Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta, terus hidup, sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan.
(Kahlil Gibran)
***
Darren dan Xavia masih duduk di dalam Resto. Tak ada obrolan yang seru. Keduanya tampak canggung. Hanya ada beberapa tanya jawab yang terdengar sangat formal. Namun Xavia tampak senang meski pria di depannya itu terkesan dingin. Xavia memang tak menyukai pria yang banyak bicara. Baginya pria dingin terkesan lebih berkelas.
Sedangkan Darren merasa sudah ingin segera pergi dari resto itu. Namun dia agak kesusahan untuk mencari alasan yang tepat. Seperti pesan ibunya; jangan sampai dia membuat Xavia kecewa pada kencan pertama mereka ini. Ah, Darren sungguh pusing. Terlebih tatapan bola mata kebiruan Xavia yang selalu mengincar matanya. Ingin rasanya dia segera pulang."Hm, Darren. Apakah kau merasa tak nyaman dengan kencan ini?" tanya Xavia usai menyesap gelas granitanya. Darren agak tersentak mendengar itu. Mungkinkah Xavia bisa membaca pikirannya."Tidak, aku baik-baik saja." Darren segera memalingkan wajahnya pada lalu lalang orang di luar sana. Dia tak ingin sampai bertemu pandang dengan gadis di depannya itu.Xavia hanya mengulas senyum, "Apakah kau sangat sibuk pekan ini? Bila ada waktu, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," ucap Xavia sambil menatapnya lembut.
Darren semakin canggung dibuatnya.
"Sepertinya aku sangat sibuk pekan ini. Ya, aku tak bisa." Darren kembali memalingkan wajahnya setelah bicara pada Xavia. Perasaannya sangat bergejolak dan ingin segera pergi.
Xavia mengulas senyum. Rupanya Darren tipe pria yang tak mudah menerima ajakan dari seseorang, meski seorang gadis. Xavia merasa semakin menyukainya.
"Baiklah, kalau begitu bisakah kita keluar malam ini? Ya, sekedar menikmati udara malam," ajak Xavia masih sedang menguji pria di depannya itu.Darren menoleh padanya. Astaga, apa ini? Gadis itu terus menawarkan banyak hal. Dia semakin pusing saja.
"Xavia, aku sedang banyak pekerjaan di kantor. Maafkan aku," balas Darren dengan hati-hati. Dia takut gadis pilihan Nyonya Hawk itu akan marah padanya. Xavia mengangguk sambil tersenyum tipis. Darren sangatlah bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Selain itu, dia juga bukan tipe pria yang suka keluyuran di malam hari.Xavia yakin, pria pilihan orang tuanya ini adalah pria yang terbaik untuknya.
"Tak apa, Darren. Aku mengerti. Kau sangat sibuk, itu yang kulihat di majalah bisnis. Karirmu sangat bagus, bukan?" ucapan Xavia sungguh membuat Darren tersentak. Dia tak menduga gadis moderen sepertinya bisa bersikap begitu pengertian. Darren merasa bersalah karena sudah berdusta"Terimakasi," ucap Darren datar.Xavia tersenyum manis untuknya. Mereka pun mulai menikmati makanan penutup yaitu New York Cheesecake, berupa dessert dengan saus berries. Sangat cocok dinikmati oleh pasangan yang sedang jatuh cinta. Dan rasanya yang manis, seolah menggambarkan perasaan Xavia sore itu.
***Usai makan dan mengakhiri obrolan yang canggung tadi, Darren mengantar Xavia menuju mobil Limosin putih yang sudah menunggunya. Keduanya berjalan berdampingan. Sesekali Xavia menoleh pada Darren yang tampak masih acuh padanya. Tak apa, justru sikap dingin Darren yang membuat Xavia penasaran pada pria tampan berkulit putih itu."Istirahatlah, maaf bila kau sedikit kecewa atas kencan kita ini," ucap Darren yang berdiri di depan Xavia yang sudah tiba di depan mobilnya. Dua pengawalnya menunggu sambil berdiri agak jauh dari mereka."Tak apa, aku senang kau bisa datang." Xavia tersenyum manis"Iya." Darren hanya menganguk. Seorang pengawal membukakan pintu mobil. Xavia mulai berbalik dari Darren untuk masuk ke mobilnya. Namun tiba-tiba seorang pengendara motor dengan kecepatan tinggi melewati Xavia dan hampir saja menabraknya.AWASS!!
