"Bagaimana, Bu. Syarat untuk mendaftarkan sudah ada, kan?"
Ibu kepala sekolah kembali bertanya setelah kami diam untuk beberapa saat. Lebih tepatnya aku mengabaikan kepanikan Mas Arif. Biar saja dia bertanggung jawab atas pilihan hidupnya. Toh dia tega menghancurkan kebahagiaan kami."Bu Karina.""Itu urusan suami saya, Bu. Saya tidak mau ikut campur."Seketika Mas Arif menatapku tajam, namun aku pura-pura tak melihat. Biar dia mengurus sendiri urusannya dengan Cintya."Ini rapot dari sekolahnya terdahulu, Bu. Kartu keluarga menyusul. Apakah boleh?"Mas Arif meletakkan dokumen penting di atas meja."Maaf, Bu. Saya permisi, biar suami saya yang mengurus semuanya."Aku beranjak sebelum ibu kepala sekolah menjawab ucapanku. Jujur saja aku tak sanggup berada di tempat itu terlalu lama. Ada rasa sesak yang kian terasa di dada. Aku takut menangis di depan wanita nomor satu di sekolah ini.Aku melangkah perlahan menuju mobil. Semilir angin memainkan rambut yang kubiarkan tergerai. Sesekali aku paksa bibir tersenyum saat berpapasan dengan orang lain, meski hati perih.Beberapa saat aku berdiri tak jauh dari mobil. Tidak lama Mas Arif dan Cintya keluar dari ruang kepala sekolah. Aku pun segera masuk ke mobil. Enggan berjalan bersamaan dengan meraka."Kita urus kartu keluarga sekalian, ya, Dek.""Aku pulang saja, Mas. Pusing lama-lama mengurusi anak itu. Kamu saja tak menjelaskan detail ibunya siapa, sejak kapan kalian menikah? Kalian bercerai atau tidak pun aku gak tahu. Lalu untuk apa aku ikut memikirkan sesuatu yang tak boleh aku ketahui.""Jangan seperti itu, Rin! Mulai sekarang Cintya bagian dari keluarga kita."Aku diam, mengambil tas yang tergeletak di samping. Tanpa berkata-kata aku pun keluar dari mobil."Rina mau ke mana?"Aku pura-pura tak mendengar panggilan Mas Arif. Dia selalu saja memanggil nama jika tengah kesal. Tak ada sopan-sopannya!Sebelum masuk ke mobil, aku sempat memesan taksi online. Beruntung taksi itu datang di saat yang tepat. Mendengar perkataan ibu kepala sekolah membuatku yakin Mas Arif akan mengajakku ke kelurahan untuk mengurus kartu keluarga.Kendaraan roda empat yang aku tumpangi melaju perlahan. Jalanan kota masih ramai meski para pekerja kantor dan anak sekolah sudah masuk beberapa dua jam yang lalu. Asap kenalpot beberapa kendaraan terlihat di udara. Untung kaca mobil sudah tertutup rapat."Sesuai aplikasi, kan, Bu?""Iya, Pak."Mobil berwarna merah melaju dengan kecepatan sedang. Musik sengaja supir nyalakan untuk menemani keheningan kami. Ini salah satu upaya agar pemakai jasa puas dan memberi bintang lima.Sialnya justru lagu menyayat hati yang ia putar. Lagi, bulir demi bulir jatuh tanpa permisi. Sesak tak mampu kutahan."Tisunya, Mbak." Sopir itu memberikan tisu sambil mengemudikan kendaraannya. Sedikit ragu aku mengambil benda tipis berwarna putih tersebut.Seolah tahu isi hatiku, sopir itu mengganti lagu melow menjadi lagu gembira. Namun tetap saja masih menyisakan luka dalam rongga dada.Taksi berhenti tepat di depan sebuah salon ternama. Aku pun segera turun setelah mengucapkan terima kasih dan membayar menggunakan uang tunai. Tak lama taksi itu kembali berjalan meninggalkan halaman salon yang terbatas.Beberapa saat aku mematung di depan salon. Terdiam, mencoba mengingat kenangan lama yang tersimpan di dalamnya. Entah berapa lama aku tak menginjakkan kaki di sini, di Salon Kartika."Hampir delapan tahun kamu tak pernah kemari, Rin."Sontak aku menoleh ke belakang. Seorang perempuan berpenampilan anggun berdiri seraya menyilangkan kedua tangan di dada. Aku pun berlari, kemudian memeluk tubuhnya erat.Cantika, pemilik salon sekaligus teman sekolahku. Setelah lulus kuliah kami bekerja sama untuk mendirikan sebuah