Share

Tiga

Namun, tiba-tiba ...,  brak ....

Ponselku terlepas dari genggaman begitu saja, dan menimbulkan suara yang cukup nyaring.

"Apa itu?" ucap Dani tersentak.

Gegas kuambil ponsel yang terjatuh tersebut, lalu dengan cepat berlari ke kamarku agar Dani tidak mengetahui bahwa aku menguntitnya. Segera 'ku tutupi lagi tubuhku dengan selimut seperti semula. Nafasku terengah-engah karena berlari kencang sambil berjinjit agar tak menimbulkan suara.

Tak lama Dani pun datang. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di sampingku.

"Shania, kamu kenapa keringatan begini? Nafasmu terengah-engah dan badanmu dingin?" tanya Dani sambil mengusap keningku.

Jantungku berdebar makin kencang, semoga Dani tidak curiga denganku. Aku pun memilih untuk berpura-pura baru terbangun dari tidur.

"Eeeh ...  A-aku mengigil, Mas!" jawabku tak sepenuhnya berbohong. Karena pada kenyataannya tubuhku benar-benar menggigil karena menahan kesal teramat sangat padanya.

"Kamu sakit? Mau kuambilkan obat?" tanya Dani khawatir. Sepertinya aktingku berhasil. Dani sama sekali tidak curiga. Aku pun mengangguk mengiyakan. Dani pun kembali keluar kamar mengambilkan obat untukku.

Saat Dani tengah mengambilkan obat itu, kucoba melihat kondisi ponsel yang barusan terjatuh. Kucoba menyalakannya untuk melihat hasil yang barusan aku rekam. Namun, nahas layar ponselku pecah dan tak bisa menampilkan apa pun. Sia-sia saja apa yang telah aku lakukan barusan.

****

"Mas, semalam ..., ketika aku menggigil kedinginan, kamu ke mana?" tanyaku keesokan harinya saat kami tengah sarapan.

Aku memberanikan diri menanyakan padanya  ingin tahu jawaban apa yang akan diberikannya.

"Aku kan mengambilkanmu obat, Shania!" jawabnya polos.

"Bukan yang itu, tapi sebelumnya. Aku memanggil-manggil kamu, tapi kamu gak ada."

Dani tampak tersentak kaget saat aku bertanya. Mungkin tak menyangka  bahwa aku tahu ia tak ada di sampingku. Ia pun berdehem salah tingkah.

"A-aku ke ..., ke kamar kecil, Shan, kebelet," jawabnya tergagap tanpa sedikit pun melihat mataku.

"Tapi kok lama sekali?"

"Eh ... itu karena ..., aku kebelet buang air besar," jawabnya kali ini sambil menggaruk kedua tengkuknya.

Seperti dugaanku dia pasti akan mengelak. Ia akan mencari-cari alasan agar tak dicurigai. Sayangnya ponselku mati dan tak bisa menunjukkan langsung tentang apa yang kulihat semalam.

"Kamu masih gak enak badan, Shania?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Kalau masih gak enak badan, minta antar Salsa ke dokter nanti, ya!" lanjutnya lagi. Kentara sekali enggan membahas yang barusan lebih lama.

Kamu tahu, Mas, aku sudah tahu kebusukanmu dengan wanita itu karena aku semalam tidak tidur!

****

Seperti biasa sambil menunggu satu persatu karyawanku datang aku mempersiapkan pekerjaan hari ini. Bersiap untuk launching baju daster model terbaru yang memang kami lakukan hampir setiap bulannya.

"Assalamualaikum."

Kulihat Dewi dan Risa datang. Tatapanku langsung tertuju pada penampilan Risa kini. Tak kudapati lagi ia membawa tas branded yang kemarin dipakainya. Berganti menjadi tas yang biasanya ia pakai sehari-hari. Tas yang sudah cukup lusuh karena sering digunakannya.

Sebenarnya aku kesal melihat wanita berusia dua puluh tahunan di hadapanku ini. Tak kusangka kecil-kecil ia sudah menjadi seorang pelakor. Apa lagi ia berani bermain dengan suami bosnya sendiri yang telah dengan begitu baik mau memperkerjakannya di sini.

Ya, Risa-lah wanita yang semalam kulihat saat suamiku sedang video call. Ternyata benar dugaanku kemarin, Risa tak mungkin bisa membeli tas branded jika tak ada yang membelikannya. Dan Dani-lah orangnya yang telah memberikan pada Risa. Seperti ucapannya di telepon kemarin malam. Bahwa ia telah memberikan wanita itu sebuah tas persis milikku.