Aaaaaaa...!
Jerit Xavia hampir terjatuh karena menghindar dari kecelakaan yang bisa saja melukainya. Darren segera maju dan menangkap Xavia hingga terjatuh ke dalam pelukannya. Keduanya saling berpandangan barang sejenak.
Angin cukup kencang sore itu. Anak-anak rambut Xavia mengganggu wajahnya. Darren menyingkirkan anak-anak rambut itu, dengan masih pada posisinya. Jantung keduanya terasa kacau. Seperti ada sengatan listrik ribuan von yang menyengat tubuh mereka."Nona, apa kau baik-baik saja?" suara seorang pria dengan stelan jas hitamnya cukup mengagetkan keduanya. Darren segera melepaskan pelukannya dari Xavia."Tak apa, aku baik-baik saja." Xavia tersenyum ramah pada pria itu. Sedangkan Darren hanya terdiam dan tampak memalingkan wajahnya ke semua penjuru arah. Ada perasaan yang tiba-tiba bergelora di hatinya
"Baiklah, aku pulang dulu." Xavia tersenyum pada Darren sebelum memasuki mobilnya.Darren hanya mengangguk dan tetap berdiri di sana sampai mobil Limosin putih itu melaju meninggalkan area Resto. Darren menghela napas. Dengan perasaannya yang bergejolak tak jelas, dia segera berjalan menuju Jeremy yang tampak sedang tersenyum-senyum sendiri.
"Apa yang sedang kau lihat? Cepat antar aku pulang," tukas Darren segera memasuki mobilnya. Jeremy menutup pintu mobil itu sambil tersenyum tipis, lantas ia segera berlari menuju kemudi.Mobil pun melaju menuju apartemen Darren. Ya, pria itu tinggal sendiri di apartemennya selama ini. Adapun dua atau tiga kali dalam sebulan ia pulang ke rumah mewah ayahnya. Itu pun jika ibunya yang meminta. Darren lebih suka tinggal di apartemen. Selain dekat dengan kantornya, dia pun bisa dengan leluasa mengajak Angela bermalam di sana.Darren duduk manis sambil bersandar pada sandaran bangku mobilnya yang nyaman. Wajahnya tampak datar, namun pikirannya sedang melantur entah kemana. Dan tiba-tiba saja senyuman manis Xavia muncul di pikirannya. Darren segera menggelengkan kepalanya sambil memejamkan matanya erat, namun kali ini bola mata indah Xavia yang muncul. Darren segera membuka matanya dan merubah posisi duduknya, dia tampak gelisah.Jeremy yang mengetahui hal itu segera membuka suara sambil menatapnya dari kaca spion di atasnya,"Ada apa, Bos? Apa kau baik-baik saja?""It's oke. Aku baik-baik saja," jawab Darren sambil mengendurkan ikatan dasinya.
Jeremy mengangguk dan segera membanting roda kemudinya ke arah kanan, memasuki gerbang sebuah apartemen 30 lantai dimana Darren tinggal.
Setelah membukakan pintu mobil untuk Darren, Jaremy segera berjalan cepat menyusul bosnya itu. Darren meneruskan langkah panjangnya menuju unit apartemen miliknya. Beberapa orang yang berpapasan tampak menyapanya dengan hormat.Setelah keluar dari lift tibalah mereka di lantai 25. Darren segera berjalan ke arah timur menuju pintu unit apartemen miliknya.Setibanya di sana dia mulai mengetik enam digit angka, tanggal jadiannya dengan Angela. Angka cantik itu ia jadikan pasword untuk membuka kunci pintu unit apartemen miliknya. Waw, pintu langsung terbuka saat pasword berhasil disingkronkan.Pintu terdorong perlahan ke dalam. Netra Darren menangkap sosok gadis yang sedang berdiri menyambutnya sambil tersenyum manis.Angela?