salon anak muda. Kartika nama salon itu. Sebuah nama yang digabungkan dari Karina dan Cantika."Kangen aku, Rin! Akhirnya keluar juga dari gua! Gak lumutan to?"Aku tersenyum mendengar sindirannya. Setelah aku hamil, Mas Arif melarangku bekerja. Sejak saat itu pula aku tak pernah menginjakkan kaki di sini. Jika kami bertemu selalu di restoran atau di kediaman masing-masing."Maaf, emak-emak selalu disibukkan dengan anak."Cantika mengangguk, merangkul pundakku kemudian mengajakku masuk ke dalam.Desain salon mulai berubah. Sebuah sofa dan televisi berada di dekat pintu tak jauh dari kasir. Sengaja di letakkan dekat pintu agar para pengunjung lebih nyaman saat mengantri. Nuansa cinta tergambar dari tembok yang berwarna pink muda. Putih menjadi perpaduan warna yang sempurna. Cantika pandai merubah salon ini. Pantas saja salon Kartika selalu ramai pengunjung."Mau perawatan apa?" tanyanya saat kami duduk di sofa, di ruangannya.Tak lama seorang karyawan masuk seraya memberikan air mineral dan cemilan."Kamu tak suka teh, kan?"Aku mengangguk, lalu melengkungkan bibir ke atas. Jarang bertemu tak membuat Cantika melupakan kesukaanku. Bahkan dia ingat aku tak menyukai teh atau pun minuman bersoda."Kamu belum jawab, Rin. Mau treatments apa?""Aku gak pengen treatments, Ca.""Iyalah udah cantik gitu. Kamu perawatan sendiri aja cantiknya begini apa lagi perawatan di salon. Pantas saja Arif lengket kaya perangko."Helaan napas terasa begitu berat. Kalimat terakhir yang Cantika ucapkan justru membuatku tak nyaman. Percuma cantik jika dibohongi bertahun-tahun. Bahkan aku ragu, cinta yang sering ia ucapkan ... apakah termasuk kebohongan?"Aku salah ngomong, ya, Rin?""Aku ingin kembali bekerja di sini, Ca. Masih ada lowongan gak, ya?""Emang Arif ngebolehin?""Dia tak berhak melarangku setelah apa yang ia lakukan padaku.""Maksudnya?""Gak papa, ada lowongan gak nih?"Aku kembali mengalihkan pembicaraan. Saat ini, biar aku pendam sendiri rasa sakit yang singgah di hati. Kalau Cantika sampai tahu, dia pasti memintaku untuk berpisah. Lalu bagaimana nasib Talita?Cukup lama aku berada di salon. Sampai detik ini aku hanya mengamati, sebelum besok memulai lagi kegiatan lama yang sudah kutinggalkan selama bertahun-tahun.Tepat pukul 14.55 aku dan Talita sampai di rumah. Mobil sudah terparkir rapi di carport, pintu utama pun sudah terbuka lebar. Kami segera masuk ke rumah."Dari mana saja kamu? Aku pulang kamu gak ada?"Mas Arif menyilangkan kedua tangan di dada. Gegas kuminta Talita masuk ke kamar. Melihat sikap Mas Arif membuatku yakin ada pertengkaran yang sebentar lagi terjadi. Mengamankan Talita merupakan tindakan paling tepat untuk saat ini."Kenapa? Aku cuman ke salon. O, ya, besok aku akan kembali bekerja di salon.""Apa! Jangan main-main kamu, Rin. Siapa yang mengizinkanmu bekerja?""Tanpa izin kamu aku akan tetap bekerja.""Tapi, Rin ...."Aku kembali melangkahkan kaki menuju kamar. Tak aku pedulikan Mas Arif yang terus memanggil namaku."Kenapa jadi rumit begitu, Tuhan? Memasukkan Cintya sebagai anak pun tak segampang itu. Ternyata mengangkat anak sangat sulit," ucap Mas Arif lirih nyaris tak terdengar."Apa maksud kamu, Mas? Mengangkat anak? Cintya bukan anak kamu!"Mas Arif terdiam, wajahnya menjadi tegang kala aku berbalik dan menatap tajam netranya. Buru-buru dia mengalihkan pandangan, pura-pura mencari ponsel padahal benda itu ada di tangan. Sungguh tak masuk akal. "Kamu ngelantur, ya, Dek? Mana ada aku bilang angkat anak?"Aku menggeleng pelan, kecewa dengan sikap Mas Arif yang tak mau berkata jujur. Jelas aku mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Apa dia pikir aku tuli? Jangan membohongiku, Mas! "Siapa ibunya Cintya? Di mana rumahnya? Aku mau tahu asal usul Cintya.""Mas udah bilang dia anakku, kan!""Aku minta Mas jujur! Kalau tidak, jangan salahkan aku jika rumah tangga kita menjadi taruhannya!""Kok ngomongnya gitu? Jangan ngomong sembarangan, Dek!"Mas Arif menyentuh pergelangan tangan kananku. Namun kutepis kasar tangan itu. Melangkah dengan kesal menuju kamar. Akan kucari tahu sendiri, Mas!Suara ketukan pintu kamar menyentak lamunanku. "Ma ...."Suara Cintya
