Tubuh tua itu meluncur deras, menghantam tanah kering dan menciptakan cekungan dalam. Bahkan, debu dan kerikil berhamburan akibat hempasan tubuh tuanya. Lalu darah mengalir dan merembes membasahi tanah kering dimana lelaki tua itu meringkuk.Ajiseka kembali menancapkan pedangnya, menjadikan senjata pusaka sebagai tumpuan tubuhnya yang bergetar akibat penyesalan diri. Pasalnya, ia telah melanggar janjinya kepada sang ayah. Janji tidak sembarang melukai apalagi membunuh.Ia terpekur, tenggelam dalam rasa yang menurutnya bersalah. Menunduk takzim sebagai rasa hormat kepada tubuh tua yang baru saja ia selesaikan kehidupannya. Tetapi tanpa diduga oleh Ajiseka, mata lelaki tua mengerjap dan jari jemarinya bergerak pelan.“Kehidupan kedua baru saja kumulai, wahai anak muda! Hua ha ha ha” lelaki itu tertawa sumbang, ia berdiri gagah walaupun tubuhnya masih tetap bersimbah darah.Hal itu membuat Ajiseka tercengang untuk beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah energi padat meluncur deras ke arah
Seonggok potongan kepala di turunkan secara perlahan, lalu disandingkan dengan potongan tubuhnya. Tidak lama kemudian matanya membuka lebar, perlahan tapi pasti tubuh yang terpisah dengan kepalanya itu merapat dan kembali menyatu. Ia tersenyum manakala seluruh organ tubuhnya telah tersambung sempurna. Tetapi tidak dipungkiri, tubuhnya terasa lemah akibat energi yang terkuras habis. Ia ambruk dan membutuhkan istirahat untuk memulihkan kondisi. Bahkan, untuk kembali ke markas padepokan Lowo Ireng dirinya harus ditandu. Disisi lain, setelah wakil pimpinan mengalami cedera luar biasa, padepokan Kembang Kenongo berencana memburu pelaku. Sayangnya pimpinan utama baru saja sampai di padepokan, sehingga niat para tetua harus tertunda untuk sementara waktu. Raut murka tercetak jelas di wajah sang pimpinan manakala mendapat laporan perihal kekisruhan bawahannya. “Kalian semua! Siapa pun yang mengenali wajah pelaku, aku tugaskan untuk menjadi telik sandi! Kekalahan Ki Brojolewo adalah pukulan
Padepokan Kembang Kenongo dan padepokan Lowo Ireng akhirnya bersatu, mereka menyiapkan ratusan obor untuk penerangan sekaligus berfungsi sebagai pagar, pasalnya alat penerangan itu ditancapkan melingkari bangunan yang akan di gunakan. Kali ini acara sakral disiapkan secara hati-hati, pasalnya jika salah satu syarat tidak ada biasanya akan terjadi kericuhan. Bahkan, untuk mengantisipasi kesalahan, dua pimpinan berbeda padepokan tidak segan meneliti kembali pekerjaan yang dilakukan bawahannya.Sementara, Matahari sudah mulai condong ke Barat, menandakan jika sebentar lagi Sandikala tiba. Bersamaan dengan itu, persiapan telah selesai dikerjakan. Bahkan, sesajian sudah berada di titik yang di tentukan.Warga yang mengetahui hal itu segera mengabarkan kepada warga lainnya agar malam ini tidak keluar rumah. Bahkan, tidak sedikit warga yang bersiap menginap di rumah sanak saudaranya. Pasalnya, setiap ada kegiatan aneh , pasti ada saja yang menjadi korbannya.Langit menguning dihiasi semburat
Mencekam, satu-satunya kata yang pantas untuk menggambarkan situasi di dalam aula padepokan. Sosok Sariti tiba-tiba melayang dan menyambar salah satu lelaki yang duduk di tengah-tengah kumpulan anggota sekte. Hal itu membuat sebagian anggota yang duduk di dekatnya hampir berteriak histeris.Brugh!Sariti melempar begitu saja lelaki yang kini meringkuk di atas altar, tubuhnya menggigil manakala Sariti mengendusnya.“Siapa pun dia!” Ucap tegas Sariti sembari menunjuk ke arah lelaki yang meringkuk tak berdaya.“Habisi! Aku tidak sudi tempat ini dikotori dengan penyusup atau penghianat!” ujar Sariti setelah beberapa saat mengendus tubuh lelaki di depannya.Semua orang tercengang, terlebih saat tatapan sosok yang mereka agungkan itu masih menelisik seisi ruangan. Seolah mencari siapa-siapa yang akan dijadikan tumbal berikutnya. Sedangkan di atas altar sendiri salah satu anggota sudah berada di sebelah lelaki yang meringkuk ketakutan, di tangannya sudah tergenggam senjata untuk melaksanakan
