Share

Siapa dia?

Ibu  memiliki warteg yang berada tidak jauh dari rumah, sebenarnya sudah ada karyawan yang menghandle semuanya yang tentu saja resep masakan tetap dari ibu, tapi ibu selalu ikut membantu. Ibu bilang bosan jika hanya memantau. Aku hanya bisa menyetujui permintaan ibu dan berpesan agar sampai jangan terlalu capek.

Aku berjalan menuju jalan raya untuk menunggu angkutan kota. Ya, aku memang berangkat ke kampus menggunakan angkutan kota, sebenarnya Tiara selalu menyuruhku menunggu saja dirumah dan dia yang akan menjemputku, namun aku terkadang selalu berangkat sebelum dia datang karena tidak ingin merepotkan dia.

Tidak lama kemudian angkutan kota datang, aku langsung melambaikan tangan meminta angkutan itu berhenti. Setelah berhenti aku langsung naik dan duduk dekat jendela.

Untuk bisa sampai ke kampus aku harus naik angkutan umum dua kali, jelas lebih lama dibandingkan mengendarai motor.

45 menit kemudian aku telah sampai, langsung kulangkahkan kaki ini menuju kelas. Masih sepi, aku keluar dan duduk ditaman kecil yang berada disamping kelas. Tidak lama kemudian terdengar seseorang yang memanggil namaku dari arah belakang.

Aku menoleh

“Zhi, ah kamu malah berangkat naik angkutan kota. Padahalkan bisa aku jemput,” ucap Tiara sambil mengerucutkan mulutnya pertanda kesal.

“Nggak papa, sekali-sekali biar ada yang beda,” balasku yang hanya membuat Tiara mencebik mendengarnya.

Kemudian dia ikut duduk disebelahku dan mengeluarkan bekalnya.

“Ra, semalam bang Ikhsan chat aku,” ucapku memulai cerita sedangkan Tiara mulai memakan bekalnya.

“Bilang apa dia?” 

Aku diam sejenak sebelum melanjutkan cerita

“Selamat malam Zhi, semoga perasaanku berbalas,” ujarku mengatakan chat yang dikirim oleh bang Ikhsan.

Tiara berhenti menyuapkan nasi ke mulutnya, dia menoleh ke arahku dengan ekspresi kaget bercampur bahagia. Sedangkan aku bingung dengan sikapnya itu.

Aku mengerutkan dahi dengan maksud bertanya ‘kenapa?’ padanya.

“Ekhem, Zhi dugaan aku benar. Aku udah tahu kalau bang Ikhsan ada perasaan lebih ke kamu, tapi aku tungguin dia dulu buat ngomong langsung ke kamu. Nah akhirnya,” ucap Tiara dengan sumringah.

Sedangkan aku hanya diam, bingung harus bersikap seperti apa. Lalu hatiku? Ah entahlah kurasa tak ada yang berbeda setelah mengetahui ini semua.

Tiara menyadari diamku, dia menarik tanganku dalam genggamannya.

“Hey, aku tau hati kamu masih terpaut sama siapa, tapi kapan kamu mau mengakhiri semuanya? Mungkin ini jalannya, cobalah menerima orang baru dalam hidup kamu. Cari bahagiamu Zhi,” ujarnya yang membuatku merenung.

Aku menatap Tiara, dia tersenyum. ‘haruskah aku mencoba?’ tanyaku dalam hati pada diri sendiri. Aku tetap diam sambil membalas senyum Tiara, aku tau dia mungkin tidak ingin melihatku terus terjebak dalam masa lalu.

Tiara melanjutkan memakan bekalnya, sementara aku terus memikirkan perkataan Tiara tadi. Dia benar, aku tidak mungkin terus seperti ini, terkungkung dalam masa lalu yang tidak akan ada habisnya.

Aku mendesah pelan, rasa takut menyeruak dalam hati. Takut jika Asraf berbuat sesuatu yang nekat dan semuanya bertambah rumit. 