Kuperhatikan penampilan Risa dari ujung kaki ke ujung kepala. Tak ada yang menarik. Risa layaknya wanita pada umumnya. Rambutnya panjang tergerai, ia memakai kaos biasa dan celana jeans. Kulitnya kuning langsat, namun memang ia terlihat manis dengan lesung pipi dan juga gingsul di giginya. Merasa diperhatikan olehku, Risa pun pamit untuk melihat stok di kamar sebelah.

Seharian ini aku tak mau bicara dengan Risa. Sepanjang hari kucari-cari alasan apa yang tepat untuk memecatnya segera. Tak sudi lagi jika harus menampung seorang pelakor dan pengkhianat seperti dirinya.

Menjelang jam pulang kerja kuminta Risa untuk menghadapku. Sambil menunduk ia duduk tetap di depanku. Seperti seseorang di kursi pesakitan Risa duduk dengan gelisah.

"Risa, kuminta besok kamu tak usah masuk kerja," ucapku to the point.

Risa tersentak kaget. Ia menatap mataku dengan penuh kebingungan.

"Kenapa, Bu?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Kamu kupecat!" tegasku.

"Ta-tapi apa kesalahanku?"

"Kukira kamu tahu sendiri apa kesalahanmu," ucapku sinis.

"Ini gajimu bulan ini, dan ingat besok jangan kembali lagi ke rumah ini!" Kulemparkan sebuah amplop berisi sisa gajinya ke hadapannya.

"Bu, apa kesalahan saya? Kumohon jangan pecat saya. Saya benar-benar membutuhkan pekerjaan ini. Bagaimana adik-adik saya melanjutkan sekolah jika saya tidak bekerja?" Risa memelas sambil mengatupkan kedua tangannya.

Tak ada ras iba sama sekali untuknya. Melihatnya membuatku terus terbayang wajahnya yang kulihat semalam saat sedang video call dengan suamiku.

"Sudah pergi sana jangan kembali lagi. Aku sudah muak melihatmu!" usirku murka sembari pergi meninggalkan Risa. Biar dia memikirkan sendiri apa kesalahannya.

****

Kukira Risa akan mengadu pada suamiku soal pemecatannya. Maka aku pun bersiap jika nanti Dani mempertanyakan kenapa. Tapi tidak sama sekali, sepulang kerja barusan Dani bersikap biasa saja padaku.Sampai ketika kami sama-sama naik ke tempat tidur.

Nampaknya malam ini pun aku harus bersiap dengan kemungkinan Dani akan kembali berbincang dengan selingkuhannya lewat telepon. Sebuah ponsel baru telah kupersiapkan sementara ponsel yang lama masih di simpan di tempat servis.

Seperti dugaanku. Menjelang tengah malam, Dani kembali turun dari kasur. Kemudian ia berjalan mengendap-endap keluar kamar.

Sama seperti kemarin aku pun mengikutinya. Setelah beberapa lama ia keluar kamar. Segera aku menuju ruang tamu tempat biasa aku menguping suamiku. Namun kali ini nihil, Dani tak ada di teras depan sana.

Jantungku berdebar kencang. Di mana Dani berada? Sedangkan pintu ruang tamu pun dalam kondisi terkunci dari dalam dan kuncinya masih menggantung di tempatnya.

Aku pun mengelilingi rumah. Tak peduli lagi jika ketahuan Dani aku sedang menguntitnya. Namun lagi-lagi nihil, tak kutemukan ia di mana pun berada. Termasuk di kamar di mana kantorku berada.

Sempat putus asa aku berniat kembali ke kamar saja dan menghubunginya lewat telepon. Tapi tiba-tiba pandanganku tertuju pada pintu luar di dapur yang menghubungkan dengan tempat menjemur pakaian. Pintu itu sedikit terbuka. Ternyata Dani berada di luar sana.

Namun, tetap tak kudapati sosoknya. Malah aku menemukan sebuah kursi di luar sana yang menempel dengan tembok yang menghubungkan tembok rumahku dengan rumah Haya.

Kucoba naiki kursi itu, barangkali menemukan petunjuk. Jantungku berdebar kencang, kakiku mendadak lemas, saat kulihat sendal Dani ada di dalam rumah Haya, dengan pintu belakang Haya juga yang sedikit terbuka.

Dani ada di rumah Haya, apa yang tengah mereka lakukan tengah malam seperti ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status