Cinta itu burung yang indah, yang mengemis untuk ditangkap tapi menolak untuk dilukai.
~Kahlil Gibran~
***
Darren sedang duduk terdiam di ruangan metingnya yang tampak sunyi. Para staf utamanya dan juga para Clien penting sudah meninggalkan ruangan itu sejak sepuluh menit yang lalu.
Ada rasa kesepian setiap kali dirinya sedang sendiri begini. Darren merindukan Angela yang tak juga memberinya kabar sejak dua hari terakhir. Entah dimana Angela berada sekarang. Darren hampir kehilangan akal karena nomer ponsel kekasihnya itu tak bisa dihubungi lagi.
Darren menghembuskan napas kasarnya lantas menggelengkan kepalanya. Benar, pesta pertunangannya dengan Xavia tinggal beberapa hari lagi, namun Angela masih belum mengetahui hal itu, jika dirinya akan segera bertunangan dengan gadis lain.
Punggung kokohnya bersandar pada bangkunya dengan kepalanya yang dibiarkan mendongkak ke atas, menatapi langit-langit bernuansa gold di sana yang tampak indah dengan ukiran-ukiran halus. Namun bukan itu yang tampak di matanya saat ini. Darren justu melihat wajah Angela dan Xavia yang muncul secara bergantian seperti sebuah video pendek. Dia segera mengerjapkan matanya berulang kali lalu menggelengkan kepalanya.
"Astaga, apa-apaan ini? Aku bisa gila bila terus begini," pekiknya kesal sambil mengacak-acak rambut dark brownnya yang tampak lurus dan licin.
"Aku harus mencari Angela. Ya, aku harus mencarinya," ucap Darren lagi dengan wajahnya yang tampak frustasi.
Darren memang sedang sangat pusing dengan dua wanita yang kini mengisi hidupnya. Angela sudah lebih dulu memasuki relung hatinya, bahkan dia sangat mencintainya. Namun Xavia adalah gadis pilihan orang tuanya, dan sepertinya gadis itu pun mulai jatuh hati padanya. Ah, bukannya Darren terlalu percaya akan dirinya, namun dia bisa melihat cinta di mata indah Xavia untuknya.
Sekarang dirinya sangat dilema. Siapa yang harus ia pilih, menikahi Xavia sesuai keinginan orang tuanya? Atau tetap memperjuangkan cintanya pada Angela yang tak mungkin mendapatkan restu dari orang tuanya, terutama ibunya yang sangat membenci kekasihnya itu.
~Pilihan yang teramat sulit.
"Bos." suara Jeremy membuat Darren sangat kaget. Sampai-sampai dirinya yang sedang melamun langsung terperanjak. Jeremy pun ikut terkejut karenanya. Tentu saja dia takut jika bosnya itu merasa terganggu akan kehadirannya yang tiba-tiba.
"Maafkan aku, Bos. Aku sudah membuatmu kaget," sesal Jeremy segera membungkuk memohon maaf.
"Tak apa Jeremy. Aku memang sedang tak fokus tadi," jawab Darren santai. Wajah pria itu tampak lesu dan penat. Jeremy mengangguk mengerti. Memang, akhir-akhir ini bosnya itu sering ia dapati sedang melamun dan murung. Mungkin memikirkan pertunangannya dengan Nona Price pikir Jeremy asal menebak, namun nyaris tepat sasaran.
"Baiklah, Jeremy. Apa yang ingin kau sampaikan padaku?" Darren bertanya sambil meraih candy mint yang ada di laci mejanya, membuka kemasannya dan segera ia masukan ke mulutnya yang terasa asam. Rasa mint itu cukup menyegarkannya.
Jeremy tersenyum tipis lalu berkata, "Bos, Nona Price akan memasuki ruangan ini lima menit lagi," jawabnya. Darren menghentikan mulutnya yang sedang mengunyah candy mint-nya. Alisnya hampir menyatu mendengar ucapan Jeremy barusan
"Xavia akan kemari? Untuk apa?" Darren kembali bertanya, kali ini sambil menatap Jeremy lekat-lekat. Jeremy mengumpulkan napasnya untuk menjawab, mulutnya baru saja terbuka bersiap untuk bicara.
