"Mah, Pah, maafkan aku. Dulu membangkang kalian. Sekarang baru tahu, uang mengalahkan segalanya." Aku mengakui kesalahan yang telah aku lakukan.
"Sudahlah, yang sudah terjadi biarlah, lebih baik sekarang kamu benahi saja, tapi Papa ingin kamu membuat malu mereka," ucapnya.
"Pah, Mas Zaki tidak akan seperti itu kalau tidak ditekan oleh ibunya," sahutku. Kemudian, papa menatapku sambil tertawa sinis.
"Kamu akan mengetahui siapa suamimu, dan mertuamu setelah memberikan mereka secuil pelajaran," sahutnya.
"Maksudnya bagaimana, Pah?" tanyaku.
Mama pun datang membawakan minuman dan makanan kesukaanku. Ada rasa rindu dimanjakan oleh mereka berdua.
"Ini loh, makanan kesukaan kamu, Ana." Mama menyodorkan kebab kesukaanku.
"Ah Mama membuatku lapar." Dengan lahapnya aku menyantap 2 hingga 3 kebab yang mama sediakan.
Mereka berdua memandangku. Mungkin ada rindu juga di hati mereka, atau mungkin kasihan padaku?
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku. Lalu mereka pun tertawa renyah berbarengan.
"Kami rindu dengan kamu, Nak." Mereka menjawab bersamaan.
Setelah menyantap hidangan yang mama suguhkan. Aku kembali ke topik pembicaraan. Setelah sendawa beberapa kali yang membuat mereka tertawa tak henti-hentinya.
"Kebiasaan kamu makan masih sama, ya!" ujar mama.
"Lanjut ke pembicaraan tadi, Pah. Jadi bagaimana?"
"Begini, kamu bawa mobil dan pakai perhiasan ini. Baju juga ganti dengan yang agak bagus, lalu kamu ke salon setelah pulang dari sini. Kemudian, kamu pulang ke rumah Zaki," ucapnya membuatku mengerutkan dahi. Kedua alisku menyatu karena heran, maksud papa aku diberikan fasilitas lalu ajak mereka?
"Pah, aku masih belum paham," sahutku sambil mendekat. Kini aku dan papa berhadapan lebih dekat.
"Nak, kamu ingin tahu bagaimana sifat Zaki sesungguhnya?"
"Iya, Pah."
"Lakukan apa yang papa suruh, papa pastikan mertuamu akan menuduhmu macam-macam."
"Jadi, aku tak perlu bicara bahwa aku ini sebenarnya anak orang kaya?" tanyaku heran.
"Tak perlu, kamu akan tahu bagaimana dengan sikap mereka setelah melihatmu membawa mobil dan perhiasan. Jika Zaki ikut menuduhmu yang tidak-tidak. Itu artinya, ia tidak layak untukmu, jelas sudah bahwa ia tak mempercayai istrinya sendiri."
"Oh gitu maksud Papa, baiklah kalau begitu, Pah. Aku akan turuti semua rencana Papa."
Kemudian aku diberikan kunci mobil, dan mama memberikanku perhiasan. Tak lupa juga ia memberikan segepok uang untuk aku pakai membeli sesuatu.
"Ganti baju dulu sana." Aku bergegas ke kamar yang sudah setahun aku tinggalkan.
Setelah memilih baju yang cocok untuk aku pakai. Akhirnya papa menyuruhku ke salon sebentar untuk memotong rambut dan beberapa perawatan.
"Setelah ini kamu ke salon, nanti kabari lagi, oh ya, ini ponsel keluaran terbaru, pasti adik iparmu akan tercengang melihat ini semua," cetusnya.
"Baik, Pah, Mah. Kalau begitu, aku pamit dulu."
"Ingat, perusahaan yang akan menjadi milikmu, akan papa berikan setelah semua ini kamu bongkar," tegasnya terhadapku.
Aku pun mengikuti saran yang papa berikan, ke salon lalu pulang dengan menggunakan mobil Honda jazz warna kuning yang sudah papa sediakan.
