Share

Aku Dan Tuan Duke
Aku Dan Tuan Duke
Author: cyllachan

1. Bangsawan Bermata Biru

"My lord! Sakit!" keluhku. Dengan tak berdaya, aku berusaha mendorong-dorong bahunya yang keras dan pejal.

"Sial! Sempit sekali!" umpatnya. Kemudian berseri-seri kata kasar keluar dari mulut pria itu. Aku bisa melihatnya memejam sambil menggigit bibir bawah. Dia mengerang kecil. "Ngghh!"

Apa dia juga sama sakitnya denganku? Apa ini adalah siksaan pertamanya untukku? Jika menikah dengannya adalah mimpi buruk seperti ini, aku tidak akan sudi.

Nafasnya lembab dan berat, tidak karuan menghembus ke seluruh wajahku.

"Sa ....kit," lirihku masih.

Kepalanya telah tenggelam di sampingku. "Anya ... bertahanlah sebentar," bisiknya serak. Lalu ia mengulum daun telingaku, mengirim rasa merinding pada seluruh punggung. Suara nafasnya makin keras terdengar di telingaku.

Tubuh besarnya semakin menekan. Aku seperti berada di antara rahang serigala buas. Aku hanya bisa menatap langit-langit kamar gelap dengan merana. Hanya ada nafasnya yang berbalap, dan aku yang tak henti-hentinya merintih kesakitan. Kedua kakiku semakin gemetar.

Ia menaik-turunkan pinggulnya sembari aku bisa merasakan benda itu bergerak-gerak dalam tubuhku. Rasanya luar biasa perih. Kupikir ini akan memakan waktu seumur hidup. Kapan dia akan berhenti? Sampai kapan aku harus menahan rasa sakitnya?

"Suka atau tidak ... kini kau adalah istriku."

xxx

"Kenapa tidak Kakak saja yang menikahi si tua bangka itu?!" protes Seva. Aku bisa melihat gadis itu menangis dan meraung sejadinya.

"Berhentilah bersikap begitu, Seva! Aku melakukan ini untukmu!" bentakku.

Jujur saja, aku sudah muak pada sikap anak ini. Mungkin gara-gara dulu ayah begitu memanjakannya.

"Omong kosong! Kalau Kakak melakukan ini untukku, kenapa tidak Kakak saja yang menikah dengannya?!"

"Lalu kau bagaimana?! Memangnya orang tua seperti Marquess Gusev akan mengajak anak kecil sepertimu bersamanya?! Kalau aku yang pergi, kau akan di sini sendirian! Kau mau didatangi penagih utang terus?! Kau mau?! Hah?!"

Seva hanya bisa terisak. Sungguh, aku tidak mau memarahinya begini. Ini adalah hari terakhir kami bersama. Tapi ... aku harus membuatnya paham.

"Seva," kataku tenang. Aku meraih bahunya yang bergetar. "Marquess Gusev sakit-sakitan. Dia cuma butuh pewaris saja. Kau berikan anak untuknya, lalu setelah dia mati, kau bisa menikmati semua kekayaannya. Kau bisa beli gaun dan perhiasan sebanyak yang kau mau. Bukankah itu yang kau inginkan?" bujukku.

Seva merenung. Matanya masih basah di pelupuk, tapi isakannya berhenti. "Pernikahan tidak seindah yang ada di novel. Untuk orang-orang seperti kita, kita harus menikah agar bisa bertahan hidup. Kalau kau ingin cinta dari seorang pria, kau bisa mendapatkannya nanti. Sekarang ... aku ingin kau punya kehidupan yang baik, Seva."

Mata biru Seva menatapku nanar. "Aku ... takut Kak," rintih Seva.

"Maafkan aku ... Seva. Tapi hanya ini satu-satunya kesempatan kita untuk membawamu pergi dari sini."

"Lalu ... Kakak bagaimana?"

Aku cuma bisa menarik nafas dan mengembangkan senyuman palsu. "Jangan pikirkan aku," ucapku sambil menyeka air mata gadis itu.

Subuh-subuh berikutnya, pesuruh Marquess Gusev telah tiba di depan gerbang kediaman kami untuk menjemput Seva. Aku harus melepas kepergiannya dengan perasaan sesak. Seva Levitski adikku, gadis remaja yang baru saja mekar. Baru empat belas tahun. Tapi aku terpaksa menikahkannya dengan seorang bangsawan tua yang sekarat.

Itu adalah ingatan terakhirku akan Seva.

Sudah lima tahun berlalu. Dia sudah punya anak, dan benar saja kataku, Marquess Gusev tinggal menemui ajalnya. Seva juga sepertinya sedang jatuh cinta pada salah satu ksatria Marquess Gusev. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkannya.

"Sudah sampai, Madam," ucap kusir menyadarkanku.