Bersambung..Setelah Jeremy pergi Darren segera mengunci pintu apartemennya. Dia langsung menghapiri Angela yang tengah duduk di sofa sambil menikmati wine. Gadis itu tampak menggodanya dengan senyuman nakal. Jemari lentiknya mulai naik ke bagian bawah lehernya lantas membuka kancing teratas gaunnya. Darren hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah nakal pacarnya itu. "Katakan, sejak kapan kau ada di sini? Bukankah kau akan kembali ke Paris?" Darren mendaratkan bokongnya di samping Angela. Tangan kanannya meraih jemari Angela, dengan bibirnya yang menyentuh bahu gadis itu. Angela sedikit bergeming atas sentuhannya. "Aku tak jadi berangkat ke Paris. Bosku memintaku untuk tetap di sini, dan mulai besok aku akan bekerja di perusahaan Altano Group. Hebat, kan?" jawab Angela tampak sangat berbangga. Darren tersentak mendengarnya. Altano Group? Bukankah itu perusahaan ayahnya Xavia? Dan perusahaan yang akan menjalin kerjasama dengan Ha
Darren dan Xavia tampak sedang berbincang di depan pintu. Langkah Nyonya Hawk berhenti di depan Darren. Wanita itu tersenyum miring pada sang putera. Darren hanya terdiam dan menatap Nyonya Hawk dengan wajah dinginnya. Pupil Nyonya Hawk memutar pada Xavia tanpa memalingkan wajahnya dari Darren. "Ayo kita pergi, Xavia. Apartemen Darren sangat kotor. Ada sampah yang berbau busuk di dalam sana. Sebaiknya kita pergi saja. Aku takut bau busuk itu hinggap di gaun mahalmu," gagas Nyonya Hawk pada Xavia, namun wajah sinisnya tertuju pada Darren. Pria itu hanya memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Dia cukup paham dengan apa yang dimaksud oleh ibunya. Xavia hanya tersenyum. Dia menatap Darren dengan wajah gemasnya. Tidak mungkin pria tampan di depannya itu begitu jorok seperti yang dikatakan ibunya tadi. Jika benar, maka ini merupakan tugasnya untuk membenahi sipat buruk calon suaminya itu. "Ayo Xavia." Nyonya Hawk segera
Cinta itu tak berupa tatapan satu sama lain, tetapi memandang keluar bersama ke arah yang sama. ~B.J. Habibie~ *** Darren sedang duduk di ruangan kerjanya, dengan satu tangan menopang dagunya. Di mejanya tampak setumpuk berkas menunggu jamahan tangannya. Namun entah kenapa hari ini pikirannya sangat kacau, yang ada di sana hanya Angela, Angela dan Angela. Bagaimana keadaan kekasihnya itu sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Ah, Darren sungguh sangat gelisah memikirkannya. Jeremy dan Lusiana, dua orang staf yang dari tadi berdiri di depannya hanya bisa saling pandang bingung, karena Darren masih asik termenung dan tak juga menyentuh berkas-berkas yang mereka bawa. Ini tak bisa dibiarkan! Beberapa Clien penting akan segera datang, dan CEO mereka malah asik dengan fantasinya. Jeremy menggelengkan kepalanya. "Bos," tukas Jeremy cukup membuat Darren tersentak, dia segera menur
Cinta itu burung yang indah, yang mengemis untuk ditangkap tapi menolak untuk dilukai. ~Kahlil Gibran~ *** Darren sedang duduk terdiam di ruangan metingnya yang tampak sunyi. Para staf utamanya dan juga para Clien penting sudah meninggalkan ruangan itu sejak sepuluh menit yang lalu. Ada rasa kesepian setiap kali dirinya sedang sendiri begini. Darren merindukan Angela yang tak juga memberinya kabar sejak dua hari terakhir. Entah dimana Angela berada sekarang. Darren hampir kehilangan akal karena nomer ponsel kekasihnya itu tak bisa dihubungi lagi. Darren menghembuskan napas kasarnya lantas menggelengkan kepalanya. Benar, pesta pertunangannya dengan Xavia tinggal beberapa hari lagi, namun Angela masih belum mengetahui hal itu, jika dirinya akan segera bertunangan dengan gadis lain. Punggung kokohnya bersandar pada bangkunya dengan kepalanya yang dibiarkan mendongkak ke atas, menatapi la