Ke salon hanya beberapa jam saja, perhiasan dan tas yang kubawa sudah cukup membuat Yuni dan Bu Ayu akan tercengang melihat penampilanku.
***
Tin ... tin ...
Suara klakson sengaja aku bunyikan saat terparkir di depan rumah sejajar dengan mobil Mas Zaki.
Tak lama kemudian, mereka pun keluar dari rumah, Bu Ayu dan Yuni terbelalak melihatku turun dari mobil yang papa berikan.
"Mbak Ana!" teriak Yuni.
"Zaki ...." Mama memanggil Mas Zaki untuk segera ke luar menemuiku di depan. Tidak lama kemudian, Mas Zaki ke luar dengan pandangan yang agak marah. Ya, aku tahu pandangan Mas Zaki saat ia emosi.
Aku tersenyum tipis dan balik menatap Mas Zaki dengan tatapan sinis.
"Masuk!" teriak Mas Zaki dengan keras. Kenapa jadi ia yang marah-marah padaku?
"Why?" tanyaku.
"Alah, kamu tuh Ana, wanita murahan saja pamer segala," ucap Bu Ayu, mertuaku. Astaga, kenapa aku jadi dituduh hal yang tidak-tidak?
"Mbak, kamu tuh ya pake pamer segala, jual diri untuk ngedapetin mobil mewah dan perhiasan saja bangga banget," ketus Yuni.
Oh jadi ini yang papa maksud. Jadi tujuan papa seperti ini. Bagaimana mertuaku malah terus menuduhku dengan tuduhan yang belum tahu kebenarannya.
Aku tertawa tipis, kemudian berlalu pergi dari mereka. Percuma saja bicara pada orang yang merasa dirinya paling benar. Namun, dari sini aku semakin tahu, bahwa aku kaya raya pun yang tidak menyukai akan tetap mencari kesalahan.
Aku melangkah dengan gagah ke kamar. Kemudian, disusul oleh Mas Zaki yang tadi matanya merah padam.
"Itu mobil laki-laki yang tadi bersamamu di cafe?" tanya Mas Zaki sembari memegang lenganku. Kemudian, aku menatapnya kembali, ada tatapan cemburu di matanya.
"Jawab, Dek, jika kamu menginginkan mobil, aku bisa belikan untukmu, tak perlu menggoda laki-laki lain!" teriaknya. Aku dituduh olehnya telah menggoda laki-laki lain. Ini cemburu atau tidak percaya dengan istrinya sendiri?
"Kamu tidak percaya dengan istrimu?" tanyaku pelan.
"Bagaimana mau percaya, aku memiliki bukti bahwa kamu bertemu dengan seorang laki-laki di cafe, dan tiba-tiba kamu pulang dengan membawa mobil, memakai perhiasan, dan berdandan glamor seperti ini. Kamu juga pergi tanpa ijin. Ya, aku pantas lah mencurigaimu!" pekiknya membuatku terkejut. Telingaku terasa berdenging saat ia melontarkan kata-kata yang menyudutkan aku.
"Terserah kamu, Mas. Mau percaya aku atau orang lain," ketusku.
"Dek, aku mencintaimu, tolong jangan selingkuh hanya demi uang dan kemewahan. Percayalah, aku mampu membelikanmu pakaian yang layak dan mobil untukmu. Tapi aku mohon, jangan selingkuhi aku!"
Entahlah ia sedang bicara sungguh-sungguh atau hanya menyenangkan hatiku.
"Apa mas? Aku nggak salah denger? Kamu tidak ingat kemarin aku minta baju baru saja, kamu masih mikir-mikir. Apalagi ingin membelikan aku mobil dan perhiasan mewah, bisa mikir 7 hari baru dibelikan."
"Kamu sakit hati? Tidak harus menjual dirimu, Dek!" ejeknya. Ternyata benar suamiku tak mempercayaiku.
"Susah bicara pada orang yang hobinya mencari kesalahan orang lain. Terserah kamu mau percaya atau tidak! Intinya aku tidak menjual diri, kamu paham!" pungkasku.