"Untuk mengajakmu menemui ibuku, Darren."
Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis dari arah belakangnya. Jeremy segera menoleh sedangkan Darren hanya mencoba mengintip sumber suara itu dari balik tubuh Jeremy yang menghalangi sebagian pandangannya.
Netra Darren melebar. Dugaannya benar, suara lembut nan manja bagai nyanyian hujan di musim semi itu adalah suaranya Xavia. Astaga, dia sudah datang rupanya. Padahal dirinya dan Jeremy baru saja membahasnya. Darren hanya menggelengkan kepalanya. Dia tampak tak senang. Dan Xavia segera menghampirinya.
Jeremy menyapanya dengan membungkuk sembari tersenyum ramah. Xavia membalas senyumnya lalu beralih pada Darren yang tampak sibuk dengan layar laptopnya.
"Baiklah, Bos. Aku mohon pamit. Permisi." Jeremy segera membungkuk pada Darren kemudian berlalu meninggalkan ruangan itu.
Xavia berdiri di depan Darren, hanya meja kerjanya yang cukup besar dan panjang menjadi pembatas keduanya. Xavia tersenyum memandangi Darren yang tampak sibuk dengan layar laptopnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan. Ternyata Darren adalah pria pekerja keras pikir Xavia terkagum-kagum.
Darren yang merasa tak nyaman karena adanya Xavia hanya bisa bersikap dingin pada calon istrinya itu. Wajahnya dibiarkannya tetap mengarah pada layar laptopnya, tanpa mau menatap sosok gadis cantik di depannya itu. Tak ada yang ia kerjakan, Darren hanya sedang mengecek beberapa laporan yang sebenarnya sudah ia periksa sejak sepuluh menit yang lalu.
"Darren, apa kau sibuk sekali hari ini?" Xavia mendekatkan wajahnya pada Darren yang ada di seberang meja, lantas kedua tangannya menopang dagunya di depan pria itu.
Darren tampak kaget sampai menelan ludahnya. gaun Xavia dengan bagian bahunya yang terbuka menampilkan lekuk payudaranya yang tampak besar dan padat. Seketika tubuhnya menjadi panas dingin tak jelas. Gemetaran. Terlebih wewangian segar bunga-bunga di musim panas yang berasal dari tubuh gadis itu.
"Hm, Xavia. Lebih baik kau duduk di sana saja. Aku masih ada pekerjaan," ucap Darren datar sembari menunjuk ke arah sofa menggunakan dagunya. Ya, lebih baik gadis itu jauh-jauh darinya daripada dirinya harus menahan gejolak yang tak karuan ini.
"Baiklah, aku akan menunggumu di sana." Xavia berkata sambil menoleh pada sofa yang ada di seberang meja Darren. Sebuah anggukkan dari Darren, Xavia pun segera berjalan anggun menuju sofa dengan warna biru tua di sana. Darren kembali berkutat pada layar laptopnya.
Xavia meletakkan tas kecil yang dipegangnya di sampingnya seraya mendaratkan bokongnya pada sofa empuk itu. Dia mengambil posisi duduk dengan tungkai kanannya yang menumpang pada tungkai kirinya.
Xavia mulai sibuk dengan ponselnya. Gaun minim dengan warna hitam yang terbuka di bagian bahu hingga tulang selangkarnya itu membuat Xavia terlihat sangat memukau. Darren diam-diam memperhatikan gadis itu dari tempatnya.
'Astaga, apa yang sedang dia lakukan?' bathin Darren bergelora. Dia menelan ludahnya saat melihat yang tak seharusnya. Kulit paha putih nan licin milik Xavia membuatnya panas dingin. Darren memejamkan matanya lantas menggelengkan kepalanya. Hatinya ingin berkata, Tidak, tidak dan tidak. Namun kenapa pemandangan itu sangat segar dan enak di pandang.
