Remo baru saja keluar dari dalam kamar suaminya, dia baru saja mengobrol dengan pria paruh baya itu. Obrolan yang tidak terlalu penting, membicarakan bagaimana anggreknya mekar dan bunga-bunga lain yang suaminya cintai.Akhir-akhir ini kesehatan suaminya agak menurun, dia tidak berani menceritakan hal-hal buruk yang mengintai keluarga mereka pada pria itu. Tidak ingin kondisi suaminya jauh lebih buruk dari ini.Pernikahan mereka memasuki usia empat puluh tahun.Mereka menunggu kehadiran Tikta selama delapan tahun sebelum akhirnya bayi itu tumbuh di dalam rahimnya dan besar. Kehadiran Tikta yang melengkapi sepi dalam kehidupan mereka, Tikta adalah sumber kebahagiaan keduanya.Remo selalu berhati-hati selama mendidik dan membesarkan Tikta, selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak satu-satunya yang dia miliki meskipun mungkin apa yang dia dan suaminya lakukan adalah kesalahan sehingga Tikta tumbuh dengan membenci keduanya.Remo masuk ke dalam ruang kerja suaminya, menyusuri rak bu
Tikta menatap ponselnya, ini sudah kesekian kalinya dia mengabaikan pesan dari Gata. Tidak ada niatan baginya untuk membalas pesan, tidak juga ada rasa bersalah karena tidak membalasnya.Dia jadi bertanya-tanya, apakah benar dia ingin kembali kepada Gata setelah perceraiannya dengan Nina?Bohong kalau Tikta tidak mengerti apa yang tengah dia rasakan pada Nina. Dia bukan anak sekolah, bukan juga anak kemarin sore. Dia laki-laki dewasa. Tidak ingin memungkiri perasaannya tapi dia juga bingung dengan apa yang tengah ia rasakan.Rencana awal menikah dengan Nina hanyalah untuk menutupi kebobrokannya sebagai seorang biseksual, ingin kabur dari apa yang sudah ayahnya bebankan kepadanya.Tapi entah kenapa semakin bersama Nina, dia semakin terbiasa, rasa nyaman yang Nina timbulkan untuknya membuatnya ingin terus bersama wanita itu. Impian menjadi seorang ayah yang sejak dulu tidak pernah ingin dia wujudkan menjadi menggebu semenjak kehamilan Nina.Tidak ada lagi getaran yang dulu dia rasakan k
“Apa maksud kamu?” Tikta menatap tajam ke arah Gata yang kini juga menatapnya, pria itu tampak marah. “Sudah aku bilang, kamu tahu aku nekat. Aku akan pakai segala cara untuk tetap menjaga kamu disisi aku.” Gata bangun dari duduknya, mendekat ke arah Tikta. “Aku yakin kamu hanya sedang bingung sekarang, pernikahan bodoh ini membuat kamu kebingungan mana perasaan yang sebenarnya.” “Ga..” “Aku yakin kamu bahkan tidak mencintai Nina. Itu bukan cinta, kamu hanya kasihan padanya.” Gata mendekatkan dirinya pada Tikta, mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Tikta. Pria di depannya menghindar dengan wajah penuh kerut, ekspresinya tidak suka dengan perlakuan tersebut. “Berhenti melakukan hal buruk, saya sudah gak mau sama kamu.” Tikta berkata, menekankan setiap kalimatnya untuk meyakinkan Gata kalau apa yang tengah dia rasakan adalah valid. “Kalau begitu akan aku hancurkan semuanya…..” Gata menatap Tikta, bibirnya menampilkan senyum tipis yang menjijikan. “Bukan cuma keluarga kamu yang
Pertemuan pertama Tikta dan Gata adalah saat Tikta baru saja menyelesaikan kuliah S1. Dia diminta untuk meneruskan perusahaan oleh ayahnya.Saat itu pemberontakan sudah terjadi dalam diri Tikta, dia berkali-kali memohon pada ibunya untuk membujuk ayahnya agar berhenti memintanya untuk menjadi seorang penerus. Sayangnya, kedua orangtuanya tidak pernah mendengarkan bahkan mempertimbangkan.Mereka bukan tipikal orangtua yang menunjukkan afeksinya pada anak mereka.Tikta masuk ke perusahaan, pekerjaannya dia lakukan dengan baik meskipun setiap hari rasanya seperti neraka. Dia tidak menyukai semua hal yang berbau dengan pekerjaan ini, tidak ada alasan. Hanya baginya SSK FOOD merenggut kedua orangtuanya.Ya, alasan terbesar Tikta tidak ingin meneruskan SSK FOOD adalah karena perusahaan itu ‘merebut’ kedua orangtuanya.Sejak Tikta kecil, dia hanya diasuh oleh pengasuh. Ibu dan ayahnya selalu sibuk dengan berbagai kegiatan, seperti kegiatan amal, kegiatan kantor, atau bahkan promo. Kala itu m
