Darren dan Xavia tampak sedang berbincang di depan pintu. Langkah Nyonya Hawk berhenti di depan Darren. Wanita itu tersenyum miring pada sang putera. Darren hanya terdiam dan menatap Nyonya Hawk dengan wajah dinginnya. Pupil Nyonya Hawk memutar pada Xavia tanpa memalingkan wajahnya dari Darren.
"Ayo kita pergi, Xavia. Apartemen Darren sangat kotor. Ada sampah yang berbau busuk di dalam sana. Sebaiknya kita pergi saja. Aku takut bau busuk itu hinggap di gaun mahalmu," gagas Nyonya Hawk pada Xavia, namun wajah sinisnya tertuju pada Darren. Pria itu hanya memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Dia cukup paham dengan apa yang dimaksud oleh ibunya.
Xavia hanya tersenyum. Dia menatap Darren dengan wajah gemasnya. Tidak mungkin pria tampan di depannya itu begitu jorok seperti yang dikatakan ibunya tadi. Jika benar, maka ini merupakan tugasnya untuk membenahi sipat buruk calon suaminya itu.
"Ayo Xavia." Nyonya Hawk segera merangkul bahu Xavia untuk segera pergi. Xavia hanya melempar senyum pada Darren dan mulai memutar tubuhnya. Namun Nyonya Hawk tiba-tiba kembali lagi pada Darren. Sepertinya dia harus menekan puteranya itu lebih dulu.
"Darren, cepat kau buang jauh-jauh sampah busuk itu. Mengerti?" cetus Nyonya Hawk sambil mencondongkan wajahnya pada Darren. Pupilnya melebar dengan sorot matanya yang tajam.
Darren sampai menelan ludahnya. Xavia hanya memandangi dari agak jauh. Dia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis melihat Darren yang sedang dimarahi ibunya karena ia lupa membuang sampah.
Nyonya Hawk mendengkus kesal pada Darren sebelum kemudian memutar tubuhnya menuju Xavia. Mereka pun berlalu pergi. Darren menghela napas kasar sembari mengusap dadanya. Untuk kesekian kalinya ibunya itu menekan dirinya untuk meninggalkan Angela.
Setelah menutup pintu Darren memutar tubuhnya dan berjalan menuju kamarnya. Netranya membulat sempurna melihat Angela yang sedang memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper yang berada di atas ranjang. Dengan langkah setengah berlari Darren segera menghampiri gadis itu.
"Angela, apa yang sedang kau lakukan? Apa ibuku mengatakan sesuatu padamu?" Darren bertanya sambil memasang wajah cemasnya pada Angela. Namun gadis itu tak menjawab, tak juga menoleh padanya. Angela tampak semakin cepat membenahi semua pakaiannya ke dalam koper.
Darren mencekal lengan Angela yang sedang menarik restleting kopernya. Wanita itu menoleh padanya dengan matanya yang tampak berkaca-kaca. Darren menatapnya hampa.
"Angela, kau habis menangis? Katakan padaku, apa yang sudah ibuku katakan padamu? Aku mohon Angela." Darren menatapnya lembut sambil menggenggam jemari Angela di dadanya.
Angela memalingkan wajahnya dengan perasaannya yang sangat bergejolak. Melihat wajah Darren sekarang sungguh membuatnya semakin perih.
"Lepaskan, Darren. Aku harus pergi." Angela menarik tangannya dengan kasar.
Darren menatapnya heran sekaligus kaget. Angela tak berkata apa pun lagi. Dia hanya mengusap kedua pipinya dan segera menarik kopernya untuk segera pergi. Derap langkah wanita itu mulai meninggalkan kamar sambil menyeret kopernya. Darren mengejarnya dengan kecemasan yang membuatnya hampir gila.
"Angela, tunggu!" Darren berhasil menghadangnya.
Angela hanya terdiam dan memalingkan wajahnya, menghindari kontak mata dengan pria di depannya itu. Darren mulai mendekat.
"Aku akan mengantarmu," ucap Darren sambil menatap wajah cemas Angela dengan sorot hangat netranya.
Angela masih terdiam. Sejenak kemudian dia mulai menanggah pada pria jangkung di depannya itu.
"Biarkan aku pergi, Darren. Aku mohon..," desah Angela. Suaranya terdengar serak. Tamparan Nyonya Hawk tadi bukan hanya melukai pipinya, tapi juga bathinnya yang terdalam. Tak ada harapan lagi baginya untuk bisa bersama Darren Hawk. Dia tak ingin semakin terluka karena rasa cintanya pada pria itu. Angela sadar, dirinya hanya bagaikan pungguk yang merindukan rembulan saja. Dan itu sangat menyakitkan.
Darren hanya terdiam memandangi wajah Angela yang tampak pucat. Dia dapat melihat ada beban yang sangat berat yang sedang dipikul oleh wanita itu. Mungkin Nyonya Hawk sudah mengatakan sesuatu yang membuat Angela sangat terluka. Apakah rencana pertunangan dirinya dengan Xavia? Darren mulai curiga.