"Apa-apaan kamu, Rin? Tas saja dipermasalahkan.""Bukan masalah tasnya, Mas. Cara kamu yang salah, harusnya kamu izin pada Talita terlebih dahulu. Bukan justru mengambilnya begitu saja."Mas Arif membisu, tak mampu menjawab ucapanku. Lelaki itu justru kembali masuk ke rumah. Dia tinggalkan rasa kesal yang bersemayam dalam rongga dada. "Maaf, ya, Ma."Cintya menunduk, bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku mengelus dada yang terasa sesak. Baru beberapa hari Cintya berada di sini. Namun rumah ini bak di dalam neraka. "Tas Talita, Ma ...."Talita terus merengek sambil menangis. Kepalaku mendadak mau pecah. Tuhan, bagaimana ini? "Sudah, Ta. Kasihan Kak Cintya gak punya tas."Aku elus pucuk kepala Talita. Namun ia semakin menangis sesenggukan. "Tapi Ma ....""Talita masih punya tas yang lain. Kalau mama punya uang, kita beli lagi."Aku terus membujuk Talita agar diam. Dengan wajah ditekuk Talita masuk ke dalam mobil, disusul Cintya dan aku. Aku fokus mengendarai mobil, mengesampin
[Tolong jemput Cintya, Mas.]Aku segera mengajak Talita untuk pulang setelah pihak sekolah menyelesaikan biaya administrasi. Empat jahitan untuk menutup luka di keningnya. "Talita udah makan?" "Belum, Ma.""Mau makan apa?" "Steak, Ma."Kami menuju sebuah restoran tak jauh dari rumah sakit. Sebuah restoran yang menghidangkan berbagai jenis steak. Ini adalah salah satu restoran yang sering kami kunjungi. Selain tempatnya yang nyaman, rasa masakan pas di lidah kami. Talita memesan steak udang, menu kesukaannya. Aku sendiri memilih memesan minuman dingin. Kenyang karena sempat makan pizza bersama Cantika, meski hanya satu potong. Entah kenapa sejak kedatangan Cintya, nafsu makanku menghilang. "Kenapa bisa jatuh dan dijahit, Ta?" tanyaku pelan. Talita menyeruput es teh lalu menatap lekat netra ini. Bibir yang semula mengembang seketika redup. Senyum itu hilang, diganti sebuh kekecewaan yang nampak jelas di sana. "Katakan pada mama, Ta."Aku genggam jemarinya, memberi sebuah kekuata
Suara ketukan pintu terdengar jelas sampai ke kamar. Aku beranjak, melangkah gontai menuju sumber suara. Cintya dan Pak Didik sudah berdiri di terasa saat pintu kubuka. Perasaan lega hadir tanpa diminta, meski tak bisa menampik jika amarah dan kebencian masih bertahta di tempat yang sama. "Maaf, Pak jadi merepotkan," ucapku tak enak hati. Sebenarnya ini salah Mas Arif, tapi justru aku yang menanggung malu. Ah, bukan hanya malu tapi menjadi tempat melampiaskan amarahnya. Sebenarnya aku ini harus bagaimana? Cintya segera masuk setelah guru matematika itu pulang. Aku hanya diam, membiarkan anak kecil itu berada dalam tempat aman, kamar. Sebenarnya jiwa ini meronta, ingin bertanya tentang masalah Talita. Namun kembali aku urungkan. [ Cintya sudah pulang.]Aku mengirimkan sebuah pesan pada Mas Arif. Tak lama pesan tersebut berubah warna menjadi centang biru. Namun tak ada balasan dari lelaki itu. Duduk di ruang keluarga seraya menunggu kedatangan Mas Arif. Kamar Cintya berada persisi
