Mata Nina terus mengikuti kemana Tikta pergi, ciuman hangat dan panas itu berhenti ketika tangan Tikta sudah mulai masuk ke bawah bajunya. Tangan besar itu tengah menggerayangi buah dadanya saat Ragnala menangis dengan kencang.Tikta seperti kembali pada sadarnya, meminta Nina menenangkan Ragnala sementara dia pergi keluar ruang kerja ayahnya.Sekarang mereka tengah berada di ruang keluarga, adik-adik dari ayahnya ingin berbicara dan Tikta duduk agak jauh darinya.Ragnala bersama pengasuhnya di kamar Tikta, bayi itu masih tertidur.“Om bicara mengenai hal ini bukan tidak menghargai bapakmu Ta, karena momennya sedang pas. Semuanya sedang kumpul.” Suara salah satu adik dari ayah Tikta terdengar, Nina mengalihkan pandangannya, berusaha mengikuti arah obrolan mereka.Di ruangan itu selain om dan tante Tikta, para menantu dan juga anak-anak mereka berada disana. Mereka seperti hyena yang mengintai mangsa untuk segera dihabiskan.“Tapi bapak baru saja dikuburkan beberapa jam lalu.” Kata Tik
Ragnala merengek di tengah malam, Nina terbangun, matanya masih terasa perih dan tubuhnya terasa kaku. Dia membuka matanya perlahan dan mendapati Tikta tengah berdiri, menggendong Ragnala dalam dekapannya dan memberikan bayi itu susu di botol.Tikta tidak mengenakan baju, hanya mengenakan celana boxer selutut, dadanya terbuka lebar dan terlihat begitu lapang serta seksi.Wajah Nina memerah, mengingat apa yang baru saja terjadi.Mereka melakukan hubungan intim, sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya akan terjadi. Apakah itu tandanya perasaannya bersambut pada pria itu?“Ah, giginya tumbuh lagi? Aga sudah mau delapan bulan, jam segini kebangun gak enak ya? Gusinya sakit?” Kini suara Tikta terdengar, berbicara dengan bayinya yang mulai menceracau dengan bahasa yang tidak dimengerti.“Jangan lupa sendawanya..” Ucap Nina, tersenyum lebar sambil duduk diatas kasur, tubuh telanjangnya dibalut oleh selimut.“Nah, ibu bangun tuh.” Tikta mendekat ke arah Nina, duduk di samping wanita
Remo membereskan semua pemberkasan kematian suaminya ditemani oleh Erika, semua yang berhubungan dengan rumah lama sudah dia pisahkan dan dia bersiap pindah. Seminggu telah berlalu semenjak kematian suaminya, dia berusaha mengumpulkan sisa akhir tenaganya untuk menata kehidupan baru.Tidak mudah melakukannya, namun waktu tetap berjalan meskipun dirimu sudah ditinggalkan.Dia baru saja masuk ke lobi Rumah Sakit dan disambut oleh beberapa orang petugas yang hari ini bertugas membantunya membereskan berkas-berkas.“Ada beberapa barang yang tertinggal di bawah kasur pak Ega, bu..” Salah satu petugas membawakan satu box tidak terlalu besar dan menyerahkannya pada Erika. Remo hanya mengangguk.“Berkas ini sudah keseluruhan ya?”Petugas itu mengangguk dan kemudian menjelaskan lagi pada Remo apa saja yang harus ditanda tangani dan diselesaikan.Remo melakukannya tanpa banyak bicara, perasaannya masih begitu campur aduk. Ada benarnya, pasangan kita setelah menikah adalah bagian dari diri kita
Tikta mendatangi kediaman ibunya dengan tergesa, dia sudah mendengar sedikit kilasannya dari Erika di telepon. Dia harus memastikannya sendiri, dia harus melihat apa yang ibunya miliki.Erika memberikan sinyal padanya ketika dia baru sampai ke rumah, memberitahu kalau ibunya ada di kamar.Pria itu membuka pintu kamar, mendapati ibunya tengah tertidur diatas kasur. Bahunya masih berguncang dengan kencang, dia menangis.“Bu..” Panggilnya pelan, dia mendekat dan ibunya menengadahkan kepala, memeluknya dengan kencang sambil menangis.“Ta, Tikta astaga!” Dia menangis dengan kencang, tubuhnya bergetar.Tikta tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar di telepon. Namun, ketika ibunya menyerahkan amplop, dia tahu kalau hal itu benar terjadi.“Ibu yakin Gata yang mengirimkan atau memberikannya pada bapakmu!” Pekik ibunya.Mata Tikta bergetar, dia tidak mampu berkata apapun melihat isi amplop tersebut. Entah kenapa perutnya terasa mual dan ada kemarahan yang terasa dari dalam dadanya. Semuany