Hatiku juga dilema, sejujurnya aku belum siap menerima orang baru saat ini, tapi perkataan Tiara menumbuhkan sedikit semangat untuk terlepas dari semua ini.

“Zhi, masuk yuk, kelas udah mau dimulai nih,” ucapnya yang membuyarkan lamunanku, aku hanya mengangguk pelan.

******

Aku duduk ditaman menunggu Tiara yang pergi ke toilet, kelas telah selesai 10 menit yang lalu dan rencananya kami akan ke perpustakaan kampus untuk mencari buku, sekaligus mengembalikan buku yang aku pinjam.

Disebrang tempatku menunggu duduk juga seorang lelaki yang tengah membaca buku, tempat duduk ditaman ini memang berbentuk lingkaran yang ditengahnya terdapat pohon, sehingga ketika matahari bersinar tempat ini tetap teduh. Meski aku dan lelaki itu berhadapan tapi aku tidak dapat melihat wajahnya karena terhalang buku yang dia baca.

Aku meraih buku juga dan kemudian membacanya. Tidak lama lelaki itu bangkit namun minuman miliknya tidak dibawa, ternyata dia hendak membuang sampah. Aku kembali melanjutkan kesibukanku tadi, sambil sesekali mencari Tiara yang belum juga kembali.

Tiba-tiba ada seseorang yang berjalan ke arahku, aku menoleh. Aku rasa dia yang tadi duduk disebrangku, karena memang aku belum sempat melihat wajahnya, namun baju yang dia kenakan sama. Dia duduk disebelahku, namun matanya tetap fokus pada buku yang dia baca. Dia meletakkan bukunya lalu tiba-tiba meraih minuman milikku. Ya, aku memang membeli minuman terlebih dahulu sebelum ke taman. Dia menenggak minumanku hingga tandas, aku hanya bengong melihat apa yang laki-laki itu lakukan.

“Ekhem maaf,” ucapku yang membuatnya melihatku.

Dia mengerutkan dahinya dengan ekspresi bertanya ‘ada apa?’

“Itu punyaku, kenapa kamu meminumnya?” tanyaku sambil menunjuk minuman yang dia pegang

Dia melihat minuman yang dia pegang, lalu pandangannya beralih pada minuman yang ada disebrang tampat kami duduk. Aku menduga itu minuman miliknya. 

“Hem? mungkin kamu yang salah, ini minuman milikku, dan yang ada disana itu milikmu” sangkalnya yang membuatku terkejut.

Bagaimana bisa aku yang salah, sedari tadi aku tidak bergerak dari tempat duduk. Jelas-jelas dia yang tadi bangkit lalu tiba-tiba duduk disebelahku dan mengambil minuman milikku.

“Maaf ya, aku bahkan nggak bergerak sedikitpun dari tempat ini, bukannya kamu yang tadi pergi untuk buang sampah terus tiba-tiba duduk disebelahku? Kenapa justru aku yang salah?” ujarku jengkel karena dia menyalahkanku untuk kecerobohan yan dia lakukan.

Dia diam, mungkin berpikir. Sementara aku sudah memasang wajah sebal atas apa yang terjadi. Dia memperhatikan botol minuman yang dia pegang, lalu melihat minuman yang disebrang sana, dia melakukannya beberapa kali. 

Lantas dia menoleh ke arahku sambil tersenyum kikuk, mungkin baru menyadari kecerobohannya. Aku hanya mendengkus kesal melihatnya.

“Eh iya ternyata ini milikmu, aku terlalu fokus membaca buku sampai nggak sadar dimana aku duduk, lagian minumannya sama jadi bukan salah aku dong.” ucapnya yang membuatku bertambah kesal.

Bukannya meminta maaf dia justru membela diri. Aku menoleh hendak berbicara padanya, namun sedetik kemudian aku menyadari sesuatu,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status