Cinta itu tak berupa tatapan satu sama lain, tetapi memandang keluar bersama ke arah yang sama.
~B.J. Habibie~
***
Darren sedang duduk di ruangan kerjanya, dengan satu tangan menopang dagunya. Di mejanya tampak setumpuk berkas menunggu jamahan tangannya. Namun entah kenapa hari ini pikirannya sangat kacau, yang ada di sana hanya Angela, Angela dan Angela. Bagaimana keadaan kekasihnya itu sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Ah, Darren sungguh sangat gelisah memikirkannya.
Jeremy dan Lusiana, dua orang staf yang dari tadi berdiri di depannya hanya bisa saling pandang bingung, karena Darren masih asik termenung dan tak juga menyentuh berkas-berkas yang mereka bawa. Ini tak bisa dibiarkan! Beberapa Clien penting akan segera datang, dan CEO mereka malah asik dengan fantasinya. Jeremy menggelengkan kepalanya.
"Bos," tukas Jeremy cukup membuat Darren tersentak, dia segera menurunkan tangannya dari dagunya lantas menengadah pada pria yang sedang berdiri di seberang mejanya itu. Darren tampak linglung seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya.
"Oh iya, ada apa ini? Kenapa kalian ada di sini?" pertanyaan macam apa itu? Jeremy menoleh pada Lusiana yang sedang mengulum senyumnya. Tampaknya Bos mereka itu benar-benar baru terbangun dari mimpinya sampai-sampai dia lupa jika dirinya dan Lusiana sudah berdiri sekitar lima belas menit, menunggunya untuk menandatangi beberapa berkas yang mereka bawa.
"Bos, kami datang untuk meminta tanda tanganmu. Proyek baru kita akan segera diresmikan lusa nanti, dan beberapa Clien penting dari Jerman akan datang siang ini," jawab Jeremy yang terpaksa mengulang ucapannya yang sebenarnya sudah ia ucapkan lima belas menit yang lalu.
Darren mengangguk, dia segera menyentuh beberapa berkas di depannya, dan memusatkan netranya untuk memeriksa semuanya. Jeremy menoleh pada Lusiana lagi, dan wanita itu memberinya senyuman masam.
Jemari putih Darren segera meraih sebuah bolpoint favoritnya yang bertandang manis di mejanya. bolpoint yang di belikan Angela saat mereka berlibur di Beijing dua bulan yang lalu. Bolpoint dengan warna gold dan terasa sangat nyaman saat digenggam itu di produksi oleh perusahaan alat tulis ternama di Beijing, China.
Angela membelikan bolpoint itu sebagai hadiah atas keberhasilan Darren yang telah memenangkan sebuah proyek besar kala itu. Bolpoint ringan dengan warna gold itu ia beli dengan harga 10 ribu dolar. Harga yang cukup mahal hanya untuk sebuah bolpoint, namun Darren memang menyukai barang-barang yang bernilai. Untuk membeli sehelai dasi pun dia rela mengeluarkan ribuan dolar, bahkan jutaan.
"Ada lagi?" tanya Darren sembari menanggah pada Jeremy.
"Tak ada bos, namun sebaiknya anda bersiap-siap karena para Clien dari Jerman itu sudah memasuki lobi kantor," jawab Jeremy dengan wajah sedikit cemas.
Darren mengangguk, tangannya masih menggenggam bolpointnya.
"Baiklah, kami permisi." Jeremy dan Lusiana segera pergi sambil membawa berkas-berkas yang baru saja Darren tanda tangani.
Darren menghela napas dan bersandar pada sandaran bangkunya. Dipandanginya bolpoint yang sedang ia pegang. Angela, dimana dirimu? Raungnya dalam hati.
