Deru mobil Mas Dimas memasuki garasi. Entah mengapa ada rasa malas untuk menyambut. Tak seperti biasanya momen seperti ini yang paling kunanti. Hari-hari sebelumnya, tiap kali kudengar suara klakson mobil Mas Dimas, aku pasti sudah dandan begitu rapi dan menyiapkan air hangat untuknya. Tak lupa kusiapkan juga teh dan roti panggang kesukaannya, menata kamar sedemikian rapi agar dia semakin nyaman saat membaringkan badan karena kelelahan. Apalagi jika ada tugas luar kota seperti ini. Biasanya, gegas kuputar kursi roda menuju teras untuk menyambutnya dengan senyum termanis. Mencium punggung tangannya dan membawakan tas jinjing atau koper yang dia bawa. Iya, itu hari-hari biasanya. Hari yang terlalu berbeda dengan detik ini. Kini aku yang justru pura-pura terlelap di atas sofa. Tak mempedulikan kedatangannya dan pura-pura tak mendengar suara berisik dari sepatunya. Dia yang dulu kupikir kerja sekuat tenaga untuk memajukan perusahaan papa, nyatanya justru mengham
Lisha!" Panggilan Mas Dimas dari garasi cukup membuatku terkejut. Aku bahkan hampir tersedak teh hangat karena mendengar teriakannya. Di luar, sepertinya dia mengomel entah apa. Tumben dia pulang kantor teriak-teriak begitu. Biasanya selalu berseri-seri apalagi kalau abis nelepon istri pertamanya atau dapat kiriman paket. Seperti yang dibilang Fina, wajahnya tampak berbeda, ada manis-manisnya. Manis ngeselin! Apa jangan-jangan dia sudah cek gajinya bulan ini yang sisa lima juta saja, sedangkan 20 jutanya sudah aku potong sekalian. Itu yang jadi jatah bulananku sekarang. Mendadak aku tersenyum geli membayangkan ekspresinya saat tahu jatah bulanannya. Biar kapok! Setahun lebih dia transfer 20 juta per bulan untuk istri pertamanya tanpa kuminta sepeser pun, sekarang gantian aku yang menikmati jatahku. Jika dia ingin memberi nafkah istrinya, bisa cari kerja sampingan. Aku tak peduli. Aku yakin Mas Dimas pasti sangat jengkel melihat rekeningnya yang hanya bertambah lim
Pagi-pagi sekali Mas Dimas sudah pergi. Sejak cekcok soal gaji tempo hari, mungkin dia memang cari pekerjaan sampingan. Iya, sepertinya begitu sebab dia berangkat ke kantor selalu awal dan pulang selalu telat. Sepertinya dia sengaja membuatku kesal karena keterlambatannya. Tapi aku tak peduli. Rasa khawatir yang dulu selalu bersemayam dalam hati itu benar-benar sudah mulai mati. Dulu aku selalu menanyakan keadaan dan keberadaannya tiap kali pulang telat, sibuk mempersiapkan makan malam dan air hangat. Sekarang? Semua kubiarkan berjalan sesukanya. Sekali dua kali kuminta dia agar bisa mengatur waktu namun sia-sia. Justru hanya ada percekcokan lagi dan lagi, mengungkit masalah gaji itu kembali, hingga akhirnya aku seperti detik ini. Tak peduli. Pulang atau menginap, rasanya bukan urusanku lagi. Kalau tak mengingat kesehatan papa, sudah aku gugat cerai dia jauh-jauh hari. Sayangnya papa begitu mempercayainya dan tak mungkin percaya begitu saja dengan apa yang kuk
Pov : Dimas Dimas. Sesingkat itu nama yang diberikan kedua emak dan bapak untukku. Sesingkat kurasakan dekapan dan cinta kasih mereka. Tak sampai delapan tahun kurasakan hangat mesra kasih mereka, mereka sudah pergi ke hadapanNya. Saat usiaku tujuh tahun, bapak meninggalkanku dan emak pergi selamanya ke hadapan Illahi. Sejak saat itu pula emak sering sakit-sakitan, hingga menyusul bapak enam bulan kemudian. Begitulah ... belum genap delapan tahun aku sudah yatim piatu. Berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Membantu tetangga membenarkan genting rumah, menyapu halaman, mengangkat dagangan, kuli panggul, membersihkan kebun, mencangkul dan sebagainya sudah pernah kulakukan dulu, pasca sepulang sekolah. Sedih sekali jika membayangkan kembali kejadian beberapa tahun silam. Di saat teman-teman masih asyik dengan dunia bermainnya, aku harus sudah sibuk dengan dunia yang seharusnya kulalui setelah dewasa. Tapi sudahlah. Aku percaya jalan takdirku ini memang yang terbaik. Seper
