Share

Cintya Boleh Ikut, Dek?

"Cintya anakku!"

Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Bahkan seperti kaset yang diputar berulang. Namun bukan bosan yang aku rasakan, melainkan luka yang tak mampu aku jelaskan.

Denting jam berbentuk hellokitty terdengar jelas di tengah keheningan malam. Namun jarum jam seolah berjalan lambat. Biar saja malam bejalan lebih lama, toh aku tak mengharapkan pagi segera datang. Aku enggan bertatap muka Mas Arif apalagi anak itu.

Aku mengubah posisi, sedikit miring menghadap Talita. Bulir demi bulir jatuh saat melihat wajah polos putri kecilku. Sesak jika mengingat kenyataan ini.

"Cintya anakku!"

"Cukup!"

Cukup menghantui diriku. Cukup membuatku tersiksa dengan kenyataan pahit ini. Jangan lagi kamu siksa aku dengan ucapan itu.

Aku beranjak, berjalan keluar meninggalkan Talita yang masih terlelap di atas ranjang. Ya, aku memilih tidur dengan Talita. Rasanya tak sudi jika tidur satu kamar bahkan satu ranjang dengan lelaki pembohong.

Pintu kamar kubuka perlahan. Gelap, hanya sinar lampu dari kamar Talita yang menerangi ruang keluarga. Kamar Talita berada di depan ruang keluarga. Di sisi sebelah ada mushola kecil, tempat kami shalat berjamaah.

Lampu ruang keluarga kunyalakan sebelum pintu kamar tertutup rapat. Aku berjalan perlahan agar tak membangunkan Talita.

Dinginnya air tak menurunkan keinginanku untuk berwudhu. Aku ingin mengadu pada sang pemberi kehidupan. Kenapa badai tiba-tiba datang hingga meluluhlantahkan istanaku.

Bulir demi bulir jatuh saat aku menjalankan shalat. Sesak kembali hadir tanpa kuminta. Aku diam seraya menengadahkan tangan. Tak ada kata yang mampu aku ucapkan, hanya air mata yang mengalir membasahi pipi hingga mukena yang kukenakan.

Ya Robb...

Entah rencana apa yang Engkau berikan padaku? Kenapa rasanya begitu sesak? Seolah tak ada pasokan oksigen yang mampu kuhirup. Aku rapuh ... aku hancur.

"Karina."

Aku menoleh, Mas Arif sudah berdiri di depan pintu. Netranya menatap lekat padaku. Tak lama cairan bening terjun dari sudut mata itu.

Kenapa dia harus menangis? Bukankah dia yang menancapkan belati di hati ini? Lalu untuk apa air mata itu? Sandiwara semata. Maaf, Mas ... aku sudah tak bisa mempercayaimu lagi.

Buru-buru aku lipat mukena dan meletakkan di atas lemari kecil. Tanpa berkata-kata, aku berjalan melewati Mas Arif. Namun langkah ini terhenti saat sebuah tangan menarik tanganku.

"Mas pengen bicara, Dek."

"Apa lagi yang mau Mas bicarakan? Bukankah sudah jelas, Cintya anak kamu. Entah dari wanita mana?'

"Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Rin."

"Apa? Cintya anak kamu, kan?"

"Iya."

Aku tepis tangan kekar yang menarik tangan ini. Segera aku berjalan masuk ke kamar Talita. Aku tinggalkan Mas Arif yang masih mematung di pintu mushola.

Sempat aku berharap ucapan Mas Arif hanya gurauan semata. Seperti yang terjadi di media sosial. Namun salah, Mas Arif tak pernah bercanda dengan ucapannya. Termasuk soal Cintya.

***

Azan subuh telah berkumandang beberapa menit yang lalu. Namun badan masih enggan beranjak dari ranjang. Kepala terasa pusing karena semalam tak dapat tidur nyanyak. jangankan terlelap, justru kalimat Mas Arif terus saja terngiang di telinga.

Aku paksa tubuh melangkah keluar untuk melaksanakan ibadah wajib dua rakaat. Lagi-lagi bulir bening jatuh saat aku menengadahkan tangan, berdoa kepada Illahi Robbi. Sungguh berat jalan yang Allah berikan padaku.

Pukul 06.15 semua sudah berkumpul di meja makan. Hening tak ada percakapan di antara kami. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring.

"Talita udah selesai? Mama anter, ya?"