"Angela kumohon," pinta Darren masih menggenggam jemari gadis itu dengan eratnya. Dia masih berusaha untuk menahan Angela. Namun Angela segera membuka jemari Darren yang membungkus jemarinya. Perlahan genggaman itu mulai mengendur. Darren menatap Angela dengan wajah yang sedang diliputi kecemasan.
"Biarkan aku pergi, Darren. Berhentilah menyiksaku. Kumohon," lirih Angela dengan air matanya yang tak bisa tertahankan lagi.
Manik mata Darren membulat hampa. Angela segera memalingkan wajahnya dan berjalan melewati sampai menyenggol bahu Darren yang masih berdiri mematung.
Darren menjatuhkan lututnya pada lantai. Kedua tangannya mengusap kasar wajahnya. Kemudian mengacak-acak rambutnya. Untuk pertama kalinya ia melihat Angela sangat hancur. Dan bukan hanya Angela, hatinya pun sangat perih karenanya. Apa yang sudah ibunya katakan pada Angela sampai-sampai membuat kekasihnya itu sangat terluka, namun Darren tak mungkin menyalahkan ibunya. Dia tak punya nyali untuk itu.
"Angela maafkan aku," sesal Darren dengan perasaannya yang sangat berkecamuk kacau balau.
Rasa cintanya memang sangat besar pada Angela. Namun dirinya tak mungkin bisa melawan ibunya. Darren merasa sedang dihadapkan pada sebuah dilema dan cinta yang rumit. Akan sanggupkah dirinya bertahan? Ataukah ini adalah saatnya dimana hubungannya dan Angela memang harus berakhir.
Bersambung..Cinta itu tak berupa tatapan satu sama lain, tetapi memandang keluar bersama ke arah yang sama. ~B.J. Habibie~ *** Darren sedang duduk di ruangan kerjanya, dengan satu tangan menopang dagunya. Di mejanya tampak setumpuk berkas menunggu jamahan tangannya. Namun entah kenapa hari ini pikirannya sangat kacau, yang ada di sana hanya Angela, Angela dan Angela. Bagaimana keadaan kekasihnya itu sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Ah, Darren sungguh sangat gelisah memikirkannya. Jeremy dan Lusiana, dua orang staf yang dari tadi berdiri di depannya hanya bisa saling pandang bingung, karena Darren masih asik termenung dan tak juga menyentuh berkas-berkas yang mereka bawa. Ini tak bisa dibiarkan! Beberapa Clien penting akan segera datang, dan CEO mereka malah asik dengan fantasinya. Jeremy menggelengkan kepalanya. "Bos," tukas Jeremy cukup membuat Darren tersentak, dia segera menur
Cinta itu burung yang indah, yang mengemis untuk ditangkap tapi menolak untuk dilukai. ~Kahlil Gibran~ *** Darren sedang duduk terdiam di ruangan metingnya yang tampak sunyi. Para staf utamanya dan juga para Clien penting sudah meninggalkan ruangan itu sejak sepuluh menit yang lalu. Ada rasa kesepian setiap kali dirinya sedang sendiri begini. Darren merindukan Angela yang tak juga memberinya kabar sejak dua hari terakhir. Entah dimana Angela berada sekarang. Darren hampir kehilangan akal karena nomer ponsel kekasihnya itu tak bisa dihubungi lagi. Darren menghembuskan napas kasarnya lantas menggelengkan kepalanya. Benar, pesta pertunangannya dengan Xavia tinggal beberapa hari lagi, namun Angela masih belum mengetahui hal itu, jika dirinya akan segera bertunangan dengan gadis lain. Punggung kokohnya bersandar pada bangkunya dengan kepalanya yang dibiarkan mendongkak ke atas, menatapi la
Xavia masih tampak asik dengan ponselnya. Darren menyingkap lengan jasnya, ternyata jarum arlojinya sudah menunjuk pukul lima sore. Astaga, ternyata dia sudah membuat Xavia menunggu hingga satu jam. Ah, Darren merasa tak enak hati. Dia segera bangkit dari bangkunya lalu melangkahkan tungkainya menuju pada Xavia. "Ehem," Darren mendaratkan bokongnya pada sofa di samping Xavia. Gadis itu menoleh padanya. Pendar mata keduanya bertemu, namun Darren buru-buru memalingkan pandangannya ke tempat lain. Xavia mengulas senyum kemudian dia menaruh ponselnya ke dalam tasnya, dan beralih memandangi pria yang tengah duduk di sampingnya itu. Darren sedikit gugup karenannya. "Hm, Xavia. Apakah kita bisa menemui ibumu sekarang?" tanya Darren dengan wajah datarnya. Xavia tertawa kecil mendengarnya. Tawanya sangat ceria dan begitu memesona. Darren sampai tertegum dibuatnya. "Kenapa tertawa?" tanyanya kemudian. Xavia menghenti