***Sang surya mulai mencondongkan sinarnya ke upuk barat bertanda hari mulai petang. Di tepi jalan tampak seorang pria musisi jalanan yang sedang memainkan biolanya sambil bersenandung dengan bahasa Mexico yang pasih. Alunan musiknya sangat merdu dan syahdu, bahkan mendayu-dayu di telinga Xavia yang baru saja melintas di depannya dengan mobilnya.Xavia menoleh dari tepi jendela mobilnya, dia meminta sang sopir untuk berhenti sejenak. Dia ingin menghampiri musisi jalanan itu. Setelah mobil Limosin putih itu menepi, Xavia segera keluar di susul dua orang pria berpakaian rapi, mungkin pengawalnya. Mereka berjalan di belakang Xavia sambil pasang badan dan wajah sangarnya.
Xavia tersenyum hangat pada musisi jalanan itu. Usia pria itu sekitar 40 tahun, penampilannya sangat lusuh. Sepertinya pria itu bukan warga asli New York. Gurat wajahnya lebih mirip orang Mexico, pantas lagu yang dia mainkan pun menggunakan bahasa Mexico. Pria itu tersenyum padanya lalu sedikit membungkuk tanpa melepaskan biola yang bertandang di bahu kirinya.
"Sore, Tuan." Xavia menyapanya
"Sore, Nona." pria itu menjawab dengan ramah dan hormat.
Xavia tersenyum sebelum berkata, "Aku sangat menyukai lagumu, Tuan. Apakah kau orang Mexico?"
"Benar, Nona."
"Waw, aku sangat menyukai Mexico. Sewaktu kecil ayahku pernah mengajakku ke sana. Negaramu sangat indah, Tuan." Xavia tampak sangat senang. Pria itu merasa terharu mendengarnya.
"Terimakasi, Nona. Namun sudah lama sekali aku tak bisa kembali ke negaraku," ucap pria itu tampak sedih. Xavia menatapnya heran.
"Kenapa?" tanyanya.
Pria itu terdiam sejenak lalu berkata, "Aku tak punya uang untuk kembali, bahkan visa-ku ikut hilang di rampas perampok jalanan. Hanya biola ini yang aku miliki sekarang,"
Xavia membungkam mulutnya menahan tangisnya, matanya berkaca-kaca menatap pria itu. Benar, tak semua orang bernasib baik sepertinya. Pria ini tampak begitu memprihatinkan, namun dia sangat berbakat."Tuan, datanglah ke kantor ayahku. Aku akan membantumu untuk bisa kembali ke negaramu." Xavia menyodorkan sebuah kartu nama yang diraihnya dari dalam tas bredeetnya pada pria lusuh di depannya itu.
"Terimakasi, Nona." pria itu menerimanya tampak berbinar.Xavia mengangguk sambil mengusap kedua pipinya kemudian dia kembali merogoh pada tas mewah yang dipegangnya itu.
"Tuan, terimalah ini." Xavia menyodorkan sejumlah uang yang cukup banyak. Sejenak pria itu dibuatnya tertegum.
"Nona, ini terlalu banyak untukku," ucap pria itu tampak ragu, namun berharap. Xavia tersenyum
"Ambilah, ini rizkimu petang ini," ucap Xavia dengan sorotnya matanya yang tulus.
Pria itu tersenyum dan menerimanya.
Siapa sangka apa yang sedang Xavia lakukan di tepi jalan itu tertangkap oleh netra Darren yang kebetulan sedang berdiri di tepi jendela ruang meeting yang ada di lantai 5 kantornya. Sembari memegang gelas winenya pria itu mengulas senyum kagum atas apa yang dilihatnya di bawah sana.Bersambung..