Nina melirik lagi jam dindingnya, ini sudah pukul sebelas malam dan tidak ada tanda-tanda kepulangan Tikta. Dia sudah menghubungi pria itu berkali-kali tapi tidak ada jawaban bahkan Wisnu juga tidak mengangkat teleponnya.Nina gelisah.Tidak biasanya Tikta menghilang seperti di telan bumi.Dia meringis, memegangi perutnya. Sejak siang tadi entah kenapa perutnya terasa tegang dan nyeri, padahal tadi kata dokter semuanya baik-baik saja.Kemungkinan kelahiran bayinya jatuh di pertengahan bulan Mei.Bayi Nina sudah dalam kondisi bagus, masuk ke dalam ‘tempat yang tepat’ begitu kata dokternya. Beratnya sudah oke, jika harus melahirkan normalpun bisa di pertimbangkan.“Beratnya, tiga kilo..” Kata dokter, sedikit melirik Nina yang terkejut. Belum sempat Nina menjelaskan, ibu mertuanya sudah menyerobot menjelaskan.“Sudah diet kok dok, kita sudah bertemu dengan dokter gizi.. Tapi…Gak apa-apa ‘kan?” Tanya wanita paruh baya itu sambil sesekali menatap dokter dan tersenyum kecil, mencoba mencair
Catur memegang Nina ketika ibu mertua Nina melesak masuk ke dalam apartemen, Remo bersama dengan beberapa perawat mendekat dan segera membawa Nina.“Ini apa?” Catur bertanya ketika Nina akhirnya ditangani oleh beberapa perawat yang berusaha untuk membangunkan Nina.“Itu air ketuban, air ketubannya sudah pecah. Bayinya mau lahir.” Kata Remo menjawab dengan nada yang sedikit panik.Catur masih terdiam di tempat sedangkan Remo sudah masuk ke dalam kamar bayi, mengambil satu tas besar yang sejak kehamilan Nina masuk ke usia tujuh bulan sudah dia persiapkan. Dia tahu kelahiran bayi tidak bisa ditebak kapan, bahkan sekarang.Remo segera turun ke bawah bersama dengan Catur yang mengekor dengan panik.“Saya ikut ke Rumah Sakit.” Catur berkata sambil pergi menuju mobilnya.Remo tidak menjawab, dia masuk ke dalam ambulan. Hatinya tidak nyaman melihat pria itu berada disana, dia mencoba menelepon lagi Tikta. Tidak ada jawaban, Wisnu juga tidak menjawab pesannya atau telepon.“Erika, hubungi oran
“Kenapa gak ada satupun yang menghubungi gue?” Tikta bertanya di dalam mobil, Catur berada di sebelahnya. Setelah meninggalkan Gata sendirian, keduanya langsung berlari turun. Mereka bertemu dengan Wisnu yang baru saja mendapat kabar tersebut dari salah satu orang yang suruhan Erika.Ketiganya langsung pergi ke tempat parkir, Wisnu menyetir dengan segera.“Semuanya menghubungi lo, ponsel lo di tangan Gata dan gak bisa dihubungi.”Tikta langsung buru-buru mengecek ponselnya. Benar. Ponsel itu mati.Dia menyalakan ponselnya, benar saja pesan serta panggilan tidak terjawab banyak masuk. Kebanyakan dari Nina serta ibunya, dia menghela napas. Merasakan kebodohan yang memuakkan.“Nina harus segera di operasi, bayinya dalam kondisi bagus tapi untuk Nina sendiri dia sudah sangat kepayahan.” Catur berkata, menjelaskan situasi Nina pada Tikta meskipun dia tidak ingin.Tikta mendengarkan sambil mengecek pesan masuk d
Tikta menyelesaikan administrasi, mengisi beberapa formulir untuk pembuatan akta kelahiran dari Rumah Sakit. Bayinya tengah dibawa ke ruang bayi untuk sementara dan akan di kembalikan beberapa menit lagi, sedangkan Nina setelah selesai operasi berpindah ruangan ke kamar pemulihan sebentar, kini sudah kembali ke kamar rawat.“Nama bayinya boleh diisi disini pak.” Ujar petugas, menunjuk formulir lain yang harus Tikta isi.Dia menatap formulir itu, kemudian segera mengisi nama untuk bayinya.RAGNALA THOMI SAHASIKA.Nama yang dia dan Nina sudah pikirkan serta diskusikan berdua, nama yang terselip doa-doa untuk bayinya.Setelah menyelesaikan semuanya dia hendak kembali ke ruang rawat ketika netranya bertemu dengan sosok Catur yang masih duduk di pojok ruangan depan ruang rawat. Dia menghela napas, mendekat ke arah Catur.Catur menoleh dengan terkejut, dia tengah menatap ponselnya yang berisi foto bayi Ragnala di dalam box bayi.Tikta duduk di sebelah Catur, menatap jendela besar yang menam