Bab 37
POV Zaki
Ponselku berdering kembali, kini kurogoh dengan cepat agar tidak keburu mati lagi. Kulihat ke arah layar ponsel, ternyata Ana yang menghubungi.
"Halo, Ana, ada apa?" tanyaku masih dalam keadaan gemetar. Sebab, belum berhasil lihat wajah di balik kain putih itu.
"Mas, Yuni bersamaku, ia sudah kuantar pulang," celetuknya membuatku bernapas lega. Berati wanita yang berada di balik kain putih itu bukanlah Yuni. Ia sudah dibawa pulang oleh Ana.
"Ana, kamu membawanya pulang ke rumahku, kan? Aku mohon, tolong jangan tinggalkan Yuni sendirian, please!" pintaku. Dengan amat sangat, aku mengharapkan Ana menemani Yuni di rumah.
"Maaf, Mas. Aku tidak bisa, sebentar lagi ada meeting dengan klien, tapi aku sudah suruh bodyguard Papa untuk berjaga di depan rumahmu sampai kamu dan Mama tiba di rumah," tolaknya. Aku tidak bisa berharap lebih padanya. Ana sudah mau menolong Yuni saja aku seharusnya berterima kasih.
"Maaf ya, Ana. Aku me
Bab 38POV Zaki"Maaf, Anda siapa ya? Ada keperluan apa ke sini?" tanyaku penasaran. Sebab, wajahnya tak pernah kulihat sebelumnya."Mas, ini laki-laki yang sudah beristri itu," jawab Yuni tertunduk. Dadaku bergetar hebat, tanganku tiba-tiba mengepal. Namun, saat melihat wajah Yuni, tak tega rasanya melakukan kekerasan di hadapannya."Jadi, kamu yang mempermainkan adikku?" selidikku."Ya, aku orang yang dirayu adikmu," sahutnya membuat darah ini semakin mendidih. Namun, lagi-lagi wajah Yuni yang memelas di hadapanku membuat tangan ini hanya mengepal tak kuat melampiaskan."Mau apa lagi kamu ke sini?""Aku ingin Yuni segera menggugurkan kandungannya, sebelum istriku dan keluarga besar mengetahuinya," terangnya.Plak ....Tak tahan lagi aku menahan emosi yang sudah meledak, tangan ini melayang ke pipi laki-laki songong itu. Bibirnya pun berdarah kala aku memukulnya dengan sekuat tenaga."Mas, tolon
Bab 39POV AnaKetika kami sedang berbincang-bincang, dan menyantap hidangan yang telah tersaji di hadapanku. Tiba-tiba Lita menghubungiku, ada apa ya kira-kira? Aku angkat teleponnya, sepertinya mereka sedang bertengkar. Buktinya Mas Zaki tak mau disebutkan sedang bersama dengannya."Halo, Lita, ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Pasti ini hal penting, bukan hal main-main."Ana, aku sulit menghubungi Mas Zaki. Ya Tuhan, anakku meninggal dunia barusan dokter mengabarkan, ia melemah tadi, lalu tidak kuat," tuturnya membuatku terkejut. Astaga, rupanya bayi prematur yang dilahirkan Lita sudah tak bernapas. Bibirku pun kaku, sulit untuk berkata apapun.Setelah Lita bercerita, aku pun sontak mematikan teleponnya. Mataku sedikit berair, merasa bersalah atas kejadian yang menimpanya ini."Ana, ada apa?" Mas Zaki terus menerus menanyakan apa yang Lita katakan."Mas, bayi itu meninggal," ujarku padanya.Aku menghela napas, begitu pun de
AKU ANAK ORANG KAYA, MAS!"Mas, belikan aku baju bagus, ya! Please," rayuku dengan manjanya. Namun, rayuan berjuta kali pun tak membuat hati Mas Zaki iba."Apa, Dek? Kamu tuh kan nggak ke mana-mana, ngapain pakai baju bagus?" tanyanya dengan muka nyolot. Memang aku tak pernah ke mana-mana, tapi kan setiap kali hendak pergi sibuk sendiri memakai baju apa? Sedangkan baju yang kupunya hanya itu-itu saja.Kubuang baju yang tak enak dipandang. Baju lusuh dan sobek sudah setahun lamanya. Masa iya istri dari pemilik bengkel besar hanya memakai daster setiap harinya?"Loh, kok dibuang?" tanya mertuaku yang tiba-tiba datang menyusup ke kamar. Astaga, ia datang di saat yang tidak tepat. Di saat aku ingin ngambek, merajuk agar dirayu oleh Mas Zaki. Ia malah muncul dan menanyakan baju yang kubuang.Aku bergeming, tak menjawab apapun yang ia tanya. Sembari kulihat mertuaku itu meraih kembali baju-baju yang telah kubuang."Istri nggak ada rasa syuku
"Mah, Pah, maafkan aku. Dulu membangkang kalian. Sekarang baru tahu, uang mengalahkan segalanya." Aku mengakui kesalahan yang telah aku lakukan."Sudahlah, yang sudah terjadi biarlah, lebih baik sekarang kamu benahi saja, tapi Papa ingin kamu membuat malu mereka," ucapnya."Pah, Mas Zaki tidak akan seperti itu kalau tidak ditekan oleh ibunya," sahutku. Kemudian, papa menatapku sambil tertawa sinis."Kamu akan mengetahui siapa suamimu, dan mertuamu setelah memberikan mereka secuil pelajaran," sahutnya."Maksudnya bagaimana, Pah?" tanyaku.Mama pun datang membawakan minuman dan makanan kesukaanku. Ada rasa rindu dimanjakan oleh mereka berdua."Ini loh, makanan kesukaan kamu, Ana." Mama menyodorkan kebab kesukaanku."Ah Mama membuatku lapar." Dengan lahapnya aku menyantap 2 hingga 3 kebab yang mama sediakan.Mereka berdua memandangku. Mungkin ada rindu juga di hati mereka, atau mungkin kasihan padaku?"Kenapa menatapk