Bersambung..Xavia masih tampak asik dengan ponselnya. Darren menyingkap lengan jasnya, ternyata jarum arlojinya sudah menunjuk pukul lima sore. Astaga, ternyata dia sudah membuat Xavia menunggu hingga satu jam. Ah, Darren merasa tak enak hati. Dia segera bangkit dari bangkunya lalu melangkahkan tungkainya menuju pada Xavia. "Ehem," Darren mendaratkan bokongnya pada sofa di samping Xavia. Gadis itu menoleh padanya. Pendar mata keduanya bertemu, namun Darren buru-buru memalingkan pandangannya ke tempat lain. Xavia mengulas senyum kemudian dia menaruh ponselnya ke dalam tasnya, dan beralih memandangi pria yang tengah duduk di sampingnya itu. Darren sedikit gugup karenannya. "Hm, Xavia. Apakah kita bisa menemui ibumu sekarang?" tanya Darren dengan wajah datarnya. Xavia tertawa kecil mendengarnya. Tawanya sangat ceria dan begitu memesona. Darren sampai tertegum dibuatnya. "Kenapa tertawa?" tanyanya kemudian. Xavia menghenti
Darren menelan ludahnya. Peluh dingin berjatuhan di punggungnya. Bagaimana ini? Dia benar-benar kebingungan sampai tak bisa berpikir. Langkah Nyonya Altano sedikit cepat menuju pada Xavia yang sedang berdiri menyambutnya sambil memasang senyum. Nyonya Altano pun tak kalah bahagianya dapat berjumpa dengan puterinya di luar seperti ini, karena Xavia sangat sibuk dengan pemotretan dan lebih memilih tinggal di apartemen yang cukup jauh dari rumahnya. Darren sudah ketar-ketir dan tak berani beranjak dari bangkunya. Entah harus bagaimana dia menyembunyikan wajahnya dari Angela yang sedang berjalan di belakang Nyonya Altano. "Mama," pekik Xavia tampak sangat senang. Dia menyambut kedua tangan Nyonya Altano yang terulur kepadanya. Mereka pun berpelukkan begitu senangnya. Angela yang masih belum menyadari adanya Darren hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka. "Xavia, senang sekali bisa bertemu di sini? Dimana Dar
Setelah drama menangis tadi, akhirnya Darren berhasil membujuk Angela dan mengantar kekasihnya itu pulang. Sepanjang perjalanan Angela hanya memalingkan wajahnya pada kaca jendela mobil, ia tak ingin membuka obrolan dengan Darren yang sedang mengemudikan mobilnya menuju apartemennya. Setibanya di depan unit apartemennya Angela langsung masuk tanpa mempersilakan Darren lebih dulu. Namun Darren tetap mengikuti langkah Angela meski gadis itu tampak acuh padanya. Ya, terlalu dini bagi Angela untuk kembali bersikap seperti biasanya padanya. Darren bisa mengerti. Darren segera duduk di sofa tanpa Angela memintanya, karena gadis itu kini tengah berjalan menuju kamarnya. Satu jam berlalu, Darren masih duduk di sofa menunggu Angela dalam gelisahnya yang kian menjadi. Apakah kekasihnya itu takkan mau menemuinya lagi? Darren mulai berpikir. Apakah dia pulang saja sekarang? Pikirannya sungguh sangat gelisah dan kacau.