Aku mengambil piring kotor Talita dan meletakkannya di wastafel. Mas Arif dan anak itu masih menikmati sarapan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Entah terbuat dari apa hati mereka?

Talita masih diam, tak menjawab ucapanku. Dia sibuk meremas tangan di atas meja. Tidak ada senyum yang nampak seperti biasanya. Putri kecilku memilih menundukkan kepala. Tak lama air bening jatuh hingga menempel di atas meja.

"Talita gak mau sekolah, Ma! Talita malu karena pesta ulang tahun kemarin. Talita takut diledek teman-teman."

Diam, tak ada kata yang mampu aku ucapkan. Perkataan Talita kembali menghantam hati yang hancur ini.

"Papa antar, ya, Nak. Pakai mobil deh!"

"Cintya ikut ya, Pa!"

Ingin aku tampar mulut anak itu. Disaat seperti ini, kenapa ia ikut berkomentar. Tak bisakah dia diam sesaat saja?

"Gak mau! Aku gak mau pergi ke sekolah!"

Talita berlari menuju kamar. Tangisnya semakin menjadi, bahkan terdengar hingga ke ruang makan.

"Puas kamu menyakiti hati anak kamu, Mas!"

Sambil menghentakkan kaki, kutinggalkan Mas Arif dan Cintya di ruang makan.

"Talita ...."

Pintu kubuka perlahan, Talita tidur tengkurap dengan wajah menempel di bantal. Dia masih menangis sesenggukan. Tanpa sadar bulir demi bulir jatuh membasahi pipi, sakit saat melihat putri kecilku menjatuhkan air mata.

"Aku gak mau sekolah, Ma! Gak mau! Aku malu!"

Menjatuhkan bobot di samping Talita, perlahan aku elus punggungnya yang masih bergetar.

"Hari ini Talita boleh gak masuk sekolah. Tapi besok harus berangkat sekolah, ya, Nak."

"Tapi, Ma ...."

Talita membalikkan badan, menatap lekat netra ini. Seolah memohon agar aku mengabulkan keinginannya. Namun tak mungkin ia terus menerus membolos. Sekolah adalah kewajiban, semua untuk masa depannya.

"Aku gak mau sekolah, Ma. Aku takut diejek teman-teman."

Putri kecilku menundukkan kepala, tangisnya kembali pecah. Dia terisak hingga wajahnya basah oleh air mata.

"Talita mau pergi jalan-jalan?"

Talita diam, tak lama sebuah anggukan ia berikan. Aku paksa diri ini tersenyum, meski hati tercabik tak berbentuk. Semua demi Talita.

Seorang ibu harus terlihat baik-baik saja meski hati remuk tak berbentuk. Karena kesedihan seorang ibu akan menjadi luka bagi anak.

Tidak butuh waktu lama Talita sudah berganti pakaian, begitu pula diriku. Saat ini biarlah dia kami menenangkan diri. Talita butuh waktu untuk menerima kenyataan pahit ini, sama sepertiku.

"Mau ke mana, Dek?"

Mas Arif berjalan mendekat, ia menelisik penampilanku. Tatapannya membuatku semakin risih. Entah kenapa aku enggan ditatap oleh suamiku sendiri.

"Mau cari udara segar. Aku dan Talita butuh kewarasan untuk menjalani kenyataan pahit seperti ini."

Aku sambar kunci mobil dan tas yang tergeletak di atas nakas. Tanpa berpamitan aku melangkah pergi. Tidak sopan memang, tapi lukaku terlalu dalam untuk sebuah kebohongan yang ia tutupi delapan tahun, bahkan lebih.

"Ayo, Ma!"

Suara Talita terdengar jelas meski dia duduk di teras. Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju pintu depan. Ternyata Talita sudah masuk mobil terlebih dahulu.

"Kita ke taman dulu, baru ke mall, Ma?" tanyanya seraya memasang sabuk pengaman.

"Iya, Sayang. Mall belum buka kalau pagi begini."

Talita mengangguk tanda mengerti. Mobil kunyalakan, tak lupa sabuk pengaman kupasang.

"Karina! Karina!"

Ketukan di kaca mobil menyita perhatianku. Mas Arif sudah berdiri di samping kanan mobil. Sedikit kesal kubuka kaca mobil tersebut.

"Apa?"

"Kamu mau ke mana?"

"Jalan-jalan."

"Cintya boleh ikut, Dek?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status