Ponselku berdering, ada suara telepon masuk. Aku rogoh ponsel yang ada di saku celana. Ternyata dari Pak Gilang yang menghubungi. Pada saat itu pandangan Mas Zaki tak lepas dari ponsel bermerk harga fantastis.
"Angkat, kenapa tidak diangkat?" tanyanya mulai curiga. Aku yakin ia mencurigai Pak Gilang adalah selingkuhanku.
Aku bergeming, menatap wajah Mas Zaki yang sedang terbakar api cemburu. Tak habis pikir kepercayaannya hilang terhadapku hanya karena mobil dan perhiasan.
"Kenapa diam? Jangan-jangan itu selingkuhanmu? Ponselmu juga merk mahal. Kamu benar-benar wanita mura*an, Ana!" bentaknya dengan mata membulat. Bibirnya bergetar saat ia membentakku.
Dirampasnya ponsel yang aku pegang. Lalu ia bicara pada Pak Gilang dengan nada tinggi.
"Halo, dengar ya laki-laki penggoda. Ana itu istri orang. Tolong jangan ganggu lagi!" tekannya.
Mataku menyipit, dadaku bergemuruh melihat kelakuan Mas Zaki. Kenapa ia merendahkan aku? Menganggap istrinya sendiri wanita murah*n. Aku rampas ponsel itu kembali, kemudian aku ambil kunci mobil dan tas mewah yang tadi kubawa. Setelah itu hendak pergi dari rumah. Namun, Mas Zaki menahan lengan ini dengan kerasnya.
"Lepas!" Mataku menyorotnya dengan sinis. Kesal kian mendera saat mengetahui suami sendiri mencurigai istrinya dan lebih mempercayai orang tua dan adiknya.
"Mau ke mana?" tanyanya dengan menautkan kedua alisnya.
"Terserah aku mau ke mana, itu bukan urusanmu!" ketusku. Genggamannya semakin kuat hingga aku sulit melepaskan.
"Mau ke rumah Pak Gilang? Jadi kamu sekarang jadi wanita simpanan?" cibirnya. Ingin sekali aku menamparnya tapi aku tak mau mengotori tangan ini untuk menyentuh wajahnya.
Kemudian dengan sekuat tenaga, aku berhasil melepaskan genggamannya. Setelah itu, aku bergegas pergi dengan tujuan pulang ke rumah.
"Ana ... berhenti! Kamu keluar dari rumah, aku talak kau!" Astaga, suamiku mengeluarkan kata-kata itu? Baiklah, akan kulanjutkan pelajaran untuk kalian semua. Lihat saja nanti!
Aku pun keluar dari rumah Mas Zaki, ternyata di depan pintu kamar ada Bu Ayu dan Yuni. Sepertinya mereka telah menguping pembicaraan kami."Huh ... dasar wanita murah*n!" ledek Yuni, aku tetap bergegas pulang ke rumah papa tanpa menjelaskan siapa aku sebenarnya."Ana!" teriak Mas Zaki menyusul. Namun, aku sudah tak peduli dengan panggilannya. Ia sudah menalakku. Semua sudah berakhir, Mas, tanpa kamu tahu kebenarannya lebih dulu. Aku tak habis pikir, kamu tak percaya bahwa aku ini anak orang kaya.Aku setir mobil dengan kecepatan tinggi. Kulajukan ke rumah papa kembali. Tak ada air mata yang menetes di pipi. Entahlah, mungkin air mata ini sudah kering hingga tak lagi berurai.Mas Zaki, pria yang telah memintaku menjadi istrinya setahun lalu. Kini, ia menalakku. Memang baru sekali ia menalakku. Namun, aku tidak bisa kembali dengannya begitu saja, setelah apa yang ia katakan terhadapku tadi.Kata-kata yang ia lontarkan akan menorehkan luka
Bab 5"Lita?" tanyaku keheranan. Wanita cantik berpakaian modis menghampiriku."Kamu, kok tahu rumahku?" tanya Lita balik. Aku bingung kenapa papa menyuruhku memberikan bunga mawar berduri ini kepada Lita."Emm, aku ...." Aku mencari alasan kenapa mengirim bunga ini untuknya."Hei, Ana. Jawab jujur padaku. Kamu tahu alamat ini dari siapa?" tanya Lita. Ia menanyakannya sembari mengelus perutnya yang agak buncit."Kamu sedang hamil? Kapan nikahnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Aku ... iya, sedang hamil 6 bulan!" tukasnya sembari tersenyum."Nih bunganya, aku tidak tahu itu bunga dari siapa? Ada di meja cafe beserta alamat ini. Makanya aku antar ke sini, rupanya rumahmu, Lita." Akhirnya aku mendapatkan alasan mengada-ada pada Lita."Terima kasih, ya. Kamu mau masuk dulu?" tanyanya. Namun, ponselku berdering, papa menghubungiku lagi. Segera aku angkat telepon dari papa."Iya, Pah," jawabku."Pulang, Nak."