Buru-buru aku turun dari kereta kuda, beserta koper kecil.

"Ehem Madam ...," tangan kusir langsung menengadah setelah dia membuka pintu kereta kudanya.

"O-Oh ... sebentar."

Tanganku merogoh dompet kecil dari saku gaun. Dari saku satu-satunya 'gaun terbaik' yang kumiliki!

Aku sudah hitung-hitung. Aku cuma bawa lima keping Lyrac dari rumah. Kuberikan satu keping untuk pria itu.

"Ini sire," lalu ia menatapku sambil mengerutkan dahinya.

Aku tahu yang dia pikirkan. Kakiku langsung melangkah pergi sebelum dia mencekalku. Aku bisa mendengarnya mendecak kesal lalu memacu kudanya kencang-kencang.

"Fuh. Maaf aku tidak bisa memberi lebih."

Kini ... aku membawa sebuah koper, melangkah menuju jalanan yang ramai di Kota Balazmir, ibukota wilayah Dukedom Korzakov. Subuh-subuh dua hari lalu aku berangkat dari kediaman, supaya aku bisa sampai di sini saat matahari belum tinggi. Saat toko-toko baru buka, hanya para pekerja kasar saja yang bangun pagi-pagi begini.

Bekalku cuma lima keping Lyrac yang sekarang sudah tinggal empat, berkas-berkas penting di koper, dan ... secarik surat dari Lord Korzakov.

"Lord Korzakov," gumamku.

Dari sini saja aku sudah bisa melihat istananya yang membumbung tinggi. Apa aku benar-benar akan menemui orang itu?

Siapa yang tidak tahu dia? Bahkan aku pun yang sudah lama tidak menghadiri pergaulan kelas atas bisa mendengar segala cibiran tentangnya. Padahal aku tinggal di pinggiran desa kecil. Tapi kabar itu berhembus bersamaan dengan angin-angin di sana.

'Lord Korzakov memukuli mantan istrinya!'

'Lord Korzakov suka sesama jenis!'

'Lord Korzakov suka memenggal orang!'

Sudah tersebar di seluruh Dukedom ini. Mungkin juga di seluruh Kekaisaran Levron.

Yang kutahu, dia adalah pria yang sangat kejam! Dia pernah mendapat julukan Dewa Perang Kekaisaran. Orang gila di medan perang! Gelarnya saja Lord of War! Dewa Perang!

Keluarga Korzakov adalah keluarga militer turun temurun yang mengabdi pada Tsar dan Tsarina, pemimpin kekaisaran ini. Singkatnya, semua kekuasaan mereka didapat bukan karena memiliki darah suci keluarga kekaisaran, tapi dari jasa-jasa pendahulunya untuk negara. Yaitu saat kakek Tsar Nikolai Romanov melakukan penaklukan-penaklukan negara lain. Dan kakek Lord Alexey Korzakov adalah yang paling berdedikasi dalam membunuh lawannya.

Untuk orang seperti dia, jelas saja dia akan memukuli istrinya. Tidak heran! Buah jatuh tak jauh dari pohon.

Terlepas dari itu semua, disinilah aku. Di depan gerbang tinggi kediaman keluarga Korzakov.

Pemandangan ini membuatku gemetar. Jika sesuatu terjadi padaku ... ah sudahlah. Pulang tidak pulang, tidak masalah. Tidak ada ruginya bagiku. Itu yang kupikir.

Saat melihat dari dekat, aku tak menyangka akan semenakjubkan ini.

Dulu sekali aku pernah menghadiri pesta Debyutanka di istana Tsar, pesta debut bagi para putra putri bangsawan yang mencari pasangan untuk menikah. Dan yang kudatangi ini ... tidak jauh berbeda dari istana kaisar!

Aku berdiri di sana tanpa berkedip.

"Hey! Madam! Kalau tidak ada urusan, pergi saja dari sini!" ketus penjaga dengan galak.

Seketika lamunanku pecah.

"Ah! Ma-Maafkan saya, sire. Tapi ... saya membawa surat undangan dari His Grace ... Lord Alexey Korzakov, The Duke of Korzakov."

Kedua penjaga itu saling berpandangan. Salah satunya menghampiriku.

"Aku tidak menerima perintah akan ada tamu hari ini," ucapnya dingin.

Dengan gugup, kukeluarkan surat terbungkus amplop yang ada di sakuku. Segel lilin merah dengan stempel kepala harimau sudah lepas, tapi aku simpan rapi. Barangkali dia tak percaya kalau itu dikirim oleh majikannya.

"Ini sire ...."

Pria itu mulai meraba kata-kata dalam surat. Memeriksa baik-baik keaslian segelnya.

"Tunjukkan tanda pengenalmu."

Aku merogoh sakuku yang lain. Cepat-cepat kuberikan sebuah pelat perunggu tanda pengenalku padanya.