Cukup lama Ajiseka menemani dua sahabatnya, Rimpang dan Condro Kumolo. Beruntung keberadaan padepokan tertutup dan tidak bisa di lihat oleh pihak luar. Jika saja terlihat oleh manusia, sudah pasti Ajiseka akan ditertawakan oleh orang-orang.Pasalnya, wujud Rimpang di alam manusia adalah seekor Kera, dan Musang merupakan wujud asli Condro Kumolo. Sedangkan mereka bertiga berteman selayaknya manusia biasa, malahan terkadang mereka bergurau seperti teman sepermainan. Tentu sangat janggal dan tidak bisa di nalar oleh manusia.Hari berlalu, tetapi kedua murid Ki Balung Wojo masih tampak ragu. Pasalnya, untuk pertama kalinya Ajiseka mengikuti kompetisi, begitu juga dengan Calingkolo. Namun, mereka selalu di yakinkan oleh gurunya, bahwa kompetisi itu sangat berarti untuk padepokan juga pesertanya.“Misi kalian sebelumnya adalah ujian sekaligus latihan yang sesungguhnya. Ingat! Walaupun kalian berada di lingkup pertandingan, tetapi lawan yang dihadapi sama persis dengan pengalaman semasa menj
Terhempasnya Rengas, artinya kekalahan untuknya, maka babak berikutnya pun di mulai. Jual beli pukulan dan adu kekuatan terjadi begitu cepat, sehingga babak demi babak dapat terselesaikan dengan cepat.“Calingkolo!”Setelah satu nama di sebut akhirnya pewarta memanggil Calingkolo. Keduanya langsung menuju arena pertarungan, tidak lama kemudian adu kekuatan terjadi, pergerakan Calingkolo dan lawannya sama-sama cepat. Bahkan, adu kekuatan keduanya sudah berada di tingkatan yang lumayan tinggi.Sehingga, setiap terjadinya benturan selalu saja menimbulkan kerusakan di sekitar mereka. Hal itu membuat arena di perluas oleh penyelenggara, tentu tujuannya agar pertandingan memiliki ruang gerak yang lebih luas. Mengingat peserta sudah mulai melakukan gerakan dan tingkat tenaga dalam yang digunakan berada level menengah.Blar!Blar!Baru saja arena pertandingan di perluas, dua energi kembali berbenturan cukup keras, lagi-lagi mengakibatkan kerusakan yang cukup berat. Tanah yang semula rata, kin
“Uuugh ...” Lenguh Ajiseka manakala bangkit dari cekungan tanah bekas hempasan tubuhnya.KrekKrekIa memegangi lehernya lalu memiringkan ke kanan dan kiri, sehingga menimbulkan bunyi gemeretak yang cukup nyaring.DharDharBelum lama bangkit, dirinya kembali dihujani oleh lesatan energi yang meledak di sebelahnya. Hal itu memaksa Ajiseka melakukan serangan balasan, tentu dirinya tidak ingin benar-benar menjadi bulan-bulanan seperti yang di ucapkan lawannya. Satu Hentakan kaki sudah cukup mengantarkan Ajiseka di depan Gaharu, tetapi dirinya tidak langsung menyerang, ia malah menukik ke atas lalu lesap begitu saja dari pandangan lawannya.Lesapnya Ajiseka jelas membuat Gaharu kebingungan, terlebih saat dirinya melihat sekelebat samar ular naga terbang memutari tubuhnya. Wujudnya bening seperti air, membutuhkan konsentrasi untuk melihatnya. Namun, alangkah terkejutnya Gaharu manakala bayangan naga mendarat di tanah dan perlahan mulai berbentuk nyata.“A-apa yang terjadi?” ucap Gaharu se
“Apa yang kau cari, Kakang?” Ujar Ajiseka. Ia berdiri sembari mengibaskan tangan, membersihkan pakaiannya dari tanah yang menempel. Melihat itu, senyum kemenangan Gaharu lesap dari bibirnya. Ia langsung melayangkan serangan dadakan kepada Ajiseka yang dikira sudah tidak berdaya. Bam! Ajiseka kembali terjengkang, tetapi ia segera mengangkat kedua kakinya dan menyentakkan ke tanah. Keduanya tidak perduli berada di tengah tebalnya debu yang masih berhamburan. saling mengadu kekuatan tangan dan kaki, menunjukkan jurus bawaan yang mereka kuasai dari padepokan masing-masing. Hingga akhirnya Ajiseka kembali terhempas oleh dorongan kekuatan tenaga dalam yang di keluarkan secara mendadak oleh lawannya. Bahkan, dirinya tidak sadar jika selalu mendapat tekanan dikala sedang terjatuh. Seperti halnya saat ini, ia kembali di hujani dengan serangan jarak jauh. “Eum .... Cukup sudah!” gumam Ajiseka. Pasalnya, selama pertandingan dirinya tidak benar-benar mengeluarkan digdayanya. Hal itu terjadi k