Darren menelan ludahnya. Peluh dingin berjatuhan di punggungnya. Bagaimana ini? Dia benar-benar kebingungan sampai tak bisa berpikir. Langkah Nyonya Altano sedikit cepat menuju pada Xavia yang sedang berdiri menyambutnya sambil memasang senyum. Nyonya Altano pun tak kalah bahagianya dapat berjumpa dengan puterinya di luar seperti ini, karena Xavia sangat sibuk dengan pemotretan dan lebih memilih tinggal di apartemen yang cukup jauh dari rumahnya. Darren sudah ketar-ketir dan tak berani beranjak dari bangkunya. Entah harus bagaimana dia menyembunyikan wajahnya dari Angela yang sedang berjalan di belakang Nyonya Altano. "Mama," pekik Xavia tampak sangat senang. Dia menyambut kedua tangan Nyonya Altano yang terulur kepadanya. Mereka pun berpelukkan begitu senangnya. Angela yang masih belum menyadari adanya Darren hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka. "Xavia, senang sekali bisa bertemu di sini? Dimana Dar
Setelah drama menangis tadi, akhirnya Darren berhasil membujuk Angela dan mengantar kekasihnya itu pulang. Sepanjang perjalanan Angela hanya memalingkan wajahnya pada kaca jendela mobil, ia tak ingin membuka obrolan dengan Darren yang sedang mengemudikan mobilnya menuju apartemennya. Setibanya di depan unit apartemennya Angela langsung masuk tanpa mempersilakan Darren lebih dulu. Namun Darren tetap mengikuti langkah Angela meski gadis itu tampak acuh padanya. Ya, terlalu dini bagi Angela untuk kembali bersikap seperti biasanya padanya. Darren bisa mengerti. Darren segera duduk di sofa tanpa Angela memintanya, karena gadis itu kini tengah berjalan menuju kamarnya. Satu jam berlalu, Darren masih duduk di sofa menunggu Angela dalam gelisahnya yang kian menjadi. Apakah kekasihnya itu takkan mau menemuinya lagi? Darren mulai berpikir. Apakah dia pulang saja sekarang? Pikirannya sungguh sangat gelisah dan kacau.
Angela segera bangkit dari ranjang. Ia meraih lingerie hitam yang tadi malam ia kenakan, lingerie itu terpulai di lantai karena Darren yang melemparnya ke sembarang arah semalam. Ah, Darren, mau kemana dia? Pikir Angela, langkahnya terayun cepat menuju ruang ganti. Tercium wangi parfum Darren yang menyeruak di ruangan itu. Sepasang netra Angela menemukan Darren yang sedang berdiri di depan cermin riasnya. Pria itu tampak sudah berpakaian rapi seperti akan berangkat ke kantor. Angela segera mendekatinya. "Sayang, apakah kau akan pergi ke kantor sepagi ini?" tanya Angela sembari mendekap tubuh Darren dari belakangnya. Kedua tangan mungilnya melingkar hingga dada bidang kekasihnya itu. Darren hanya tersenyum tipis. "Ya, Angela. Aku harus segera pergi sekarang. Ada meeting penting di kantor, aku tak ingin terlambat." Darren menaruh botol parfum mahal miliknya pada meja rias di depannya. Dia mengamati penampilannya dengan
Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong. ~Tere Liye *** Hari mulai gelap, Darren menatap pada arlojinya yang sudah menujukkan pukul tujuh malam. Mereka masih berada di resto dimana Darren mengajak Xavia untuk dinner. Pandangan Darren tertuju pada Xavia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, sedari tadi Darren merasa tak dianggap sama sekali. Dinner yang sangat buruk! Darren mengendurkan ikatan dasinya sembari bersandar pada bangku yang ia duduki. Sepasang netranya menoleh pada meja yang ada di sebelahnya. Tampak sepasang kekasih yang sedang menikmati dinner. Namun sangat berbeda dengannya, pasangan itu tampak sangat mesra sembari saling menyuapi satu sama lain, dan sesekali tertawa kecil pula bersamaan. Sial! Darren benar-benar kesal kali ini. Seumur hidupnya dirinya tak pernah berada pada situasi menyebalkan seperti sekaran
Di antara miliaran manusia, pasti Tuhan memiliki alasan mengapa kau dan aku dipertemukan. ~ Perahu Kertas ~ *** "Lepaskan, Darren!" Xavia berontak berusaha melepaskan dirinya. "Xavia, katakan padaku dulu. Kenapa kau bersikap dingin padaku? Aku yakin, ini bukan karena teman lamamu tadi, kan?" Darren menatap Xavia dengan lembut tanpa mengendurkan dekapannya atas tubuh sintal gadis itu. Xavia terdiam sejenak, dia memalingkan wajahnya dari pria di bawahnya itu. "Xavia, kumohon katakan. Aku paling tak suka dibeginikan oleh seorang gadis," lanjut Darren masih menatap Xavia sembari menikmati aroma wewangian yang ditimbulkan dari tubuh dan rambut panjang gadis itu. Xavia membasahi bibirnya lalu berkata, "Kenapa kau tak katakan padaku, jika kau sudah memiliki seorang kekasih, Darren." Xavia memasang wajah kesalnya. Darren membulatnya matanya lalu menelan salivanya dengan kasar. Tangannya mulai mengendur dari tubuh Xavia. Keduanya pu