"Oh, jadi kamu salah orang? Bagaimana bisa Gilang memberikan informasi yang salah pada Papa!" keluhnya."Pah, kenapa tidak katakan saja padaku, maksud Papa berikan bunga mawar itu pada Lita?" cecarku. Aku jadi penasaran terus dibuatnya."Ana, Papa ingin kamu lihat dengan mata kepala sendiri. Papa juga ingin kamu tahu kebenarannya langsung tepat di matamu, tidak dari mulut Papa." Rupanya ada sesuatu hal yang sedang papa sembunyikan. Apakah Lita itu sebenarnya orang kaya raya? Sama halnya sepertiku yang pernah menyamar sebagai anak jalanan? Kalau iya, kami berdua sama-sama penipu."Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu." Telepon pun terputus, aku pamit untuk pulang. Setelah ini mengurus gugatan cerai ke pengadilan.Di parkiran mobil, kulihat ada sebuah mobil yang tak asing. Kuperhatikan dengan seksama, kuamati dengan teliti, sepertinya ini mobil Mas Zaki. Kenapa ia berada di rumah sakit? Apa Mas Zaki tengah sakit?Tiba-tiba di pikiranku ada ke
POV Zaki"Mas Zaki, Lita?" Dengan wajah tertegun, ia menatap kami berdua. Aku dan Lita hanya terdiam, ada rasa gemetar dalam dada ini. Namun, ada rasa api cemburu saat melihat laki-laki yang bernama Gilang bersama Ana. Ternyata, laki-laki yang memberikan fasilitas untuk Ana itu adalah Pak Gilang."Silahkan duduk!" Pak Gilang mempersilahkan kami duduk. Memang tidak terlalu tua juga wajahnya. Aku semakin panas melihat Ana kini duduk di sampingnya."Maaf, Pak. Ada apa kami diundang ke sini?" tanya Lita keheranan. Kemudian Pak Gilang mengeluarkan sebuah laptop dan membuka layarnya."Laptop? Untuk apa?" tanyaku."Saya akan memutar video, kalian simak, ya!" tukas Pak Gilang dengan senyuman disertai lesung pipi di sebelah kirinya. Aku pun mengerenyitkan dahi dan menatap wajah Lita, tanda keheranan dengan sikap Pak Gilang yang akan mempertontonkan pada kami sebuah video. Entahlah, video apa yang akan kami lihat?POV AnaSaat aku menoleh ke ar
POV LitaTernyata Pak Gilang adalah selingkuhannya Ana. Astaga, kenapa Ana sampai nekat seperti itu hanya karena ingin hidup yang lebih layak?Mas Zaki tidak memberikan fasilitas kepada Ana dikarenakan Ana hanya anak jalanan. Berbeda denganku, anak dari pemilik PT. Keramik Jaya. Salahnya Mas Zaki kenapa ia menolak perjodohan itu? Kini, ia jadi terjebak cinta dua wanita. Tak mau melepaskan Ana, tapi tetap menginginkan aku juga.Sampai pada akhirnya, aku dan Ana dipertemukan saat pertemuan dengan Pak Gilang. Aku rasa Mas Zaki cemburu, makanya ia mengajakku buru-buru pergi dari restoran tersebut.Di sepanjang jalan, ia emosi dengan Ana. Aku tetap berusaha menenangkan Mas Zaki yang agak keras kepala."Argh ... kesel aku Lit, masa Ana memilih laki-laki semacam Pak Gilang?" tanyanya kesal."Loh, memang kenapa? Bukankah usiamu dengan Pak Gilang hanya beda 2 tahun? Kalau dibandingkan dengan Ana memang agak jauh, tapi tidak ada salahnya dengan