Cinta itu burung yang indah, yang mengemis untuk ditangkap tapi menolak untuk dilukai. ~Kahlil Gibran~ *** Darren sedang duduk terdiam di ruangan metingnya yang tampak sunyi. Para staf utamanya dan juga para Clien penting sudah meninggalkan ruangan itu sejak sepuluh menit yang lalu. Ada rasa kesepian setiap kali dirinya sedang sendiri begini. Darren merindukan Angela yang tak juga memberinya kabar sejak dua hari terakhir. Entah dimana Angela berada sekarang. Darren hampir kehilangan akal karena nomer ponsel kekasihnya itu tak bisa dihubungi lagi. Darren menghembuskan napas kasarnya lantas menggelengkan kepalanya. Benar, pesta pertunangannya dengan Xavia tinggal beberapa hari lagi, namun Angela masih belum mengetahui hal itu, jika dirinya akan segera bertunangan dengan gadis lain. Punggung kokohnya bersandar pada bangkunya dengan kepalanya yang dibiarkan mendongkak ke atas, menatapi la
Xavia masih tampak asik dengan ponselnya. Darren menyingkap lengan jasnya, ternyata jarum arlojinya sudah menunjuk pukul lima sore. Astaga, ternyata dia sudah membuat Xavia menunggu hingga satu jam. Ah, Darren merasa tak enak hati. Dia segera bangkit dari bangkunya lalu melangkahkan tungkainya menuju pada Xavia. "Ehem," Darren mendaratkan bokongnya pada sofa di samping Xavia. Gadis itu menoleh padanya. Pendar mata keduanya bertemu, namun Darren buru-buru memalingkan pandangannya ke tempat lain. Xavia mengulas senyum kemudian dia menaruh ponselnya ke dalam tasnya, dan beralih memandangi pria yang tengah duduk di sampingnya itu. Darren sedikit gugup karenannya. "Hm, Xavia. Apakah kita bisa menemui ibumu sekarang?" tanya Darren dengan wajah datarnya. Xavia tertawa kecil mendengarnya. Tawanya sangat ceria dan begitu memesona. Darren sampai tertegum dibuatnya. "Kenapa tertawa?" tanyanya kemudian. Xavia menghenti
Darren menelan ludahnya. Peluh dingin berjatuhan di punggungnya. Bagaimana ini? Dia benar-benar kebingungan sampai tak bisa berpikir. Langkah Nyonya Altano sedikit cepat menuju pada Xavia yang sedang berdiri menyambutnya sambil memasang senyum. Nyonya Altano pun tak kalah bahagianya dapat berjumpa dengan puterinya di luar seperti ini, karena Xavia sangat sibuk dengan pemotretan dan lebih memilih tinggal di apartemen yang cukup jauh dari rumahnya. Darren sudah ketar-ketir dan tak berani beranjak dari bangkunya. Entah harus bagaimana dia menyembunyikan wajahnya dari Angela yang sedang berjalan di belakang Nyonya Altano. "Mama," pekik Xavia tampak sangat senang. Dia menyambut kedua tangan Nyonya Altano yang terulur kepadanya. Mereka pun berpelukkan begitu senangnya. Angela yang masih belum menyadari adanya Darren hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka. "Xavia, senang sekali bisa bertemu di sini? Dimana Dar
Setelah drama menangis tadi, akhirnya Darren berhasil membujuk Angela dan mengantar kekasihnya itu pulang. Sepanjang perjalanan Angela hanya memalingkan wajahnya pada kaca jendela mobil, ia tak ingin membuka obrolan dengan Darren yang sedang mengemudikan mobilnya menuju apartemennya. Setibanya di depan unit apartemennya Angela langsung masuk tanpa mempersilakan Darren lebih dulu. Namun Darren tetap mengikuti langkah Angela meski gadis itu tampak acuh padanya. Ya, terlalu dini bagi Angela untuk kembali bersikap seperti biasanya padanya. Darren bisa mengerti. Darren segera duduk di sofa tanpa Angela memintanya, karena gadis itu kini tengah berjalan menuju kamarnya. Satu jam berlalu, Darren masih duduk di sofa menunggu Angela dalam gelisahnya yang kian menjadi. Apakah kekasihnya itu takkan mau menemuinya lagi? Darren mulai berpikir. Apakah dia pulang saja sekarang? Pikirannya sungguh sangat gelisah dan kacau.