Angela segera bangkit dari ranjang. Ia meraih lingerie hitam yang tadi malam ia kenakan, lingerie itu terpulai di lantai karena Darren yang melemparnya ke sembarang arah semalam. Ah, Darren, mau kemana dia? Pikir Angela, langkahnya terayun cepat menuju ruang ganti. Tercium wangi parfum Darren yang menyeruak di ruangan itu. Sepasang netra Angela menemukan Darren yang sedang berdiri di depan cermin riasnya. Pria itu tampak sudah berpakaian rapi seperti akan berangkat ke kantor. Angela segera mendekatinya. "Sayang, apakah kau akan pergi ke kantor sepagi ini?" tanya Angela sembari mendekap tubuh Darren dari belakangnya. Kedua tangan mungilnya melingkar hingga dada bidang kekasihnya itu. Darren hanya tersenyum tipis. "Ya, Angela. Aku harus segera pergi sekarang. Ada meeting penting di kantor, aku tak ingin terlambat." Darren menaruh botol parfum mahal miliknya pada meja rias di depannya. Dia mengamati penampilannya dengan
Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong. ~Tere Liye *** Hari mulai gelap, Darren menatap pada arlojinya yang sudah menujukkan pukul tujuh malam. Mereka masih berada di resto dimana Darren mengajak Xavia untuk dinner. Pandangan Darren tertuju pada Xavia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang gadis itu lakukan, sedari tadi Darren merasa tak dianggap sama sekali. Dinner yang sangat buruk! Darren mengendurkan ikatan dasinya sembari bersandar pada bangku yang ia duduki. Sepasang netranya menoleh pada meja yang ada di sebelahnya. Tampak sepasang kekasih yang sedang menikmati dinner. Namun sangat berbeda dengannya, pasangan itu tampak sangat mesra sembari saling menyuapi satu sama lain, dan sesekali tertawa kecil pula bersamaan. Sial! Darren benar-benar kesal kali ini. Seumur hidupnya dirinya tak pernah berada pada situasi menyebalkan seperti sekaran
Di antara miliaran manusia, pasti Tuhan memiliki alasan mengapa kau dan aku dipertemukan. ~ Perahu Kertas ~ *** "Lepaskan, Darren!" Xavia berontak berusaha melepaskan dirinya. "Xavia, katakan padaku dulu. Kenapa kau bersikap dingin padaku? Aku yakin, ini bukan karena teman lamamu tadi, kan?" Darren menatap Xavia dengan lembut tanpa mengendurkan dekapannya atas tubuh sintal gadis itu. Xavia terdiam sejenak, dia memalingkan wajahnya dari pria di bawahnya itu. "Xavia, kumohon katakan. Aku paling tak suka dibeginikan oleh seorang gadis," lanjut Darren masih menatap Xavia sembari menikmati aroma wewangian yang ditimbulkan dari tubuh dan rambut panjang gadis itu. Xavia membasahi bibirnya lalu berkata, "Kenapa kau tak katakan padaku, jika kau sudah memiliki seorang kekasih, Darren." Xavia memasang wajah kesalnya. Darren membulatnya matanya lalu menelan salivanya dengan kasar. Tangannya mulai mengendur dari tubuh Xavia. Keduanya pu
Menjalin hubungan bukan berarti tanpa ada pertengkaran. Kita bertengkar, tapi setelah itu kita saling memaafkan dan mencintai satu sama lain, lebih dari sebelumnya.. (Quote) *** Xavia terjaga dari tidurnya. Dia membuka matanya perlahan, netranya terasa sangat perih dan sembab, mungkin karena dirinya menangis semalaman sampai akhirnya tertidur. Pupilnya samar-samar menatap pada jam besar yang berdiri di sudut kamarnya. Jarum pendek jam itu menunjuk angka empat, sedang jarum panjangnya hampir menunjuk angka enam, namun belum sempurna. Xavia segera bangkit dan duduk di tengah ranjangnya. Dia menetralkan tubuhnya dan mengingat apa saja yang telah terjadi sebelum akhirnya dia tertidur dengan bantalnya yang dibasahi air mata. Xavia menghela napas panjang, ya, dia mengingat semuanya. Termasuk sikap plin-plan Darren yang membuatnya sangat kesal. Ah, Xavia segera turun dari ranjangnya lantas berjalan menuju kamar m
Aku hanyalah kunang-kunang, dan kau hanyalah senja, dalam gelap kita berbagi, dalam gelap kita abadi. ~ LOVE ~ *** Darren semakin mendekatkan wajahnya dan hampir saja dia mencapai ciumannya. Xavia mulai menejamkan matanya, seolah memberi akses untuk Darren atas keinginannya padanya. Hasrat mulai ambil alih, bergelora di antara mereka berdua. Darren maupun Xavia menginginkan satu sama lain. "Ehem!" terdengar seruan seorang wanita. Xavia segera membuka matanya, dia menoleh pada sumber suara itu. Ternyata Nyonya Hawk yang sedang berjalan menuju mereka, sedang Jeremy masih berdiri di ambang pintu. Wanita itu tersenyum manis sembari menjepit batang rokoknya di antara jari tengah dan telunjuknya. Sedangkan tangan kirinya menenteng sebuah tote bag. Darren segera memalingkan wajahnya dari tatapan ibunya. Ah, pasti Nyonya Hawk berpikiran yang bukan-bukan tentang dirinya. Kedua pipinya bersemu