebagian perusahaan menginginkan calon karyawan yang berpengalaman dengan lampiran surat pengalaman kerja masing-masing, sayangnya aku tak memiliki itu sebab dipecat begitu saja oleh Lisha. Perusahaan lain menginginkan karyawan yang fresh graduate, sementara aku justru sebaliknya. Aku hanya bisa pasrah dan per
Ponsel Mas Dimas di atas meja bergetar. Ponselnya memang terkunci, tapi aku tahu passwordnya. Mas Dimas tipe pelupa jadi semua password mesdosnya pakai tanggal lahirnya saja. Terlalu mudah untuk kubuka.Biasanya aku tak pernah kepo dengan ponsel Mas Dimas. Namun kali ini entah mengapa ada dorongan kecil agar aku membuka ponselnya.|Si Dimas mentang-mentang sekarang punya bini dua, udah nggak pernah nongol lagi di grup. Sibuk sama dua bininya. Mana yang satu lagi hamil pula|Sebuah pesan di grup w******p alumni milik Mas Dimas tak sengaja kubaca. Mungkin aku tak terlalu ambil pusing dengan pesan itu jika si pengirim tak mencolek nama Mas Dimas-- suamiku yang setahun belakangan sah secara agama dan negara menjadikanku sebagai istri. |Bener banget. Dimas makmur sekarang hidupnya. Bininya cantik-cantik. Mana bini yang kedua tajir melintir. Nggak perlu kerja pun Si Dimas oke aja. Kaya tujuh turunan. Tinggal ongkang-ongkang kaki menikmati hidup dengan dua istri.|Kubaca kembali pesan di san
Hujan rintik-rintik mengisi keheningan malam. Angin dingin menembus masuk dari celah jendela. Denting jam mulai merayap naik. Saat ini sudah pukul sebelas malam, tapi mata belum jua bisa terpejam. Aku biasanya tak pernah seinsomnia ini. Aku selalu bisa tidur cepat. Namun malam ini memang sangat berbeda.Pikiranku melayang ke mana-mana. Mengingat masa lalu sebelum dan sesudah menikah dengan Mas Dimas. Rasanya terlalu manis hingga membuatku benar-benar tak habis pikir jika Mas Dimas sudah menipuku dan papa sejauh ini. Kepalaku pusing tapi mata belum jua bisa terpejam. Aku masih terus memikirkan Mas Dimas dan aku benar-benar nggak bisa tidur.Bagaimana aku bisa tidur jika sampai detik ini, Mas Dimas belum juga memberi kabar padahal dia sendiri bilang akan segera memberiku kabar jika urusannya sudah kelar.Urusan yang baru tadi pagi kutahu jika itu tak ada sangkut pautnya dengan urusan di kantor papa melainkan urusannya sendiri dengan istri pertamanya yang entah kapan kelarnya. Mau menghu
Dering ponsel kembali terdengar. Entah sudah ke berapa kalinya. Aku sengaja tak menggubris. Biar saja dia bosan. Aku tak terlalu peduli dengan segala urusan atau kebohongannya lagi Lebih baik fokus dengan kakiku, belajar jalan sampai dia tak sadar jika istri lumpuhnya itu sudah bisa berlari. Jika dia bisa berpura-pura lajang untuk bisa mencuri hatiku, aku juga bisa berpura-pura tetap di kursi roda untuk menyelidiki apa sebenarnya rencana busuk di balik sandiwaranya. Benar kata orang, cinta dan benci hanya terpisah serat tipis. Orang yang begitu mencinta bisa saja berubah menjadi begitu membenci. Pun sebaliknya. Seperti halnya apa yang kurasa. Tak kurang rasanya cinta yang pernah kuberikan padanya, namun nyatanya dia hanya membalas dengan dusta. Kini, entah mengapa cinta yang dulu begitu erat kugenggam dan kudekap dalam dada, hilang seketika. Lenyap ditelan sakit dan kecewa. Aku benar-benar terluka. |Sayang, maaf aku sepertinya pulang telat. Ada hal yang tak bisa k
Lima hari sudah Mas Dimas tak pulang ke rumah, masih dengan alasan yang sama ada pekerjaan penting yang belum bisa dia tinggalkan, takut papa marah, katanya. Aku hanya tersenyum malas membaca pesan-pesan yang dikirimkannya. Pesan yang kadang hanya satu atau dua kali kubalas. Tak seperti biasanya, aku begitu antusias tiap kali Mas Dimas mengirimkan pesan padahal isinya hanya sekadar membalas pertanyaan-pertanyaan dari pesanku sebelumnya. Tak ada lagi kekhawatiran dalam dada, apakah dia sudah makan. Apakah dia bisa tidur dengan nyenyak. Apakah dia capek. Apakah dia sakit. Kecemasan yang selama ini selalu menggangguku tiap kali dia tak ada di rumah seolah lenyap begitu saja. Berganti dengan luka dan air mata. Kalau tahu dia sudah menikah sebelumnya, tak sudi rasanya aku dijadikan yang kedua apalagi jika alasan pernikahan yang dia lakukan hanyalah karena iba dan harta. Iba karena aku lumpuh dan harta papa yang menumpuk sementara aku pewaris tunggal karena aku anak sema
Deru mobil Mas Dimas memasuki garasi. Entah mengapa ada rasa malas untuk menyambut. Tak seperti biasanya momen seperti ini yang paling kunanti. Hari-hari sebelumnya, tiap kali kudengar suara klakson mobil Mas Dimas, aku pasti sudah dandan begitu rapi dan menyiapkan air hangat untuknya. Tak lupa kusiapkan juga teh dan roti panggang kesukaannya, menata kamar sedemikian rapi agar dia semakin nyaman saat membaringkan badan karena kelelahan. Apalagi jika ada tugas luar kota seperti ini. Biasanya, gegas kuputar kursi roda menuju teras untuk menyambutnya dengan senyum termanis. Mencium punggung tangannya dan membawakan tas jinjing atau koper yang dia bawa. Iya, itu hari-hari biasanya. Hari yang terlalu berbeda dengan detik ini. Kini aku yang justru pura-pura terlelap di atas sofa. Tak mempedulikan kedatangannya dan pura-pura tak mendengar suara berisik dari sepatunya. Dia yang dulu kupikir kerja sekuat tenaga untuk memajukan perusahaan papa, nyatanya justru mengham
Lisha!" Panggilan Mas Dimas dari garasi cukup membuatku terkejut. Aku bahkan hampir tersedak teh hangat karena mendengar teriakannya. Di luar, sepertinya dia mengomel entah apa. Tumben dia pulang kantor teriak-teriak begitu. Biasanya selalu berseri-seri apalagi kalau abis nelepon istri pertamanya atau dapat kiriman paket. Seperti yang dibilang Fina, wajahnya tampak berbeda, ada manis-manisnya. Manis ngeselin! Apa jangan-jangan dia sudah cek gajinya bulan ini yang sisa lima juta saja, sedangkan 20 jutanya sudah aku potong sekalian. Itu yang jadi jatah bulananku sekarang. Mendadak aku tersenyum geli membayangkan ekspresinya saat tahu jatah bulanannya. Biar kapok! Setahun lebih dia transfer 20 juta per bulan untuk istri pertamanya tanpa kuminta sepeser pun, sekarang gantian aku yang menikmati jatahku. Jika dia ingin memberi nafkah istrinya, bisa cari kerja sampingan. Aku tak peduli. Aku yakin Mas Dimas pasti sangat jengkel melihat rekeningnya yang hanya bertambah lim