Share

04. Sakit Hati

"Halo, iya Mas ada apa?"

"Mama sudah memberikan tugas untukmu kan?"

"Iya Mas, sudah ini lagi mau menyiapkan bahannya dulu."

"Dengarkan baik-baik Aluna, Delia adalah tunanganku, dan aku akan segera menikahinya. Pilihan kamu ada satu bertahan dengan siap di madu atau kita bercerai, segera kamu pikirkan baik-baik, kamu pasti tidak mungkin memilih bercerai karena jika papa sampai tahu dia akan mengalami serangan jantung, jadi aku mohon jika Papa sampai tahu kalau aku menikah lagi kamu yang harus menjawabnya kalau kamu setuju untuk di madu, aku tidak perlu mengulanginya lagi kan?."

Belum juga Aluna menjawabnya, sambungan telepon itu terputus secara sepihak tanpa mengetahui setuju atau tidak. Matanya memerah dan terduduk kembali setelah mendapat kabar yang sangat menyakitkan hatinya.

“Ada apa lagi Neng?” tanya Mbok Asih penasaran.

“Nggak ada Mbok, Aluna mau ke kamar mandi dulu.”

“Perlu Sarah bantu Neng?”

“Nggak usah Mbak Sarah, aku bisa sendiri kok,” jawabnya pelan dan melangkah menuju ke kamar mandi.

Kasihan sekali Neng Aluna, dia itu menantu loh di rumah ini hanya karena nggak punya kaki, dia tidak dipedulikan hanya Pak Ardin saja yang peduli dengannya,” ucap Mbok Asih sedih setelah kepergian Aluna.

“Iya mereka itu aneh banget, wajahnya Neng Aluna itu cantik banget walaupun nggak pakai polesan, cuma dia nggak punya kaki sebelah mereka menganggapnya beban. Mbok tahu nggak sih kenapa kaki sebelah kiri Neng Aluna nggak ada? Sepertinya itu bukan cacat dari lahir deh?” selidik Sarah yang mulai penasaran.

“Mbok juga nggak ngerti, Mbok juga sih sependapat dengan kamu tetapi Mbok nggak enak mau tanya sama Neng Aluna," jawab Mbok Asih.

“Oh pantes saja ya Mbok Pak Sugeng dan Mbok Narsih anaknya tidak mau menjadi pembantu di rumah ini, ya cantik gitu, pasti menjadi santapan majikan setiap hari, pada nyosor deh ke dia, ujung-ujungnya mereka tidak akan bertanggung jawab, tetapi kalau Den Ardan tidak mungkin seperti itu kecuali Pak Ardi itu Mbok,” celetuknya asal.

“Kok, kamu tahu kelakuan si Pak Ardi, memang kamu pernah begituan sama dia, awas ya kamu macam-macam sama dia, jauhi orang itu, Mbok nggak suka sama dia,” gerutunya kesal sembari meninggalkan Sarah.

“Masa sih, tetapi Pak Ardi ganteng banget, siapa tahu nasibku sama seperti Neng Aluna menjadi istrinya Pak Ardi?” batin Sarah.

***

Aluna menutup pintu kamar mandi, dia lalu menyalakan keran air dan menangis histeris.

“Tidak Luna ... Kamu tidak boleh sedih, ini bukan akhir segalanya, kamu harus kuat, buktikan kalau kamu memang wanita tangguh. Benar kata Mas Ardan tidak ada pilihan lain karena papa sudah menganggapku seperti putri kandungnya sendiri, tidak mungkin aku begitu saja menyerah.”

Aluna membasuh wajahnya yang sembab, dan tidak mungkin juga dia hanya meratapi nasibnya yang malang. Setelah bisa berdamai dengan hatinya, Aluna membuka pintu kamar mandi dan sudah di tunggu oleh Mbok Asih dan Sarah.

Mbok Asih dan Sarah sangat peduli dengan Aluna, mereka teman curhat saat Aluna merasa kesepian dan butuh pelampiasan amarahnya.

“Ada apa?” tanya Aluna mendapati mereka yang masih menunggu Aluna keluar.

“Hanya memastikan kalau Neng Aluna nggak apa-apa,” jawab Mbok Asih tersenyum.”

“Aluna nggak apa-apa Mbok, Ayuk kita mulai kerja sudah setengah jam waktu kita terbuang.”

“Beres Neng, gitu dong semangat.”

Aluna menghilangkan dulu rasa kecewanya dengan Ardan. Dua harus bisa menyelesaikan empat hidangan utama dengan segera. Untung saja makanan kesukaan Delia tidak terlalu berat sehingga bagi Aluna itu hal yang mudah.

Dengan semangat Aluna bersama dua pembantu setianya mengeksekusi bahan yang sudah mereka sediakan, tentu saja masakan harus jad semua sebelum jam empat sore.