"Levitski?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Saya ... Anya Levitski. Putri sulung mendiang Baron Levitski."

Dahinya mengerut. Ia memperhatikan sekelilingku, dan memandangku dari atas ke bawah. Aku bisa melihat tatapannya tengah menghakimi.

"Saya datang kemari sendirian," jelasku cepat-cepat.

Pasti aneh juga baginya. Bagaimana keluarga bangsawan sepertiku mengunjungi kediaman seseorang tanpa siapapun. Bahkan kereta kuda pun tidak ada. Aku tidak menyalahkan.

"Tunggu sebentar."

Ia membawa surat dan tanda pengenalku, lalu terlihat berdiskusi dengan kawannya. Kemudian salah satu dari mereka berlari masuk ke pelataran istana itu.

Mungkin hampir setengah jam aku berdiri menunggu dengan canggung bersama pengawal. Hingga seorang pria tua berpakaian rapi datang menghampiri gerbang.

"Lady Levitski?" tanyanya sopan. Suaranya begitu tenang dan berwibawa.

"Be-Benar sire."

"Saya sudah menerima pesan dari Lord Korzakov. Tapi ... sepertinya lady harus menunggu dulu."

Ah ... ya. Mungkin salahku yang datang terlalu pagi. Bangsawan mana yang mau bangun pagi-pagi? Cuma pekerja saja yang harus bangun subuh untuk ke ladang.

"Saya mengerti, sire. Pasti tuan Anda masih beristirahat. Saya akan datang lagi nanti."

"Sebenarnya-."

Kalimat pria itu terpotong. Kami berempat bisa mendengar suara gemuruh menghentak tanah dari jauh.

"Beri jalan! Beri jalan!" seru mereka.

Seketika penduduk yang berada di jalanan menyingkir semuanya. Memberi jalan pada pasukan berkuda yang berlari kencang menuju gerbang istana.

"Buka gerbangnya!" teriak pengawal di dekat gerbang. Benda berat itu berkerit terbuka seketika.

"Lady, sebaiknya kita minggir dulu."

Tanpa disuruh pun aku akan minggir. Kalau tidak aku sudah jadi gepeng.

Saat pasukan berkuda itu mendekat, aku bisa melihat mereka. Terlihat agak kacau, mungkin kelelahan. Tapi tubuh mereka masih terbalut baju zirah tebal nan kuat.

Ksatria yang paling depan dengan kuda putih besar, mungkin pemimpinnya. Pria itu mengangkat tangan kanan dan membuat satu kavaleri melambat.

Aku sadar sepenuhnya, kedua matanya yang dingin menatapku!

Ia menarik tali kekang hingga kudanya mengikik dan berhenti.

"Igor! Siapa ini?!" semburnya dengan suara jengkel.

Pria tua bernama Igor membungkuk sopan. "My lord, beliau adalah Lady Levitski."

"Levitski?" ia bergumam. Pandangannya yang kecut padaku belum berhenti. "Sergei! Ambil alih! Berikan mereka makan dan latihan satu jam lagi!"

"Baik my lord!" seru seorang pria yang mungkin bernama Sergei?

"Hiya!"

Selanjutnya mereka semua kembali memacu kuda memasuki pelataran istana yang dihiasi air mancur dan taman bunga.

Ini pertama kalinya aku melihat sebuah kavaleri ksatria. Kedatangan mereka membuat seluruh tubuhku merinding. Tapi ... yang membuatnya terasa lebih buruk adalah pria ini. Ia belum mengalihkan tatapan marah itu dariku.

Apa salahku? Apa aku sudah menghalangi jalannya?

Ia turun dari kuda. Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya pirang bersinar emas saat ditimpa cahaya mentari dengan beberapa tetes keringat. Rahangnya pejal dan keras, leher pria itu besar seperti batang kayu. Ia terlihat begitu gagah dengan baju zirah perak dan jubah biru laut di punggungnya. Wajahnya cukup tampan seperti pahatan para dewa di kuil Yunan. Tapi dengan wajah seperti itu pun tidak akan bisa memikat siapa-siapa.

Mata itu ... menyeramkan.

Kedua mata birunya memandangiku lekat-lekat. Hanya pada mataku. Itu cukup membuat seluruh tulang belakangku jadi kaku. Ujung-ujung jariku dingin dan gemetar ketika ia melangkah dekat. Ia menatapku seperti anjing pemburu yang siap mengoyak daging segar. Aroma kuat kulit binatang, kuda, dan keringat, aku bisa menciumnya dari pria ini. Sebuah aroma kelaki-lakian yang melimpah.

"Baru sekarang kau menjawab undanganku?" sarkasnya galak.

Mataku terbelalak.

'Jangan-jangan ....'

"L-Lord ... Korzakov?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status