Pov : Dimas Ponsel di atas meja kerja berdering begitu nyaring sejak beberapa menit lalu. Rasanya malas untuk sekadar melihat layarnya. Sudah pasti Rahayu, siapa lagi yang sibuk menerorku sepagi ini kalau bukan dia. Makin lama dibiarkan bukannya berhenti, justru semakin membuat polusi telinga. Terpaksa, mau tak mau aku harus mengangkatnya juga. Kalau tidak, dia tak akan pernah berhenti meneror. Kadang aku nggak habis pikir, berapa pun uang yang kukirim tiap bulan untuk Ayu pasti habis tak bersisa. Kupikir buat tabungan namun ternyata buat membeli barang-barang branded yang sekadar dijadikan pajangan semata. Diupload di sosial medianya agar dipandang wah oleh orang lain. Transfer banyak atau pun sedikit, tak ada bedanya sama sekali. Dia juga bakal minta jatah lagi dan lagi. Bahkan 15 juta yang kuberi seringkali habis belum pada waktunya. Tiap akhir bulan dia minta lagi sekian juta untuk sekadar makan bersama teman atau beli susu buat anak. Padahal sudah kuminta dia kasih A
Pov : Niken Rahayu (Ayu) Aku adalah anak tunggal. Bapak sudah pergi semenjak aku sekolah dasar. Aku dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja serabutan sebagai buruh cuci di rumah-rumah orang. Selain bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, ibu juga harus membayar hutang-hutang bapak yang dia tinggalkan. Sedih, kecewa dan kesal mungkin ibu rasakan, tapi apa mau dikata. Hutang tetap harus dibayar sebab tanggungjawabnya sampai akhirat. Ibu jelas nggak ingin bapak sengsara karena hutangnya di dunia belum terselesaikan. Sekalipun bapak tak pernah mempedulikan ibu, tapi ibu tetap dan mencintai dan menghormatinya sebagai suami. Ibu paham bagaimana kodrat seorang istri. Selama ini, kami hidup di bawah garis kemiskinan bukan karena ibu malas bekerja atau karena aku foya-foya, namun memang karena bapak kurang bertanggung jawab atas keluarga. Bahkan saat pergi pun harus menyisakan hutang puluhan juta yang ibu sendiri tak paham, uang-uang itu digunakan untuk apa. Bapak selal
Pov : Lisha Weekend. Hari ini aku ingin ke rumah papa. Sudah cukup lama aku tak menengoknya. Selain melepas rindu, aku juga ingin menenangkan pikiran. Sepertinya aku harus belajar mengontrol emosi karena boleh jadi mulai hari ini banyak masalah yang harus aku hadapi. Semua berawal dari Mas Dimas yang akan mengajak perempuan itu ke Jakarta. "Lisha ... besok Ayu sama anaknya datang ke sini. Kamu nggak apa-apa, kan? Kasihan dia jarang ketemu suaminya. Mungkin di rumah kesepian, makanya mau ke kota sekadar cari hiburan," ucap mas Dimas kemarin sore, saat aku duduk di gazebo belakang sembari membaca novel online. Aku memang tetap bersandiwara seperti biasanya. Pura-pura tak tahu dan tak kenal siapa Rahayu sebenarnya."Kamu bilang sekadar cari hiburan, Mas? Memangnya kamu pikir rumah ini tempat wisata? Lagipula di kampung bukannya ada ibunya? Kesepian gimana sih?" tanyaku sekenanya. Tak menoleh sedikit pun ke arah Mas Dimas sampai dia ikut duduk di sampingku lalu mencomot pi
Rencana pertama mengusir perempuan itu dari rumah ini berhasil. Mas Dimas benar-benar mengontrakkan Ayu di rumah Pak Burhan. Rumah di seberang jalan yang letaknya tepat di depan rumahku. Rumah itu adalah rumah Pak Burhan yang stroke pasca ditinggal pergi istrinya menghadap Illahi, hingga akhirnya dia memilih pindah ke Semarang untuk tinggal bersama anak sulungnya, sedangkan rumah ini di kontrakkan. Meski aku secara halus mengusir dia dari rumah ini, namun aku tak lantas mengacuhkannya sebagai tamu. Aku tetap meminta Bik Minah untuk melayani dan mempersiapkan kebutuhan makannya. Aku pun tahu bagaimana caranya memuliakan tamu, hanya saja aku memang kurang nyaman jika dia serumah denganku. Kalau soal shopping itu urusannya pribadi, aku tak mau tahu. "Sha, pinjam uangnya dulu lah buat ngontrakin Ayu tiga bulan. Ini cuma ada buat ngontrak dia sebulan," ucap mas Dimas pagi tadi. Enak banget main pinjam-pinjam segala. Selama ini juga dia bebas menggunakan uangnya, salah sendiri nggak