Angela segera bangkit dari ranjang. Ia meraih lingerie hitam yang tadi malam ia kenakan, lingerie itu terpulai di lantai karena Darren yang melemparnya ke sembarang arah semalam. Ah, Darren, mau kemana dia? Pikir Angela, langkahnya terayun cepat menuju ruang ganti. Tercium wangi parfum Darren yang menyeruak di ruangan itu. Sepasang netra Angela menemukan Darren yang sedang berdiri di depan cermin riasnya. Pria itu tampak sudah berpakaian rapi seperti akan berangkat ke kantor. Angela segera mendekatinya. "Sayang, apakah kau akan pergi ke kantor sepagi ini?" tanya Angela sembari mendekap tubuh Darren dari belakangnya. Kedua tangan mungilnya melingkar hingga dada bidang kekasihnya itu. Darren hanya tersenyum tipis. "Ya, Angela. Aku harus segera pergi sekarang. Ada meeting penting di kantor, aku tak ingin terlambat." Darren menaruh botol parfum mahal miliknya pada meja rias di depannya. Dia mengamati penampilannya dengan
Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong. ~Tere Liye *** Hari mulai gelap, Darren menatap pada arlojinya yang sudah menujukkan pukul tujuh malam. Mereka masih berada di resto dimana Darren mengajak Xavia untuk dinner. Pandangan Darren tertuju pada Xavia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, sedari tadi Darren merasa tak dianggap sama sekali. Dinner yang sangat buruk! Darren mengendurkan ikatan dasinya sembari bersandar pada bangku yang ia duduki. Sepasang netranya menoleh pada meja yang ada di sebelahnya. Tampak sepasang kekasih yang sedang menikmati dinner. Namun sangat berbeda dengannya, pasangan itu tampak sangat mesra sembari saling menyuapi satu sama lain, dan sesekali tertawa kecil pula bersamaan. Sial! Darren benar-benar kesal kali ini. Seumur hidupnya dirinya tak pernah berada pada situasi menyebalkan seperti sekaran
Di antara miliaran manusia, pasti Tuhan memiliki alasan mengapa kau dan aku dipertemukan. ~ Perahu Kertas ~ *** "Lepaskan, Darren!" Xavia berontak berusaha melepaskan dirinya. "Xavia, katakan padaku dulu. Kenapa kau bersikap dingin padaku? Aku yakin, ini bukan karena teman lamamu tadi, kan?" Darren menatap Xavia dengan lembut tanpa mengendurkan dekapannya atas tubuh sintal gadis itu. Xavia terdiam sejenak, dia memalingkan wajahnya dari pria di bawahnya itu. "Xavia, kumohon katakan. Aku paling tak suka dibeginikan oleh seorang gadis," lanjut Darren masih menatap Xavia sembari menikmati aroma wewangian yang ditimbulkan dari tubuh dan rambut panjang gadis itu. Xavia membasahi bibirnya lalu berkata, "Kenapa kau tak katakan padaku, jika kau sudah memiliki seorang kekasih, Darren." Xavia memasang wajah kesalnya. Darren membulatnya matanya lalu menelan salivanya dengan kasar. Tangannya mulai mengendur dari tubuh Xavia. Keduanya pu
Menjalin hubungan bukan berarti tanpa ada pertengkaran. Kita bertengkar, tapi setelah itu kita saling memaafkan dan mencintai satu sama lain, lebih dari sebelumnya.. (Quote) *** Xavia terjaga dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan, netranya terasa sangat perih dan sembab, mungkin karena dirinya menangis semalaman sampai akhirnya tertidur. Pupilnya samar-samar menatap pada jam besar yang berdiri di sudut kamarnya. Jarum pendek jam itu menunjuk angka empat, sedang jarum panjangnya hampir menunjuk angka enam, namun belum sempurna. Xavia segera bangkit dan duduk di tengah ranjangnya. Dia menetralkan tubuhnya dan mengingat apa saja yang telah terjadi sebelum akhirnya dia tertidur dengan bantalnya yang dibasahi air mata. Xavia menghela napas panjang, ya, dia mengingat semuanya. Termasuk sikap plin-plan Darren yang membuatnya sangat kesal. Ah, Xavia segera turun dari ranjangnya lantas berjalan menuju kamar m