Aluna juga menambahkan camilan dan puding untuk sebagai makanan penutup. Mbok Asih dan Sarah sangat terpukau dengan kedua tangan Aluna yang begitu lihai menggunakan bahan yang tersedia menjadi sesuatu yang berbeda.

Sudah tiga jam mereka berkutat di dapur, dan sudah waktunya Sarah pergi ke sekolah Raina. Aluna ingin sekali datang ke sekolah Raina tetapi mereka tidak mengizinkannya.

“Neng Aluna mau ke sekolah Raina ya?” tanya Sarah ketika melihat wajah Aluna kembali bersedih .

Aluna mengangguk tetapi dia hanya tersenyum mengantarkan kepergian Sarah untuk ke sekolah.

“Ayok Sar, kita pergi nanti telat,” ujar Doni datang menghampiri Sari di dapur.

“Ada apa toh, aduh kalau Neng Aluna seperti ini Mas Doni nggak tega juga, bagaimana ini?” tanya Doni yang ikut merasa sedih juga.

“Sudah begini saja Neng Aluna ikut saja di dalam mobil, dan bisa melihat Non Raina, bagaimana?” usul Doni.

“Nggak usah, biar aku di rumah saja, kalian sudah banyak membantuku, aku nggak mau kalian juga kena marah dari mereka karena telah menolongku,” jawabnya tersenyum kecut.

“Sudah nggak apa-apa Neng, kasihan Non Raina dia ingin sekali kalau Neng Aluna datang, dia sudah tidak mempunyai ibu lagi dan jika Neng bersamanya dia pasti sangat bahagia.”

“Apakah Neng tidak ingin melakukannya demi Raina, dia butuh kasih sayang , dan dia sudah mendapatkan dari kamu Neng Aluna, ”jelas Mbok Asih bersemangat.

Aluna tampak ragu tetapi hatinya mau bertemu dengan Raina.

“Sudah cepatan sana, keburu Bu Rini dan Non Sari pulang dari shopping,” sahutnya lagi.

Mereka pun pergi ke sekolah Raina, sepuluh menit mereka sampai. Rasa dag dig dug di hati Aluna sehingga dia tidak mau turun dari mobil.

“Ayuk Neng kita ke luar,” ajak Sarah yang ikut menemani.

“Aku di dalam mobil saja, bagaimana jika ada yang mengenali aku dan orang itu memberitahukan kepada orang rumah dan mereka akan malu mempunyai menantu cacat seperti aku?”

“Lebih baik aku di sini saja dan melihatnya, kamu pergi sana dan katakan sama Raina aku ada di dalam mobil,” ujar Aluna tersenyum miris.

“Baik Neng, tunggu sebentar ya.” Sarah keluar dari mobil dan mencari Raina. Sekitar lima menit gadis kecil itu berlari dengan bahagia menghampiri mobil itu.

“Tante Aluna?”

“Iya Sayang, Tante ada di sini.”

“Ayuk ke dalam, acara nya sudah mau mulai,” ajak gadis kecil itu.

“Tidak, Tante di sini saja, Tante malu.” Rasa percaya diri Aluna kembali menciut saat mereka orang -orang itu berpakaian rapi dan berkelas.

“Tante, Raina mohon!” rengeknya. Jika sudah begini hati Aluna menjadi lunak tidak ingin mengecewakan gadis kecil itu yang sudah banyak memberikan cinta dan kasih sayang.

Dengan perlahan pintu mobil itu terbuka dan kaki kanan dia ayunkan mencari keseimbangan, tongkat penyangganya sudah keluar dari mobil.

“Ayuk Tante, ada Raina dan Mbak Sarah.” Raina memberikan semangat agar bisa keluar dibantu oleh Sarah untuk memapahnya.

Aluna yang anggun memakai gamis lebar panjang berwarna merah muda dengan warna hijab yang senada. Di tambah riasan tipis yang tetap terlihat cantik dan natural.

Semua orang akhirnya menatapnya sangat heran. Dan memperhatikan dari atas sampai bawah penampilan Aluna yang cantik dan anggun tetapi cacat.

“Rai, ini mamamu cantik tetapi kok nggak punya kaki, mamamu cacat ya?” tanya teman sekelas Raina saat mereka berpapasan.

“Hai teman-teman ternyata ibu barunya Raina cacat nggak punya kaki sebelah, hahaha,” tawa teman-temannya terdengar.

“Ma, lihat deh Raina dia mau kenalin ibu barunya tetapi nggak punya kaki, kasihan banget sih,” ucap Vivi temannya yang usil.

“Hus Vivi jangan begitu dong sama mamanya Raina, yang penting kan punya mama.”

“Maaf ya namanya juga anak-anak, tetapi benar juga sih kata Vivi, kamu pasti dari kalangan orang miskin soalnya pakaianmu biasa banget dan kakimu apakah cacat dari lahir ya?” tanya ibu itu sebab sedikit mengejek.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status