Share

Luka itu

Tiga tahun sudah aku memegang janji seorang laki-laki, Asraf namanya. Seorang santri yang kukenal dari teman sekolahku. Dia pernah menjanjikan akad suci untukku, namun justru menikah dengan perempuan lain. Dia memberitahuku bahwa akan menikah sehari sebelumnya, dan tentu saja aku terkejut dengan hal itu, meski begitu aku tetap mengiyakan apa yang dia katakan. Hancur? Tentu saja, tapi apa yang bisa kulakukan? Ibu juga terkejut setelah mendengar apa yang kusampaikan, dengan air mata yang berderai dia menasehatiku untuk mengikhlaskannya, yang hanya kubalas dengan anggukan.

Beberapa bulan setelah dia menikah, Asraf kembali menghubungiku dan mengatakan bahwa dia tidak bisa jika harus berpisah denganku. Dia memintaku menjadi madu  bagi istrinya yang tentu saja membuatku bertanya apa sebenarnya yang dia inginkan? Jika dia memang benar mencintaiku lalu mengapa menikahi perempuan lain? 

Ibu marah mengetahui hal ini, dan memintaku untuk tidak lagi berhubungan dengan Asraf. Namun semuanya diluar kendaliku, Asraf mengancam akan melukai orang disekitarku jika aku memutuskan untuk benar benar pergi dari hidupnya. Tak ada pilihan lain, aku tau sifat dia yang tak pernah bermain-main dengan apa yang dia ucapkan. Diam-diam aku masih bertukar kabar dengan Asraf, meski dihantui perasaan bersalah pada ibu dan istri Asraf.

Tes, air mataku jatuh mengingat hal ini. Semakin lama aku tertekan dengan semua ini. ‘ya Allah, tolong aku’ rintih batinku.

Pertemuan tidak sengaja kemarin masih saja mengusik pikiranku, tentang bagaimana jika ibu tahu? Bagaimana jika istri Asraf tahu? Semuanya terus berputar dalam pikiranku. Aku takut jika pada akhirnya semua ini justru menambah rumit jalan hidupku.

“Zhia,” 

“Zhia ulfatul latifah!” panggil dosen itu lebih keras.

“Eh i-iya pak saya,” jawabku gagap karena terkejut.

“Kenapa kamu malah melamun? Disini bukan tempat untuk melamun tapi belajar,” ujar dosen itu dengan ketus.

“Iya pak, saya minta maaf,” lirihku sambil terus menunduk.

Ah akau merutuk dalam hati kenapa bisa-bisanya melamun saat mata kuliah dosen killer satu ini. Aku menghela nafas, semoga nilaiku baik-baik saja. Aku tidak ingin mengulang mata kuliah apalagi dengan dosen yang terkenal sadis ini.

Aku berkuliah disalah satu kampus negeri dikotaku, sebenarnya keinginanku bisa kuliah diluar kota namun ibu tak mengizinkan.

Kelas telah usai, aku menghela nafas panjang dibangku kantin, menelungkupkan wajah dan tangan diatas meja. Kebetulan kantin sepi jadi aku bisa leluasa.

“Zhia, besar juga nyali kamu ya, bisa-bisanya melamun saat mata kuliah dosen killer itu,” ucap Tiara sambil terkekeh.

Aku mendengkus kesal mendengar celotehnya. Tanpa menjawab ucapannya aku memesan bakso dan es teh manis pada ibu kantin.

“Bu, bakso sama es teh manis ya,” aku melihat ke arah tiara dengan ekspresi tanya ‘mau makan apa’

“Samain aja Zhi,” jawabnya

“Dua ya bu,” lanjutku pada ibu kantin yang dijawab dengan acungan jempol.

Aku kembali diam sementara Tiara sibuk dengan ponselnya. Kemudian dia menatapku dengan raut wajah bingung karena melihatku yang terus melamun.

“Zhi, ada apa?” tanyanya dengan serius.

Aku mendesah, merasa beban yang kubawa terlalu berat. Aku menatap tiara, dia masih setia menunggu jawabanku. Tak lama ibu kantin datang membawa pesanan kami, tiara langsung mengambilnya dan menambahkan saus serta sambal. Lalu perlahan dia memakannya, sementara aku hanya mengaduk-ngaduk makanan milikku.

“Kemarin aku bertemu dengan Asraf, tidak sengaja sih” lirihku sambil menatap bakso yang tidak membuatku berselera, tepatnya moodku yang tidak baik.

“Uhuk uhuk,” Tiara tersedak mendengar ucapanku.

“Hey pelan-pelan,” ucapku sambil menyodorkan es teh manis yang langsung disambut oleh tiara lalu meminumnya.

“Zhi,” panggilnya yang langsung membuatku mendongak.

“Tolonglah, jangan nyiksa diri kamu sendiri. Kamu nggak inget berapa bulan kamu sakit gara-gara dia nikah sama cewe lain? Apa karena kamu percaya sama ancaman dia jadi sampai hari ini kamu masi berhubungan sama dia?” ucapnya yang membuatku tak bisa berkutik karena apa yang dikatakan dia memang benar.

“Kamu jangan takut Zhi, ada aku disini.” Tambahnya dengan suara mulai pelan.

“Apa kamu masih belum bisa ikhlas lepasin dia Zhi ?” tanyanya yang membuatku terhenyak. Aku masih diam dengan pikiran yang berkecamuk.

“Zhi, Asraf udah nyakitin kamu. Bertahun-tahun kamu tungguin janji dia tapi apa yang kamu dapat? Cuma luka Zhi, luka. Aku nggak mau kamu terus terkungkung dalam masa lalu kamu, kamu berhak bahagia Zhi. Sudah dua tahun yang lalu dia  khianatin kamu. Ikhlasin dia,” lirihnya sambil terus menatapku.

Aku diam mencerna perkataanya. Ya, semua yang Tiara katakan benar, tidak ada yang aku dapat selain luka. Entah sampai kapan aku terbelenggu rasa yang salah dan ketakutan yang belum tentu terjadi. Ya aku salah karena apa yang kulakukan menyakiti banyak orang.

“Aku udah berusaha buat lepas dari dia, tapi sulit. Aku udah ganti nomor handpone, blok semua sosial media dia tapi percuma, dia selalu bisa menghubungi aku lagi.” ucapku hampir putus asa.

“Ra, aku udah ikhlasin semuanya kok. Ikhlas lepas dia, ikhlas sama apa yang terjadi dalam hidup aku. Cuma aku takut sama ancaman Asraf.” Lanjutku dengan pilu.

Tiara menghela nafas, kemudian memegang tanganku sambil menatap dengan lembut.

“Kamu hanya perlu percaya Zhi, semua akan baik-baik saja. Jangan takut, aku yakin Asraf cuma menekan kamu supaya menuruti apa yang dia mau. Aku akan selalu ada buat kamu, kamu percaya kan sama aku?”

Aku terdiam mendengar apa yang Tiara katakan, tidak menyangka dia akan sejauh ini untuk peduli padaku. Aku mengangguk mengiyakan apa yang dia katakan, air mataku luruh dengan haru, merasa bahagia karena ada seseorang yang begitu menyayangiku. 

“udah, jangan nangis terus dong nanti baksonya tambah asin tuh,” celoteh tiara yang berhasil membuatku tertawa.

Ting, ponselku berbunyi pertanda chat masuk. Aku mengambil ponsel kemudian membukanya, ternyata dia,,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status