Nina menatap pria yang kini duduk di dalam apartemennya, pria itu bertubuh cukup tinggi dengan bahu yang begitu lebar. Wajahnya terlihat tampan, bibirnya juga seksi, pria itu begitu tampan.Dia menanyakan Tikta ketika datang dan bertanya apakah bisa menunggunya di dalam. Nina tidak bisa menolak, dia takut orang tersebut adalah kenalan Tikta.“Minumnya..” Ucap Nina, menyajikan segelas teh hangat pada pria itu yang kemudian tersenyum lebar.Pria itu melirik ke arah belakang punggung Nina, Ragnala tengah duduk di kursi naik turun miliknya. Bermain dengan mainan yang menggantung.“Wah, putra Tikta sudah besar rupanya.” Ujarnya dengan suara ceria yang terkesan dibuat-buat, Nina menoleh ke arah Ragnala dan tersenyum.“Usianya baru masuk sembilan bulan.”“Oh ya? Sehat sekali nampaknya.” Gata berkata, menaruh cangkirnya ke meja setelah menyesapnya sedikit.Nina duduk agak jauh dari Gata dan mengangguk, “Puji Tuhan sehat, kemarin agak rewel karena giginya tumbuh.”“Tapi…Wajahnya tidak mirip Ti
Bagi Nina, kebersamaannya dengan Tikta sekarang sudah lebih dari cukup. Dia tidak berpikir hubungannya akan bertahan selamanya meskipun pada akhirnya Tikta mau menyambutnya dalam pelukan, bercinta berkali-kali sampai Nina merasa kalau perasaan mereka sama.Tidak mengapa jika perasaan keduanya tidak satu tujuan, yang penting bagi Nina saat ini adalah yang terbaik.Semuanya terasa biasa saja, meskipun hatinya masih takut kalau benar adanya Tikta hanya menjadikannya sebagai pelampiasan karena kepergian ayahnya.Pikirannya mengenai tunangan Tikta yang masih menghubungi pria itu dan keinginan pria itu untuk kembali pada si tunangan setelah bercerai dari Nina membuat wanita itu kehilangan kepercayaan diri. Dia harus tahu tempatnya di keluarga Sahasika, tapi kadang hatinya tidak mampu untuk menahannya.Dia mencintai Tikta.Dia menebak-nebak bagaimana mantan tunangan Tikta sehingga pria itu begitu menginginkannya.“Saya mantan tunangan Tikta, Gata Sambara.” Pria itu mengulurkan tangannya, mat
Dalam hidup Tikta, dia baru dua kali jatuh cinta.Satu dengan Gata Sambara dan kedua dengan Gianina Ekawira.Ketika dia jatuh cinta dengan Gata, dia sedang berada di titik terendahnya. Sesudah selesai berkuliah dan dia ingin melanjutkan ke jenjang atau ke pekerjaan yang dia inginkan, keluarganya menentang.Pertemuan dengan Gata membuatnya memiliki keberanian untuk menyuarakan pendapatnya, Gata adalah orang yang membuatnya berani mengambil keputusan, mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik serta bijak.Dalam urusan jatuh cinta, Tikta tidak memilih jenis kelamin.Baginya, cinta sebegitu murninya sehingga tidak ada batasan dalam mencintai.Rasa cintanya begitu besar pada Tikta sampai dititik dia merasa bahwa hubungannya sudah tidak baik-baik saja, semua yang Gata lakukan jadi hanya berpusat pada dirinya. Pria itu juga jadi terobsesi padanya, cinta itu berubah menjadi sebuah ketakutan.Dia bertahan sampai sepuluh tahun karena merasa bahwa Gata akan mengancam siapapun yang akan mendeka
“Tikta kemana?” Julie bertanya ketika Nina membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk, apartemen tampak hening dan tidak ada tanda-tanda orang selain Nina juga Ragnala yang kini mungkin tertidur di dalam kamarnya.“Tikta pergi ke apartemennya, gue cuma sama Aga.”Julie terdiam, di dalam pelukannya ada Kiran yang sudah tertidur. Dia kemudian meminta izin untuk menidurkan Kiran di dalam kamar Ragnala, Julie menutup pintu kamar Ragnala dengan perlahan dan melihat punggung Nina yang masih naik turun karena menangis.Di depannya ada amplop coklat yang Julie yakini sebagai ‘bukti’ yang Nina bicarakan di telepon tadi.“Nin..” Julie berjalan mendekat ke arah Nina, menepuk punggung sahabatnya.“Gue pengen penjelasan yang panjang, dan rinci..”Julie menghela napas dan mulai berbicara.“Gue tahu dari Catur kalau setiap lo mabok dia akan pakai lo, apapun alasannya gue rasa hal itu sudah gak benar. Catur sudah melewati batas, gue sempat bertemu dengan dia berdua saja waktu gue pertama kali tahu