Aku pun keluar dari rumah Mas Zaki, ternyata di depan pintu kamar ada Bu Ayu dan Yuni. Sepertinya mereka telah menguping pembicaraan kami."Huh ... dasar wanita murah*n!" ledek Yuni, aku tetap bergegas pulang ke rumah papa tanpa menjelaskan siapa aku sebenarnya."Ana!" teriak Mas Zaki menyusul. Namun, aku sudah tak peduli dengan panggilannya. Ia sudah menalakku. Semua sudah berakhir, Mas, tanpa kamu tahu kebenarannya lebih dulu. Aku tak habis pikir, kamu tak percaya bahwa aku ini anak orang kaya.Aku setir mobil dengan kecepatan tinggi. Kulajukan ke rumah papa kembali. Tak ada air mata yang menetes di pipi. Entahlah, mungkin air mata ini sudah kering hingga tak lagi berurai.Mas Zaki, pria yang telah memintaku menjadi istrinya setahun lalu. Kini, ia menalakku. Memang baru sekali ia menalakku. Namun, aku tidak bisa kembali dengannya begitu saja, setelah apa yang ia katakan terhadapku tadi.Kata-kata yang ia lontarkan akan menorehkan luka
Bab 5"Lita?" tanyaku keheranan. Wanita cantik berpakaian modis menghampiriku."Kamu, kok tahu rumahku?" tanya Lita balik. Aku bingung kenapa papa menyuruhku memberikan bunga mawar berduri ini kepada Lita."Emm, aku ...." Aku mencari alasan kenapa mengirim bunga ini untuknya."Hei, Ana. Jawab jujur padaku. Kamu tahu alamat ini dari siapa?" tanya Lita. Ia menanyakannya sembari mengelus perutnya yang agak buncit."Kamu sedang hamil? Kapan nikahnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Aku ... iya, sedang hamil 6 bulan!" tukasnya sembari tersenyum."Nih bunganya, aku tidak tahu itu bunga dari siapa? Ada di meja cafe beserta alamat ini. Makanya aku antar ke sini, rupanya rumahmu, Lita." Akhirnya aku mendapatkan alasan mengada-ada pada Lita."Terima kasih, ya. Kamu mau masuk dulu?" tanyanya. Namun, ponselku berdering, papa menghubungiku lagi. Segera aku angkat telepon dari papa."Iya, Pah," jawabku."Pulang, Nak."
"Oh, jadi kamu salah orang? Bagaimana bisa Gilang memberikan informasi yang salah pada Papa!" keluhnya."Pah, kenapa tidak katakan saja padaku, maksud Papa berikan bunga mawar itu pada Lita?" cecarku. Aku jadi penasaran terus dibuatnya."Ana, Papa ingin kamu lihat dengan mata kepala sendiri. Papa juga ingin kamu tahu kebenarannya langsung tepat di matamu, tidak dari mulut Papa." Rupanya ada sesuatu hal yang sedang papa sembunyikan. Apakah Lita itu sebenarnya orang kaya raya? Sama halnya sepertiku yang pernah menyamar sebagai anak jalanan? Kalau iya, kami berdua sama-sama penipu."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Telepon pun terputus, aku pamit untuk pulang. Setelah ini mengurus gugatan cerai ke pengadilan.Di parkiran mobil, kulihat ada sebuah mobil yang tak asing. Kuperhatikan dengan seksama, kuamati dengan teliti, sepertinya ini mobil Mas Zaki. Kenapa ia berada di rumah sakit? Apa Mas Zaki tengah sakit?Tiba-tiba di pikiranku ada ke
POV Zaki"Mas Zaki, Lita?" Dengan wajah tertegun, ia menatap kami berdua. Aku dan Lita hanya terdiam, ada rasa gemetar dalam dada ini. Namun, ada rasa api cemburu saat melihat laki-laki yang bernama Gilang bersama Ana. Ternyata, laki-laki yang memberikan fasilitas untuk Ana itu adalah Pak Gilang."Silahkan duduk!" Pak Gilang mempersilahkan kami duduk. Memang tidak terlalu tua juga wajahnya. Aku semakin panas melihat Ana kini duduk di sampingnya."Maaf, Pak. Ada apa kami diundang ke sini?" tanya Lita keheranan. Kemudian Pak Gilang mengeluarkan sebuah laptop dan membuka layarnya."Laptop? Untuk apa?" tanyaku."Saya akan memutar video, kalian simak, ya!" tukas Pak Gilang dengan senyuman disertai lesung pipi di sebelah kirinya. Aku pun mengerenyitkan dahi dan menatap wajah Lita, tanda keheranan dengan sikap Pak Gilang yang akan mempertontonkan pada kami sebuah video. Entahlah, video apa yang akan kami lihat?POV AnaSaat aku menoleh ke ar