Share

Tujuh

"Bapak memukuli Mas Dani, sampai babak belur." jawabnya singkat, wajahnya masih nampak bete. Barangkali ia merasa terganggu karena masalah ini membuat waktu tidurnya hilang. Salsa memang hobi tidur, dan sangat sulit dibangunkan. Pasti tadi ia juga di paksa ikut oleh Bapak dan Ibu kemari.

"Baguslah, aku malah berharap aku yang akan melakukannya," timpalku kesal.

*****

Kini aku sudah berada di rumah. Tepat pukul lima subuh kami beranjak pulang kembali. Rasanya aku ingin sekali beristirahat. Merebahkan tubuhku sebentar saja. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak tidur dengan benar.

Ayah sedang berada di luar bersama pihak RT dan RW. Entah apa yang sedang dibicarakan dan dilakukan mereka. Kuserahkan semua kasus ini pada Ayah. Karena aku sudah tak mau lagi memikirkannya.

Sementara itu ibu membuatkan segelas susu dan teh hangat. Ia juga memasangkan aromaterapi di kamar agar membuatku lebih nyaman, lalu membiarkanku beristirahat tanpa membahas masalah Dani lagi. Aku memang memintanya untuk tidak membahas apa-apa dulu. Aku butuh ketenangan agar bisa tahu apa yang harus dilakukan, terutama pada janin ini ke depannya.

Sementara itu Salsa memijit kakiku lembut, ia juga tak banyak bicara, hanya memandangku dengan tatapan ibanya, juga kantuk. Pastinya, masalah ini membuat semua orang menjadi tak beristirahat sama sekali.

Ayah tiba-tiba datang membuka pintu kamarku. Aku yang baru saja akan terlelap seketika terbangun.

"Ada telepon dari Emil, suami Haya!" ucapnya sambil menyodorkan sebuah telepon genggam yang entah milik siapa.

Dengan enggan aku menerimanya, lalu menempelkan ponsel itu ke telinga.

"Ya," ucapku pada orang di seberang sana.

"Bu Shania, ini saya Emil. Saya hanya ingin berkata, bahwa saya menyerahkan semua kasus hukum ini pada Anda saja. Saya baru akan pulang ke Indonesia sebulan lagi. Silahkan ambil keputusan yang terbaik bagi keluarga Bu Shania, walaupun itu berarti istri saya harus dipenjara!" ucap Pak Emil dengan tegas.

"Baiklah kalau begitu," jawabku lemah.

"Bu Shania, maafkan saya karena tak bisa menjaga dan mendidik istri saya sehingga semua ini harus terjadi," lanjut Pak Emil lagi.

"Hmm ...," jawabku malas, tak mau lebih banyak berbincang dengannya dan membahas masalah ini.

Karena tak ada lagi yang dibicarakan aku pun memberikan sambungan telepon pada Ayah kembali.

"Apa katanya?" tanya Ayah penasaran.

"Dia menyerahkan semuanya padaku, Yah!"

"Baiklah kalau begitu, Ayah dan pihak RW juga RT sini sepakat akan melaporkan suamimu dan wanita itu. Mereka harus mendapatkan pelajaran juga agar menjadi efek jera bagi yang lainnya," terang Ayah.

Ya ... kuserahkan saja semua padanya. Memang itu juga yang kuharapkan.

****

Setelah terlelap beberapa saat, tiba-tiba aku terbangun karena rasa mual yang teramat sangat. Gegas aku berlari ke kamar kecil, memuntahkan semua isi dalam perutku, hingga tak ada lagi yang bisa keluar. Tapi mualku masih saja ada, dan rasanya aku seperti akan mengeluarkan organ perutku sendiri.

"Shania, kamu baik-baik saja?"

Tiba-tiba saja Dani ada di sampingku ia seketika memijit tengkukku, lembut. Sungguh pijitannya membuatku merasa nyaman, tapi ... aku teringat dia adalah lelaki yang paling kubenci kini.

Kuhempaskan tangannya lagi, tak peduli rasa mualku.

"Jangan sekali-sekali lagi kamu menyentuhku!" bentakku kasar.

Kenapa pula dia masih ada di rumah ini? Kukira dia sudah mendekam di penjara sana. Lalu kemana orang-orang yang semalam berkumpul begitu banyak di rumahku? Kemana mereka semua dan malah membiarkan lelaki bus*k ini berkeliaran.

"Jangan marah-marah terus, Sayang. Tak baik untuk janinmu!" ucap Dani lembut seraya mendekatiku kembali.

"Persetan dengan janin ini! Aku tak inginkan benih dari lelaki sepertimu!"

"Shania, kamu tidak boleh bicara seperti itu! Aku tahu aku bersalah. Tapi, anak itu tidak bersalah!" tegasnya. Seakan dia benar-benar peduli saja. Memuakan.

Dani masih berusaha mendekatiku. Apa yang dia inginkan sebenarnya? Aku jadi takut dia akan berbuat yang tidak-tidak padaku.

Kulihat diujung meja dapur tergelatak sebuah pisau. Langsung saja kuambil pisau itu dan kuarahkan kepadanya.

"Jangan mendekat padaku! Aku tak segan-segan menusukmu!" ancamku, bersungguh-sungguh sambil terus berusaha menggenggam pisau di tangan erat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status