POV AnaAku bergegas pulang ke rumah, ingin segera mengetahui kejutan apa yang telah papa siapkan untukku? Sudah setahun berpisah darinya, kini hari-hariku penuh dengan kejutan-kejutan.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, agar sampai di rumah dengan selamat. Kebetulan jarak dari rumah Lita ke perumahan tempat papa tinggal tidak terlalu jauh.Setibanya di rumah, ternyata kejutan manis itu adalah kedatangan Sinta, adikku. Lama tak jumpa dengannya, kini ia sudah memiliki gelar sarjana."Halo, Kak!" sapanya."Hai, kamu cantik sekali hari ini," sahutku sambil memujinya. Kemudian aku melihat ke sekeliling rumah yang penuh dengan meja dan kursi. Ada persiapan apa ini? Rasanya terlalu berlebihan jika menyambut kedatangan Sinta mengundang orang. Terlihat dari kursi yang dipersiapkan sebegitu banyak."Hari ini akan banyak kejutan untukmu, Sayang. Kedatangan Sinta hanya kejutan kecil yang Papa berikan," sambung papa sembari menghampiriku.
Setelah terjeda beberapa detik, Pak Gilang segera melanjutkan penyambutan orang tuaku. Semua yang menyaksikan tiba-tiba hening, tak ada seorangpun yang bersuara, termasuk Lita dan Mas Zaki.Kemudian, papa dan mama turun dari tangga ke anak tangga lainnya. Semua para tamu undangan seketika menyorot mereka berdua. Terlebih-lebih Mas Zaki dan Lita, mereka mulai saling beradu pandangan. Sedikit-sedikit Mas Zaki menoleh ke arahku. Ada rasa heran terpancar di matanya.Setelah anak tangga terakhir yang orang tuaku injak, Pak Gilang segera mempersilahkan kembali mereka berdua untuk segera menaiki panggung."Marilah kita sambut, Pak Ardi Dinata beserta Bu Fatma Ningtyas. Kepada Pak Ardi dan Bu Fatma, diperkenankan untuk naik ke atas panggung," tutur Pak Gilang mempersilahkan orang tuaku naik ke atas panggung.Aku tersenyum tipis ke arah mereka berdua. Aku rasa di hati mereka sedang bertanya-tanya, untuk apa aku merahasiakan jati diri ini terhadap mer
Nama jalannya seperti dekat bengkel Mas Zaki, tapi alamat lengkapnya bukan. Sinta menambah volume televisi tersebut, dan kami perhatikan seksama."Pah, itu rumah temanku kan? Ayumi!" teriak Sinta sambil menepuk paha papa.Aku hanya memperhatikan lingkungan sekitarnya, tepat sekali itu adalah rumah Ayumi, temannya Sinta."Oh, Ayumi teman SMA kamu dulu?" Papa berusaha mengingat nama yang Sinta sebut."Itu dekat dengan bengkel Mas Zaki, Pah," tunjukku. Kemudian kami perhatikan kembali berita yang sedang disiarkan secara langsung."Suasana di lingkungan semakin ricuh, banyak orang malah memanfaatkan situasi saat kebakaran berlangsung. Menjarah ke berbagai toko dan bengkel." Begitulah pembaca berita menyiarkan berita terkini.Aku dan papa menoleh bersamaan, itu bengkel milik Mas Zaki, secara gamblang terlihat sedang diburu oleh para penjarah."Kak, itu gerbang bengkel sampai roboh gitu!" Sinta terperangah melihat