Xavia masih tampak asik dengan ponselnya. Darren menyingkap lengan jasnya, ternyata jarum arlojinya sudah menunjuk pukul lima sore. Astaga, ternyata dia sudah membuat Xavia menunggu hingga satu jam. Ah, Darren merasa tak enak hati. Dia segera bangkit dari bangkunya lalu melangkahkan tungkainya menuju pada Xavia. "Ehem," Darren mendaratkan bokongnya pada sofa di samping Xavia. Gadis itu menoleh padanya. Pendar mata keduanya bertemu, namun Darren buru-buru memalingkan pandangannya ke tempat lain. Xavia mengulas senyum kemudian dia menaruh ponselnya ke dalam tasnya, dan beralih memandangi pria yang tengah duduk di sampingnya itu. Darren sedikit gugup karenannya. "Hm, Xavia. Apakah kita bisa menemui ibumu sekarang?" tanya Darren dengan wajah datarnya. Xavia tertawa kecil mendengarnya. Tawanya sangat ceria dan begitu memesona. Darren sampai tertegum dibuatnya. "Kenapa tertawa?" tanyanya kemudian. Xavia menghenti
Darren menelan ludahnya. Peluh dingin berjatuhan di punggungnya. Bagaimana ini? Dia benar-benar kebingungan sampai tak bisa berpikir. Langkah Nyonya Altano sedikit cepat menuju pada Xavia yang sedang berdiri menyambutnya sambil memasang senyum. Nyonya Altano pun tak kalah bahagianya dapat berjumpa dengan puterinya di luar seperti ini, karena Xavia sangat sibuk dengan pemotretan dan lebih memilih tinggal di apartemen yang cukup jauh dari rumahnya. Darren sudah ketar-ketir dan tak berani beranjak dari bangkunya. Entah harus bagaimana dia menyembunyikan wajahnya dari Angela yang sedang berjalan di belakang Nyonya Altano. "Mama," pekik Xavia tampak sangat senang. Dia menyambut kedua tangan Nyonya Altano yang terulur kepadanya. Mereka pun berpelukkan begitu senangnya. Angela yang masih belum menyadari adanya Darren hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka. "Xavia, senang sekali bisa bertemu di sini? Dimana Dar
Setelah drama menangis tadi, akhirnya Darren berhasil membujuk Angela dan mengantar kekasihnya itu pulang. Sepanjang perjalanan Angela hanya memalingkan wajahnya pada kaca jendela mobil, ia tak ingin membuka obrolan dengan Darren yang sedang mengemudikan mobilnya menuju apartemennya. Setibanya di depan unit apartemennya Angela langsung masuk tanpa mempersilakan Darren lebih dulu. Namun Darren tetap mengikuti langkah Angela meski gadis itu tampak acuh padanya. Ya, terlalu dini bagi Angela untuk kembali bersikap seperti biasanya padanya. Darren bisa mengerti. Darren segera duduk di sofa tanpa Angela memintanya, karena gadis itu kini tengah berjalan menuju kamarnya. Satu jam berlalu, Darren masih duduk di sofa menunggu Angela dalam gelisahnya yang kian menjadi. Apakah kekasihnya itu takkan mau menemuinya lagi? Darren mulai berpikir. Apakah dia pulang saja sekarang? Pikirannya sungguh sangat gelisah dan kacau.
Angela segera bangkit dari ranjang. Ia meraih lingerie hitam yang tadi malam ia kenakan, lingerie itu terpulai di lantai karena Darren yang melemparnya ke sembarang arah semalam. Ah, Darren, mau kemana dia? Pikir Angela, langkahnya terayun cepat menuju ruang ganti. Tercium wangi parfum Darren yang menyeruak di ruangan itu. Sepasang netra Angela menemukan Darren yang sedang berdiri di depan cermin riasnya. Pria itu tampak sudah berpakaian rapi seperti akan berangkat ke kantor. Angela segera mendekatinya. "Sayang, apakah kau akan pergi ke kantor sepagi ini?" tanya Angela sembari mendekap tubuh Darren dari belakangnya. Kedua tangan mungilnya melingkar hingga dada bidang kekasihnya itu. Darren hanya tersenyum tipis. "Ya, Angela. Aku harus segera pergi sekarang. Ada meeting penting di kantor, aku tak ingin terlambat." Darren menaruh botol parfum mahal miliknya pada meja rias di depannya. Dia mengamati penampilannya dengan