Tubuhku luruh di lantai. Ponsel Mas Arif pun terlepas dari genggaman. Baru saja aku bernapas lega, bahkan mulai berdamai dengan kenyataan, namun kenapa Tuhan memberiku sebuah kejutan baru. Makasih udah mau jaga anak aku, Yang. Kalimat itu bak syair lagu yang terus terngiang di telinga. Namun bukan lagu cinta dan kebahagiaan, melainkan lagu kematian. Tuhan, misteri apa yang Engkau hadirkan untukku? Kenapa rasanya menyesakkan dada? Beberapa menit aku duduk di lantai dengan tubuh menempel di tembok. Tangisku kembali pecah, bahkan kini semakin menyesakkan dada. Mas Arif membohongiku lagi. Moya Zaya ... siapa pemilik nama itu? Kenapa dia memanggil sayang kepada Mas Arif? Tunggu ... anak mana yang ia maksud? Ibukah ibu Cintya Sri Sari Ningsih, bukan Moya Zaya. Tuhan, teka-teki macam apa ini? Aku hembuskan napas perlahan, mengatur sesak yang masih bersemayam dalam rongga dada. Sesakit ini menerima kenyataan. Setelah cukup tenang aku pun beranjak lalu melangkah menuju kamar. Aku s
"Ibu kandung kamu masih hidup atau sudah meninggal?""Bunda, maksud Mama?"Aku mengangguk. Entah bunda atau ibu, aku hanya ingin tahu wanita itu masih hidup atau sudah mati."Bundaku s....""Sayang, dompetku ketinggalan!"Aku mendengus kesal saat Mas Arif tiba-tiba muncul di belakangku. Gagal sudah niat untuk mengorek informasi Cintya. Ah, menyebalkan! Mas Arif pun masuk ke kamar, mengambil dompet lalu pergi lagi. Suara motor menjauh menandakan Mas Arif benar-benar pergi. Kali ini aku ingin dia pergi, bahkan dari hadapanku. Talita kembali duduk di sebelahku setelah meletakkan segelas air putih di atas meja. Dia menikmati es krim rasa vanila seraya menonton televisi. Senyum kembali hadir di wajahnya setelah awan mendung menyelimuti. Pertanyaan yang hendak keluar terpaksa kutelan kembali. Aku tak ingin awan mendung menyelimuti Talita. Ini bukan saat yang tepat untuk mengorek informasi. Biarlah aku menunggu asal Talita tak terluka kembali.Diamku seperti bom, hanya menunggu waktu yang
Sesaat aku terpaku dengan pesan itu. Lelucon apa lagi? Jadi selama ini Mas Arif membohongiku? Benar-benar menipuku. "Ayo, Ma!"Tarikan tangan Talita menyentak lamunanku. Aku terperanjat, menoleh kanan kiri kebingungan. Bahkan tak sadar jika Talita sudah berdiri di depan pintu. "Ayo, Ma!"Talita kembali menarik tangan ini. Aku pun beranjak, mengunci pintu lalu melangkah menuju motor yang terparkir di carport. "Pakai helmnya."Aku berkata seraya memberikan helm pada Talita dan Cintya. Helm kuning milikku sudah terpasang lebih dulu. "Harusnya kita pakai mobil, Ma. Papa biar pakai motor."Sedikit kesal Talita memakai helmnya. Wajah yang gembira tiba-tiba cemberut. Anak itu paling tak suka menggunakan helm, tidak nyaman menjadi salah satu alasan saat ia menolak memakai perlengkapan keselamatan tersebut. "Mama sih gak bilang papa dulu. Kan bisa tukeran!""Bagaimana papamu mau tukeran jika ia memakai mobil untuk menjemput kekasihnya."Aku menjawab tapi hanya di dalam hati. Sejujurnya ak
"Karina."Lelaki itu kembali memanggilku saat aku diam membisu. "Bang Fajar kenal Mbak Karina?" tanya Salwa sambil menatap aku dan lelaki itu bergantian. "Temen abang saat kuliah dulu."Aku tersenyum tipis, ternyata benar dugaanku ... dia Fajar, lelaki yang pernah menyatakan cinta dan kutolak mentah-mentah. Hampir saja aku tak mengenali lelaki itu. Fajar yang dulu terlihat cupu kini berubah 180 derajat. Tak ada kacamata yang menempel di hidungnya. Namun kenapa dia ada di sini? Kembali aku fokus menjalankan pekerjaan. Merapikan rambut pelanggan agar terlihat sempurna. Namun terpaksa terhenti saat mendengar langkah kaki mendekat. "Sudah lama gak ketemu, Rin. Gimana kabar kamu?" Aku menoleh, kembali tersenyum meski manahan rasa malu. Kalau saja bisa lari, sudah pasti aku bersembunyi di dalam lemari. Kenapa pula Tuhan mempertemukan kami lagi."Seperti yang kamu lihat, Jar. Aku baik-baik saja.""Boleh ngobrol sebentar?""Boleh, aku selesaikan ini dulu."Lelaki itu mengangguk, lalu dud